Screen Raves

Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?

Jika hari ini ada manusia dari Indonesia menolak reinterpretasi Disney atas putri duyung berkulit hitam, barangkali memang imajinasinya sempit.

Avatar
  • July 19, 2019
  • 7 min read
  • 1142 Views
Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?

Saya sangat terobsesi menjadi putri duyung sejak kecil. Kolom opini ini bahkan sempat dinamakan Senandung Putri Duyung dan ilustrasi wajah saya di bagian bawah kolom ini berdasarkan foto saya ketika memakai bikini mermaid. Saya mengoleksi buku cerita, novel, kartun dan pernak-pernik putri duyung. Saya berenang secara teratur dan menggunakan gaji pertama saya dari Komisi Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk membeli ekor putri duyung yang bisa dipakai berenang. Saya bercita-cita menjadi putri duyung, tapi semakin dewasa saya sadar itu tidak mungkin. Karenanya saya mengganti cita-cita saya menjadi seorang sejarawan.

Ketika mengetahui Disney memutuskan untuk memproduksi The Little Mermaid dalam bentuk live-action, saya girang bukan kepalang.  The Little Mermaid versi animasi diproduksi 30 tahun yang lalu pada 1989 dan konon diadaptasi dari cerita Hans Cristian Anderson, pendongeng dari Denmark. Produksi ulang kali ini menghadirkan penyanyi dan aktris Halle Bailey yang memerankan sosok putri duyung Ariel. Pemilihan Bailey yang berkulit hitam memunculkan pro dan kontra. Kelompok pro menyatakan Disney mengambil langkah tepat untuk menghadirkan diversifikasi budaya dalam representasi putri-putri, sedangkan kelompok kontra menolak reinterpretasi Ariel menjadi berkulit hitam. Sebagai sejarawan yang masih memendam hasrat untuk menjadi putri duyung, saya akan memaparkan perspektif kaum saya (feminis/putri duyung) dalam sejarah maritim.

 

 

Seksualisasi putri duyung dalam sejarah dunia

Putri duyung digambarkan sebagai putri setengah perempuan setengah ikan yang hidup di laut dan menjerumuskan para pelaut. Teks sejarah yang merujuk tentang karakter setengah manusia-setengah ikan yang paling terkenal adalah catatan Christopher Columbus ketika mengarungi perairan Karibia menuju Rio del Oro di Amerika Selatan pada 1493. Ia mengatakan melihat tiga putri duyung yang melompat ke atas permukaan air, namun mereka tidak secantik yang digambarkan selama itu.Sisanya hanya bisa merujuk pada sumber-sumber seperti mitologi.

Dalam mitologi Eropa seperti Odyssey karya Homer, putri duyung tidak digambarkan sebagai ikan melainkan setengah perempuan dan setengah burung. Sedangkan mitologi Eropa lainnya menggambarkan putri duyung sebagai siren, sejenis lelembut air yang gemar menyisir rambut di pinggir sungai dan menuntun roh orang mati. Di Semenanjung Korea dan Cina, putri duyung digambarkan sebagai roh atau lelembut air. Mitos di Cina justru menyatakan bahwa air mata putri duyung menjadi butir mutiara.

Nusantara juga punya cerita rakyat terkait manusia perempuan setengah ikan. Satu kisah dari Sulawesi Tengah menggambarkan seorang ibu yang memutuskan untuk menjadi ikan duyung karena tidak tahan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Mitos akan terus berubah dan menyesuaikan dengan budaya di mana cerita tersebut muncul. Pada hari ini, citra putri duyung yang muncul dalam budaya populer dimenangkan oleh mitos putri duyung Eropa sebagai manusia perempuan setengah ikan yang menggoda pelaut seperti digambarkan dalam film Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides.

Baca juga: Maudy Ayunda tak akan kuliah di USU

Membandingkan citra putri duyung dalam mitos-mitos tersebut akan memberikan jembatan bagi kita untuk melihat sejarah perempuan di lautan, salah satunya dengan mengkritik citra putri duyung. Mitos putri duyung sebagai perempuan cantik dan menggoda adalah bentuk seksualisasi terhadap perempuan dalam budaya patriarki. Seksualisasi adalah proses membuat perempuan menjadi (sekadar) objek seksual. Dalam dongeng-dongeng yang kebanyakan, perempuan diwajibkan menjadi cantik dalam setiap representasinya. Setiap kisah biasanya dimulai dengan penggambaran heroine, “hiduplah seorang perempuan cantik..” Itu sebabnya baik Putri Duyung dan Nyi Blorong punya ciri yang sama: perempuan cantik. Perihal perempuan ini berbahaya atau tidak lain soal.

Seksualisasi terjadi karena pencerita mewarisi (kebiasaan) lelaki heteroseksual yang membentuk imajinasi tentang (bagaimana seharusnya) perempuan manusia hingga perempuan makhluk-makhluk gaib. Contoh yang paling nyata adalah bagaimana Hans Christian Anderson dalam teks The Little Mermaid menyatakan si duyung cilik adalah yang tercantik dari enam bersaudara dengan kulit secerah mahkota bunga mawar dan mata berwarna biru seperti warna laut dalam. Citra putri duyung sebagai makhluk cantik jelita pun bertebaran dan diadaptasi terus menerus dalam budaya populer.

Sejarah pelayaran samudra dari perspektif feminis

Hal yang terbaik dari mengkritik budaya patriarki adalah melacak dan menganalisis mengapa hal tersebut bisa terjadi. Mengapa sosok putri duyung yang mendominasi dunia memenuhi imajinasi lelaki heteroseksual?

Pertama-tama kita harus membaca konteks ruang dan waktu. Kisah-kisah awal tentang putri Duyung sebagai makhluk air laut dikisahkan oleh kelompok yang bersinggungan dengan pelayaran dan penguasaan samudra, yang jika kita curigai adalah pada masa awal pelayaran samudra bangsa Eropa. Dua bangsa yang dikenal dengan awal pelayaran samudranya adalah Portugis dan Spanyol, sementara Columbus adalah bagian dari bangsa kedua.

Sementara itu, Denmark dan Polandia sama-sama mempunyai ikon putri duyung Laut Baltik yang tidak berbahaya. Siren, atau lelembut duyung, muncul dari jenis air tawar sebab bangsa-bangsa yang memproduksi kisah siren biasanya tidak melaut. Berbeda dengan mitologi bangsa Yunani yang menyebutkan mermaid setengah perempuan-setengah burung, karena bangsa Yunani memang terkenal pelaut. Kesaksian putri duyung sebagai sosok yang cantik dan senang menggoda dipopulerkan oleh para pelaut pada masa penjelajahan samudra.

Awal pelayaran samudra oleh bangsa Eropa (Spanyol dan Portugis) pada sekitar abad ke-15 hingga ke-17 disertai oleh semangat imperialisme dan penyebaran agama Katolik. Agama Katolik di Eropa pada masa itu masih sangat super patriarkal. Mereka pernah membunuh perempuan dengan tuduhan penyihir pada abad ke-14 dan pada masa pelayaran awal, semangat kebencian terhadap perempuan juga memberi dampak. Perempuan dilarang memasuki geladak kapal. Pada masa tersebut jika ada perempuan ketahuan masuk kapal maka kapal tersebut dianggap akan kena sial sepanjang pelayaran.

Baca juga: Hal yang tidak masuk akal dari cultural appropriation

Pelarangan perempuan untuk berlayar juga diperkuat dengan alasan populasi dan kesehatan. Sebelum dibukanya terusan Suez pada abad ke-17, butuh hampir setengah tahun bagi kolonial Portugis dan Belanda untuk memasuki perairan Nusantara. Berada berbulan-bulan di atas laut dengan risiko kekurangan gizi, penyakit, dan serangan dari kapal lain sangat tidak ramah bagi perempuan yang berpotensi untuk hamil dan melahirkan.

Kolonial Belanda sendiri tidak mengirimkan perempuan hingga dibukanya terusan Suez yang memangkas waktu pelayaran menjadi dua bulan. Dan selama itu kolonial Belanda yang ada di Nusantara hanya laki-laki. Praktik nyai menjadi lazim karena tidak adanya perempuan Belanda yang dikirim ke tanah jajahan. Dalam konteks ini, terjadi dua hal yang perlu diperhatikan oleh para feminis interseksional. Lapisan penindasan yang dialami kedua perempuan adalah berbeda. Pertama, peminggiran perempuan Eropa yang dilarang melaut, dan kedua, eksploitasi perempuan tanah jajahan sebagai pemuas nafsu.

Kini, bayangkan diri kalian sebagai lelaki heteroseksual yang tinggal di atas kapal selama berbulan-bulan. Bibir kalian mungkin tidak utuh lagi karena dipenuhi sariawan. Bau kalian campuran dari aroma laut, keringat panas matahari dan bakteri karena lama tidak mandi. Kalian haus belaian perempuan karena hanya selalu disajikan dua pemandangan: laut lepas atau kawan sejawat yang sama mengenaskannya dengan kalian. Imajinasi akan putri duyung hadir dalam kondisi-kondisi tersebut, sebagai  dambaan terhadap perempuan yang cantik dan hasrat untuk mengakhiri penderitaan ini. Rasa frustrasi, depresi dan birahi yang bercampur mampu membuat para pelaut lompat bunuh diri. Penjelasan yang paling masuk akal untuk mengatasi aksi bunuh diri pelaut adalah dengan menciptakan imajinasi tentang perempuan cantik berasal dari laut yang menawarkan untuk mengakhiri kondisi yang mengenaskan. Putri duyung yang bernyanyi memanggil pelaut dan mengabulkan satu permintaannya. Permintaan untuk mengakhiri penderitaan.

Putri duyung yang kita kenal hari ini adalah ciptaan para pelaut heteroseksual yang depresi. Dan citra ini yang kita terima karena direproduksi terus dalam budaya populer. Putri Duyung hadir dalam imajinasi manusia. Imajinasi manusia dibentuk dalam budaya. Budaya dibuat dari faktor lingkungan dan geografis. Jika hari ini ada manusia, berasal dari Indonesia, menolak reinterpretasi Disney yang memilih putri duyung berkulit hitam, barangkali memang imajinasinya sempit karena mereka membayangkan diri  mereka sebagai pelaut Eropa depresi. Saya sendiri sudah menerima keadaan diri saya yang tidak bisa menjadikan putri duyung sebagai cita-cita lagi sebab putri duyung adalah narasi dan kita yang akan menciptakannya.

Ilustrasi diambil dari sini



#waveforequality


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *