Putus Nyambung ARV: Separuh Badan Lumpuh tapi Saya Harus Tetap Tumbuh
Putus nyambung konsumsi ARV bikin saya divonis toksoplasma. Separuh badan saya lumpuh. Harusnya hidup selesai di situ, tapi ternyata saya mampu bertahan.
Aku masih ingat, saat itu medio Oktober 2014. Tubuh sebelah kiriku mendadak tidak dapat digerakkan, seperti tanpa tulang dan otot di dalamnya. Aku panik. efek kelelahan kerja mestinya tak sefatal ini. Aku segera dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan menjalani Voluntary Counseling and Testing (VCT). Hasilnya aku divonis menderita Toksoplasma.
“Dengan sangat menyesal, hasil cek darah dan CT Scan menunjukkan, Ibu terinfeksi Toksoplasma,” ujar dokter yang memeriksaku kala itu.
Toksoplasma adalah salah satu infeksi oportunistik akibat virus, bakteri, jamur, atau parasit. Biasanya itu terjadi pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA).
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
“Ini juga bisa terjadi ketika ODHA tak patuh minum obat antiretroviral (ARV), sehingga virus jadi resisten di tubuh Ibu,” imbuhnya.
Aku pikir menjadi ODHA adalah kabar buruk satu-satunya, ternyata petir lain bertubi-tubi menyambarku setelahnya. Menderita toksoplasma, kelumpuhan separuh anggota badan, (masih) positif HIV, aku merasa hidupku selesai saat itu. Ya, aku akui, beberapa waktu lalu memang tak disiplin mengonsumsi obat ARV. Tepatnya sejak melahirkan anak ketiga di September 2010.
Bukan karena jenuh, tapi beban sebagai ibu pekerja memaksaku untuk harus pontang-panting mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidup. Di masa-masa itu pula, sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tak ada support system yang ideal untukku. Aku tak diajarkan menerima dan berdamai dengan penyakitku, aku juga terlalu takut jika distigma dan didiskriminasi di lingkungan kerja.
Lantaran hal-hal itulah, aku memilih merahasiakan statusku yang positif HIV dari sebagian besar orang, termasuk rekan-rekan kerja. Aku juga enggan minta izin pergi ke layanan kesehatan untuk mengakses ARV. Jadwal dokter dan pengambilan ARV di rumah sakit rujukanku cuma dilayani di Senin-Jumat–berbarengan dengan jadwalku bekerja. Jika aku izin atau bolos ambil obat, maka gajiku bisa dipotong sehari.
Nyatanya, meremehkan konsumsi ARV bisa sefatal ini. Aku menjalani rawat inap, rawat jalan, fisioterapi. Namun, itu tak membuat separuh tubuhku bisa berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Aku resmi jadi disabilitas tuna daksa. Menggunakan kursi roda atau tongkat sebagai alat bantu jalan. Aku juga kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Saya Ibu dengan HIV, Mampu Lawan Stigma Masyarakat
Sadar tidak mungkin lagi boleh bekerja di sektor formal, aku berjibaku mencari pekerjaan lain. Di benakku saat itu, meski aku ODHA dengan disabilitas, hidup tak seharusnya berakhir. Aku bisa berdaya, mandiri, tanpa merepotkan orang lain. Atas inisiatif sendiri, aku aktif mendekati teman-teman Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang senasib, ikut kegiatan sana-sini, sembari mengurus ketiga anakku.
Selain aktif di KDS, aku juga mencari tahu, dengan keterbatasan fisik ini kira-kira apa yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan penghasilan. Suatu hari tidak sengaja aku menemukan pengumuman dari akun Instagram Thisable Enterprise, lembaga bentukan Angkie Yudistia, staf khusus Presiden RI bidang sosial sekarang. Lembaga ini sendiri secara aktif mengusahakan bantuan serta mendukung pemberdayaan ekonomi untuk kalangan disabilitas.
Dalam pengumuman itu disebutkan ada lowongan pekerjaan. Aku datang menumpang transjakarta untuk ikut tes wawancara, tapi sayang kandas di tengah jalan. Sedih memang, tapi aku tak menyerah.
Pada 2019, aku diberikan kesempatan untuk menjaga konter minuman kekinian, milik Profesor Samsuridjal Djauzi, dokter yang biasanya meresepkan ARV untukku. Bersama satu pegawai konter lainnya, aku melakukan hal-hal yang bisa dilakukan cukup dengan satu tangan. Misalnya, membuat beberapa jenis minuman, bersih-bersih, serta menyusun laporan jual beli dan laporan keuangan. Terlibat dalam usaha ini menjadi batu loncatanku.
Setahun berselang, pada Agustus 2020, pandemi Covid-19 membuatku ingin mencari pekerjaan lain. Aku melamar kerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan beruntungnya, aku diterima di sana. Sehari-hari aku bertugas untuk mengajak teman-teman yang putus ARV (Lost to Follow Up / LTFU) untuk kembali konsumsi obat serupa. Aku mencoba berempati dan menyemangati mereka, dengan berkaca pada pengalaman pribadiku sendiri.
Rupanya ada beragam alasan yang membuat ODHA putus ARV. Ada yang karena tidak tahan dengan efek samping obat, minim akses informasi terhadap pentingnya ARV, takut stigma, ada yang berada dalam fase denial atau menyangkal penyakitnya, ada juga yang putus karena kendala faktor ekonomi dan hal administratif lainnya.
Petualanganku bekerja di LSM belum berakhir. Pada Agustus 2021, aku pindah ke LSM yang lebih fokus membantu teman-teman pengguna narkotika jarum suntik. Di LSM tersebut, aku memberikan informasi, edukasi, serta pendampingan untuk teman-teman Injection Drug User (IDU). Ini adalah pekerjaan yang ngeri-ngeri sedap, mengingat biasanya mereka tak cukup terbuka dengan orang yang berangkat dari latar belakang berbeda.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Awal Januari 2022, aku kembali berstatus pengangguran. Pusing tujuh keliling tapi tentu saja, hidup harus terus berjalan. Berbekal mencairkan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, aku mencoba berjualan minuman kekinian di dekat rumah. Aku membeli booth portable, membeli berbagai peralatan dan bahan baku, juga mencari lapak strategis yang masih tersedia. Lagi-lagi, bisnis itu hanya bertahan sebulan karena kondisi fisikku tidak memungkinkan untuk jualan sendirian.
Untuk kesekian kalinya, hidupku ternyata belum berakhir. Karena cukup aktif di komunitas, aku sering diundang ke acara-acara, memberikan edukasi tentang HIV/ AIDS, obat-obat yang menyangga hidup kami. Kadang aku diberikan uang saku juga biaya transport atau pulsa, sehingga perekonomianku sedikit banyak terkerek. Tak hanya itu, untuk menambah penghasilan, saat ini aku tergabung sebagai surveyor freelance di dua lembaga survei yang beralamat di Jakarta.
Aku juga ingin terus bertumbuh meskipun jadi ODHA dengan mempelajari bahasa pemrograman. Semoga ini menjadi pintu masuk rejeki lainnya untuk aku dan anak-anak.
Pada akhirnya aku percaya, terinfeksi HIV bukanlah akhir dunia. Aku bisa tetap aktif dan berdaya asal terus berjuang. Kadang memang keterbatasan ini menjadi halangan, tapi berkat dukungan teman-teman, aku bisa terus bertumbuh hingga hari ini.
Ini adalah artikel keempat dari series tulisan pelatihan jurnalis komunitas IAC di Bali, Oktober 2022. Baca artikel lainnya yang terbit setiap Rabu di Magdalene.co.
- Orang dengan HIV/ AIDS juga Bisa Berdaya
- Surat untuk Mendiang Puput: ‘Matahari di Sana Lebih Cerah, Nak!’
- Perempuan HIV di Tengah Bencana
- KTP untuk Transgender Sejak Kapan?