Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Membantu penyintas kekerasan, menyokong pendidikan anak, merawat mereka yang ODGJ, Rambu Dai Mami teguh memperjuangkan kesetaraan perempuan di Sumba.
Hari itu pukul sembilan malam, ketika saya tiba di Kampung Tambahak, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan teman-teman dari Hutan Itu Indonesia, organisasi nonprofit yang melestarikan hutan, kami berkumpul di rumah warga setempat. Kami sudah punya rencana akan menyusuri hutan adat keesokan harinya.
Mendadak, perempuan yang mengenakan kaos, berambut ikal panjang menghampiri kami. Sebuah senyuman tersungging di bibir. Tak sulit menyimpulkan betapa ramahnya perempuan ini saat menyambut kami.
“Selamat datang, saya Rambu Amy,” tuturnya, sambil mengulurkan tangan.
Kami memang belum banyak berinteraksi di pertemuan pertama. Namun, dari perkenalan singkat tersebut, saya dapat melihat, sosok yang akrab disapa Rambu Amy itu merupakan “ibu” dari para warga kampung. Ini terlihat dari cara warga berinteraksi dengannya, termasuk anak-anak. Mereka tampak segan dengan Rambu Amy, dan mendengarkan setiap perkataannya. Asumsi saya, ia adalah pemimpin perempuan di Kampung Tambahak.
Asumsi itu tak keliru. Ternyata, Rambu Amy adalah Ketua Sabana Sumba, komunitas solidaritas yang menjaga tanah Sumba. Selain memperjuangkan tanah, mereka juga mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak, memperjuangkan pendidikan anak-anak lewat beasiswa, hingga merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Dengan kata lain, Rambu Amy adalah pemimpin perempuan, yang berjuang di tengah kuatnya budaya patriarki di Sumba dan masyarakat Marapu—kepercayaan asli masyarakat Pulau Sumba. Sama seperti daerah lainnya di Indonesia, peran laki-laki di Sumba Timur memang masih dominan.
Saya pun tergugah untuk mengobrol dengannya. Di malam berikutnya, sepulang dari hutan adat, saya menghampiri Rambu Amy yang sedang bersantai di depan rumah.
“Rambu, udah lama ya mengadvokasi bareng Sabana Sumba?” tanya saya.
“Dari 2018, tapi sejak 2006 saya udah mulai bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” jawabnya.
Baca Juga: Santi Warastuti dan Legalisasi Ganja Medis: Saya Takkan Berhenti
Rambu Amy kemudian menceritakan kepeduliannya terhadap masyarakat, terutama perempuan yang menikah di bawah umur dan sudah mengasuh anak, ataupun menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Mengutip Kompas.com, Komnas Perempuan pada 2008 mencatat terdapat 91 persen kasus KDRT, yang banyak terjadi karena masalah kultural. Salah satunya di Sumba Timur. Menurut Hadi Supeno yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus itu kerap terjadi lantaran terdapat adat setempat yang menganggap KDRT sebagai budaya mereka.
Itulah yang menggerakan Rambu Amy, untuk menyosialisasikan Undang-undang KDRT yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004. Ia memulainya pada 2009. Waktu itu, Rambu Amy melihat tak sedikit perempuan yang tubuhnya lebam akibat KDRT. Kekerasan itu salah satunya dilakukan laki-laki saat dalam keadaan mabuk dan kalah berjudi.
“Saya mengajak perempuan supaya berani menyuarakan apa yang dirasakan. Memang tidak harus dengan orang lain, minimal sama suami,” ujarnya. “Kalau misalnya mereka merasa enggak suka dengan perlakuannya, mereka harus berani untuk ngomong.”
Lewat sosialisasi tersebut, perempuan 40 tahun itu juga melatih kepemimpinan di gerakan perempuan penenun. Tujuannya agar mereka memahami bahwa hak dan pekerjaan perempuan tidak hanya pada urusan domestik.
Sambil menyesap secangkir kopi Sumba di tengah obrolan kami, saya bertanya bagaimana kehidupan perempuan di Sumba Timur. Rambu Amy menyebutkan, kegiatan kebanyakan dari mereka enggak lebih dari urusan kasur, sumur, dan dapur.
“Setelah bangun pagi itu mereka urus anak, memasak, buat kopi, lalu menenun. Kalau enggak menenun ya berkebun,” ceritanya.
Di kebun, kegiatan perempuan sama dengan laki-laki. Misalnya persiapan pembersihan lahan, menanam jagung jika sedang musimnya, dan menyiangi rumput. Dari sini kita bisa menggarisbawahi adanya beban ganda yang dihadapi. Perempuan membantu laki-laki dalam berkebun, tetapi mereka tidak dibantu dalam ranah domestik.
Karena itu, sosialisasi tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Rambu Amy harus menghadapi tantangan berupa pertentangan dari masyarakat. Para laki-laki sendiri sempat menganggap ajakannya sebagai bentuk pembangkangan terhadap suami. Menurutnya, itu dikarenakan mereka belum mengerti, tetapi kini mereka tahu itu hak perempuan.
Sementara di kalangan perempuan sendiri awalnya seperti tidak terdapat perubahan. Perkembangan itu terlihat setelah mereka sering mengikuti pertemuan, di mana Rambu Amy terus menyampaikan perempuan berhak untuk istirahat, bebas berbicara, dan tidak menjadi korban KDRT.
“Akhirnya satu per satu dari mereka berani mengungkapkan perasaan yang sudah lama ingin disampaikan,” ucap Rambu Amy. “Sekarang perempuan di desa juga semakin banyak yang terlibat dalam forum.”
Baca Juga: Feminisme Dekolonial dan Upaya Menampilkan Perjuangan Perempuan
Berani Menyuarakan Ketidakadilan
Selama seminggu di Sumba Timur, hampir setiap hari saya melakukan kegiatan bersama Rambu Amy. Selama itu juga figur seorang ibu—sekaligus perempuan tangguh yang memperjuangkan kesetaraan di masyarakat adat—terlihat dalam dirinya.
“Rambu Amy ini mama kita semua,” kata Adry, seorang kenalan yang merupakan relawan di Sabana Sumba.
Saya semakin mengamini ucapan Adry, ketika berkunjung ke rumah Rambu Amy di suatu sore. Di sana saya bertemu dengan Tini, seorang ODGJ yang tinggal bersama dan dirawat Rambu Amy seperti anaknya sendiri.
“Waktu itu Tini dipukul orang. Lalu, saya ajak dia ke kantor polisi untuk bikin laporan, tapi pelakunya kabur,” cerita Rambu Amy.
Keputusannya untuk merawat Tini memunculkan pertanyaan baru di kepala saya: Mengapa Rambu memutuskan untuk merawatnya secara langsung?
“Pas SMP, saya ingin masuk sekolah keperawatan,” jawabnya. “Gara-gara melihat bapak yang senang merawat orang.”
Ayah dari Rambu Amy berprofesi sebagai seorang guru, yang juga senang merawat orang. Misalnya mengobati bisul, alergi, atau luka yang terinfeksi, dengan memanfaatkan tanaman yang ada. Di tengah kebiasaan ayahnya itu, Rambu Amy senang nimbrung untuk membantu mengambilkan tanaman yang diperlukan, dan ikut mempraktikannya.
“Sejak saat itu juga, saya kepengen mengurus ODGJ. Pengennya pas udah mapan bikin rumah aman untuk mereka,” akunya. Dirinya yang saat itu masih remaja kerap melihat bagaimana ODGJ menerima diskriminasi dari masyarakat.
Ketidakadilan yang disaksikan Rambu Amy bukan hanya dari lingkungan sosial, melainkan juga alam. Suatu waktu ketika masih SMP, Rambu Amy sedang melintasi jalanan yang dekat dengan hutan, dan menyaksikan kebakaran hutan yang sangat hebat. Detik itu juga, ia bertekad untuk menjaga hutan.
“Tiba-tiba saya merasa kecewa dan sakit hati, sampai berjanji dalam hati akan bersekolah di bagian kehutanan supaya bisa jaga hutan,” ucapnya.
Sejumlah peristiwa dari masa kecilnya mendorong Rambu Amy terjun dalam bidang advokasi. Sejak remaja, ia mulai berani menyuarakan ketidakadilan yang dilihatnya. Misalnya semasa SMP, ketika pemilik nama lengkap Rambu Dai Mami tersebut diminta sang ayah, mengisi Kartu Keluarga (KK).
Dari anak-anak hingga remaja, Rambu Amy tinggal di rumah orang tuanya yang terletak di Lawonda, Sumba Tengah. Rumah itu tidak hanya menjadi kediaman bagi orang tua dan lima saudara kandungnya, tetapi juga 14 orang lainnya.
Awalnya, ia menuliskan keluarga inti sesuai perannya. Bapak sebagai kepala keluarga, ibu sebagai istri, dan anak-anak kandung. Kemudian, ia bertanya apa hubungan keluarga dengan 14 orang itu.
“Bapak bilang, ‘tulis statusnya hamba’,” kata Rambu Amy. Dulu di Sumba Timur, terdapat strata sosial yang digambarkan dengan panggilan Rambu dan Umbu—sebutan untuk laki-laki dan perempuan yang dihormati. Ada juga hamba, sebutan untuk kelas yang paling rendah.
Alhasil, respons ayahnya membuat Rambu Amy menangis. Ia protes dan menolak untuk menuliskan pola pikir ayahnya yang masih feodal—bahkan sempat menyarankan status pembantu di KK. Hingga akhirnya mereka menemukan istilah yang tepat, yakni “famili lain”.
“Saya malu, bagaimana kalau orang lihat KK kami dan tahu masih ada keluarga yang menggunakan sistem itu? Saya tidak suka,” terang Rambu Amy.
Kendati demikian, keluarga menjadi ruang bagi Rambu Amy untuk memahami, bahwa perempuan berhak dan harus berdaya. Ia menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya memberikan kesempatan bagi anak-anak perempuan, untuk sekolah dan bekerja.
Kini, pemberdayaan perempuan dimaknainya sebagai para perempuan di kampung yang memahami hak mereka, sekaligus bisa berjuang untuk hidup.
“Minimal mereka tahu, sebagai perempuan itu punya hak untuk hidup, dilindungi dari kekerasan dan pelecehan, serta kesejahteraan ekonomi,” terangnya. “Mereka juga harus tahu, posisinya bukan hanya sebagai penopang laki-laki. Tapi harus bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dan keluarga.”
Baca Juga: Voice Indonesia Berdayakan Minoritas dan Kaum Adat lewat ‘Artivism’
Menjadi Pemimpin Perempuan Bukan Hal Mudah
Tak dimungkiri, memiliki latar belakang keluarga terpandang merupakan privilese bagi Rambu Amy dalam melakukan advokasi. Ia bahkan tidak menampik, dan mengakui hal tersebut menjadi salah satu kekuatannya untuk berada di posisi ini. Ditambah latar belakang keluarga suaminya, yang juga merupakan sosok terpandang di Kampung Tambahak.
Ketika keluarga besar awalnya mempertanyakan pekerjaan Rambu Amy yang dianggap menentang pemerintah, sejak awal sang suami justru mengerti dan mendukung. Larangan itu malah pernah datang dari ibu mertua, karena pekerjaannya dianggap membahayakan lantaran harus berhadapan dengan aparat.
“Mama melarang karena memikirkan risiko. Dia khawatir saya akan kenapa-napa. Tapi setelah dijelaskan, mama bisa menerima itu,” ceritanya.
Lama-kelamaan, keluarga Rambu Amy juga turut menerima dan suportif terhadap pekerjaannya. Mereka justru mengarahkan dan menceritakan kepadanya, tentang permasalahan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di kampung.
“Berada di posisi ini membuat saya didengarkan ketika berbicara. Seandainya saya ada di bawah, biar pun ngomong sampai berdarah-darah juga tidak akan didengarkan oleh teman-teman,” jelasnya.
Meskipun demikian, bukan berarti Rambu Amy tidak menghadapi tantangan. Memimpin Sabana Sumba membuatnya memiliki citra pemberontak di mata masyarakat. Pasalnya, komunitas tersebut dianggap bertentangan dan selalu mencari kesalahan pemerintah, sehingga semakin sulit melibatkan perempuan.
Image itu berawal dari misi Sabana Sumba. Mereka ingin melindungi tanah Sumba dari sebuah perusahaan swasta, yang ingin menjadikan tanah mereka sebagai lahan tebu. Sementara Gideon Mbilijora, yang kala itu menjabat sebagai bupati Sumba Timur, sudah memberikan izin lokasi kepada perusahaan tersebut.
Sayangnya, citra itu membuat Rambu Amy semakin sulit melibatkan perempuan. Dengan pandangan lurus ke depan, ia bercerita kepada saya, sewaktu ia mengajak para ibu rumah tangga untuk bergabung.
Waktu itu, ibu dua anak tersebut menjelaskan pekerjaannya yang mengadvokasi. Namun, mereka enggan lantaran image melawan pemerintah yang ada, sedangkan ada keinginan di keluarganya yang ingin bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Saya enggak ingin memaksa, biar kesadaran itu muncul lebih bagus. Daripada bergabung karena saya ajak, akhirnya (bekerjanya) tidak total,” jelasnya. Hingga saat ini, ada 10 relawan perempuan di Sabana Sumba, dari 30 orang secara keseluruhan.
Padahal, banyak hal lainnya yang dilakukan Rambu Amy bersama Sabana Sumba, turut meringankan pekerjaan pemerintah. Contohnya menjadi relawan COVID-19, demam berdarah, dan badai Seroja pada April 2021.
Selain perkara keterlibatan perempuan, Rambu Amy juga menghadapi tantangan secara finansial. Memperjuangkan pendidikan anak-anak lewat beasiswa dan merawat ODGJ merupakan hal-hal yang ia upayakan.
Untuk mencukupi biaya-biaya itu, Rambu Amy menjual dan menggadaikan kain tenun, hasil swadaya masyarakat, dan menggunakan biaya pribadi yang diperolehnya dari penghasilan utama.
Yakni dengan bekerja sebagai pendamping lapangan sebuah proyek, fasilitator kegiatan LSM lokal, menjual ikan, kopi, dan masakan.
“Dari awal saya yang mendorong mereka untuk kuliah, jadi saya harus bertanggung jawab sampai mereka selesai,” kata Rambu Amy. “Lagi pula mau memaksa orang tua mereka di kampung juga bagaimana?”
Sampai di penghujung obrolan kami sore itu, saya masih melihat semangat yang terpancar dari mata dan cara Rambu Amy bertutur. Ia menaruh harapan-harapan baik pada tanah Sumba, juga pada teman-teman relawan yang sedang bersama-sama melindungi hak mereka.
Pekerjaan yang ia lakukan jauh dari kata mudah. Namun, Rambu Amy tidak gentar sedikit pun, menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di hadapannya. Terlebih di tengah masyarakat adat dengan budaya patriarki yang begitu kuat, dan belum terlihat sosok perempuan lain yang akan melanjutkan perjuangannya.
Ketika ditanya dari mana kekuatan itu datang, dengan mantap ia menjawab, “Ini kekuatan milik semua orang yang menerima ketidakadilan. Saya juga percaya, leluhur telah menyiapkan perempuan-perempuan lain yang bisa seperti saya.”