December 5, 2025
Culture Issues Politics & Society

‘Writers Behind Bars’: Kala Kebenaran Seharga Kurungan Jeruji Besi

Program utama Ubud Writers and Readers Festival, Writers Behind Bars mengundang jurnalis yang pernah ditahan karena ungkap kebenaran rezim.

  • November 3, 2025
  • 5 min read
  • 891 Views
‘Writers Behind Bars’: Kala Kebenaran Seharga Kurungan Jeruji Besi

Kursi-kursi hampir penuh, setiap sudut diisi penulis dan pecinta sastra yang hadir untuk acara utama Writers Behind Bars, bagian dari Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025. Namun di antara lautan manusia itu, satu pemandangan mencuri perhatian: Kursi kosong di sebelah kanan moderator, tepat di depan panggung. Di atasnya terpajang ilustrasi perempuan muda berambut hitam sebahu dengan tatapan tajam. 

Awalnya, kursi itu tampak seperti bagian dekorasi. Orang-orang melewatinya, beberapa memotret, sebagian hanya menatap penuh tanya. Baru ketika Ma Thida, jurnalis asal Myanmar sekaligus mantan tahanan politik, berbicara, publik menyadari maknanya: perempuan itu adalah Phạm Đoan Trang. 

Trang, jurnalis dan aktivis demokrasi Vietnam, telah dipenjara sejak 2022 dengan hukuman sembilan tahun. Ia ditangkap di rumahnya pada Oktober 2020 dan dituduh melakukan propaganda melawan Republik Sosialis Vietnam—tuduhan yang kerap digunakan untuk menjerat penulis oposisi dan aktivis HAM. 

“Selama ditahan, Trang tak diizinkan mengakses penasihat hukum atau perawatan medis selama lebih dari setahun. Kondisinya memburuk, tekanan darah rendah dan nyeri kronis akibat kelumpuhan, yang diperparah oleh serangan polisi sebelumnya,” ujar Ma Thida. 

Baca Juga: #MenolakLupa: Sejarah Kelam September Hitam

Dituduh Teroris karena Sampaikan Kebenaran 

Sepanjang sejarah, orang-orang vokal sering kali menjadi sasaran hukuman dan pembungkaman. Jurnalis yang mengungkap fakta dan menantang kekuasaan adalah salah satu yang disasar. Mereka rentan diintimidasi, kriminalisasi, bahkan ditahan. Salah satu bentuk pembungkaman yang paling ekstrem adalah menuduh jurnalis melakukan tindakan terorisme. 

Kasus ini menimpa jurnalis asal Australia Peter Greste. Pada 2013, saat bekerja untuk Al-Jazeera, ia meliput krisis politik Mesir yang masih bergejolak setelah Arab Spring 2011. Karena liputan itu, Greste ditangkap di Kairo pada 29 Desember bersama dua rekannya, Baher Mohamed dan Mohamed Fahmy. Pemerintah Mesir menuduh mereka menyebarkan berita palsu dan terlibat dalam aktivitas terorisme, tuduhan yang kemudian membuat Greste dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. 

Greste menyebut tuduhan terhadapnya sepenuhnya enggak masuk akal. Bukti yang diajukan di pengadilan justru absurd, yakni cuplikan video musik pop, laporan rumah sakit hewan, bahkan lagu dari musisi. Kesaksian seorang saksi yang menuding Greste hadir dalam sebuah peristiwa di Mesir terbantahkan oleh bukti ia justru berada di Sudan Selatan pada waktu yang sama. 

“Pemerintah ingin membuat contoh, mengirim pesan kepada jurnalis lokal maupun asing, jangan bicara dengan oposisi, patuhi narasi resmi,” tutur Greste. 

Selama 400 hari dipenjara di Mesir, ia terkurung di sel sempit dan mengalami isolasi. Di tengah keterbatasan itu, Greste tetap menulis surat-surat yang membela kebebasan pers, memicu gerakan internasional yang menuntut pembebasannya. Ia akhirnya bebas pada Februari tahun berikutnya. Namun, dunia tampaknya belum banyak berubah sejak kasusnya. 

Seperti Phạm Đoan Trang di Vietnam, kini semakin banyak penulis, komentator, dan jurnalis menghadapi penindasan, pemenjaraan, dan sensor hanya karena menyuarakan kebenaran. Laporan Freedom to Write Index dari PEN America mencatat tingkat persekusi terhadap penulis dan jurnalis mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah. 

Pada 2024, tercatat 375 penulis dipenjara di 40 negara, naik dari 339 penulis di 33 negara pada tahun sebelumnya. Tren mengkhawatirkan muncul: jumlah penulis perempuan yang dipenjara meningkat, begitu pula penulis yang ditangkap karena komentar daring. Kasus penahanan tanpa dakwaan atau pra-persidangan juga naik, dari 76 pada 2023 menjadi 80 pada 2024, dengan konsentrasi tinggi di Tiongkok, Mesir, dan wilayah pendudukan Palestina. 

Baca Juga: Arti Ingatan dan Kematian Penyintas 1965 dalam Dokumenter ‘Eksil’  

Asa dari Generasi Muda 

Meskipun situasinya tampak seperti mimpi buruk, tetap ada secercah harapan yang muncul. Harapan itu hadir melalui gerakan solidaritas, terutama yang digerakkan oleh generasi muda. Ege Dündar, penulis dan aktivis asal Turki yang juga merupakan anggota dewan termuda PEN International, menyebut banyak anak muda di berbagai belahan dunia kini harus berhadapan langsung dengan sistem yang sangat korup bahkan rezim militer di negara mereka masing-masing. 

“Mereka tidak mampu membayar sewa, layanan kesehatan memburuk, dan masa depan kian suram. Pengalaman kolektif inilah yang menyatukan anak muda untuk menentang diskriminasi sistemik dan korupsi,” ujar Dündar. 

Generasi muda saat ini juga menghadapi arus informasi yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Dari layar ponsel, mereka menyaksikan kejahatan perang dan genosida secara langsung. Kondisi ini mengubah cara mereka berpikir, bersikap, dan berkomunikasi, saling menyampaikan pesan tentang apa yang terjadi di dunia mereka. 

Bahkan jika ada yang belum sepenuhnya memahami kompleksitas politik negaranya, selalu ada anak muda lain yang menyuarakan pesan kuat, menginspirasi teman-temannya di berbagai kampus. Setiap kali salah satu dari mereka berbicara di sekolah atau universitas, muncul gelombang pertanyaan tentang konteks sosial dan politik yang selama ini dianggap normal. 

Meski begitu, melawan sistem korup membutuhkan usaha kolektif, tidak cukup hanya digerakkan generasi muda. Dukungan dari generasi yang lebih tua sama pentingnya, karena perubahan tidak akan terjadi jika hanya satu kelompok yang bergerak. 

Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri  

Sering kali, generasi senior justru menutup akses bagi yang muda, menilai pandangan mereka belum matang dan tidak perlu dilibatkan dalam percakapan penting soal masa depan mereka sendiri. 

“Sayangnya, ketika kesempatan itu akhirnya datang, seringkali sudah terlambat. Generasi lebih tua seharusnya duduk bersama anak-anak muda ini sejak awal, agar suara mereka benar-benar didengar,” pungkas Dündar. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.