History Issues Screen Raves

6 Film Penting yang Bikin Gen Z Melek Sejarah

Sebagai generasi Z, saya cuma memahami tragedi 1965 dan 1998 dari narasi penguasa. Keenam film ini menjadi medium saya untuk kembali mengenal sejarah masa lalu Indonesia.

Avatar
  • March 25, 2024
  • 6 min read
  • 3510 Views
6 Film Penting yang Bikin Gen Z Melek Sejarah

Selama duduk di bangku sekolah, pengetahuan saya soal sejarah Indonesia hanya sebatas hal berikut: PKI berbahaya dan mengubrak-abrik keamanan negara, Suharto memberantas kemiskinan di era Orde Baru (Orba), serta penjarahan dan krisis moneter pada 1998.

Pemahaman itu tak lain akibat propaganda negara yang mengaburkan sejarah. Bukan hanya lewat buku teks yang menceritakan kronologi peristiwa, tapi film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984) garapan Arifin Noer, yang terus ditayangkan semasa SD. Waktu itu, hampir setiap tahun, guru-guru mengumpulkan siswa di aula sekolah, supaya kami menyaksikan film itu bersama.

 

 

Butuh waktu belasan tahun hingga saya menyadari, tragedi 1965 dan 1998 yang selama ini diketahui, adalah narasi propaganda bikinan penguasa. Mereka melenyapkan fakta sejarah dengan memutus akses di pendidikan formal, sehingga orang-orang seusia saya—generasi Z—clueless tentang kedua peristiwa tersebut. Lebih lagi enggak pernah mengalami rezim Orba.

Buat saya, film merupakan medium untuk unlearn kejadian 1965 dan 1998. Selain mencegah berulangnya sejarah kelam dan mengungkap fakta-fakta yang dihapus, setidaknya ini adalah cara untuk berhenti melanggengkan stigma pada korban kedua tragedi tersebut. Berikut enam film yang saya saksikan, tentang kelamnya tragedi 1965 dan 1998:

Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah

1. Eksil (2022)

Disutradarai oleh Lola Amaria, Eksil memperlihatkan dampak tragedi 1965 dari sudut pandang Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) di era Sukarno. Awalnya, para MAHID mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, saat terjadi Gerakan 30 September (G30S), mereka tak bisa kembali dan kewarganegaraannya dicabut, lantaran dicap komunis serta simpatisan Sukarno.

Pencabutan itu membuat para MAHID tak punya status warga negara selama puluhan tahun, sampai Suharto lengser dari jabatan Presiden RI. Setelahnya, mereka baru memutuskan mengambil kewarganegaraan di tempat tinggalnya, supaya bisa berkunjung ke Indonesia.

Sebenarnya, dampak pengasingan oleh negara tak hanya memengaruhi para eksil sebagai warga negara, tetapi kehidupan pribadi. Sebagian eksil harus meninggalkan anak istri, memilih tak menikah karena kompleksnya status mereka, dan sulit percaya pada orang lain karena takut berhubungan dengan intel. Meski sudah menjadi warga negara lain, keamanan mereka tetap tak terjamin, termasuk keamanan keluarga.

Film ini menunjukkan kejamnya pemerintah yang mengasingkan warga negaranya. Bahkan tak berhenti di era Orba. Sampai sekarang, negara tak berupaya rekonsiliasi dan meminta maaf, maupun mengurus kepulangan mereka.

film tentang sejarah eksil
Sumber: Cineverse

Butuh waktu belasan tahun hingga saya menyadari, tragedi 1965 dan 1998 yang selama ini diketahui, adalah narasi propaganda bikinan penguasa. Mereka melenyapkan fakta sejarah dengan memutus akses di pendidikan formal, sehingga orang-orang seusia saya—generasi Z—clueless tentang kedua peristiwa tersebut. Lebih lagi enggak pernah mengalami rezim Orba.

2. You and I (2020)

Fanny Chotimah, sutradara You and I, menampilkan gelapnya kehidupan eks tapol lewat Kusdalini dan Kaminah. Mereka adalah dua orang sahabat yang bertemu di penjara, karena dituding sebagai simpatisan PKI.

Akibat tuduhan tersebut, Kusdalini dan Kaminah hidup berdampingan dengan stigma, dan trauma selama di tahanan. Misalnya Kaminah yang tak diakui oleh keluarga, sehingga harus tinggal bersama Kusdalini dan neneknya. Sejak saat itu, mereka saling merawat dan memutuskan tak menikah. Berdasarkan cerita Fanny saat diwawancara BBC Indonesia, Kaminah dan Kusdalini begitu trauma untuk melibatkan orang lain dalam kehidupan.

film sejarah indonesia you and i
Sumber: Cinemags

Akses mereka untuk mencari pekerjaan yang layak pun terbatas. Demi menyambung hidup, Kaminah dan Kusdalini menjual kerajinan tangan dan membantu berjualan di rumah makan. Sedangkan di usia senja, penghasilan bergantung pada penjualan kerupuk.

Kehidupan Kaminah dan Kusdalini mencerminkan realitas yang harus dilalui eks tapol seumur hidup. Mereka menanggung “dosa bawaan”, akibat tak ada pertanggungjawaban pemerintah, atas tragedi yang termasuk dalam daftar pelanggaran HAM berat itu.

Baca Juga: Jika Kelak Aksi Kamisan Dilarang, itu Takkan Mati tapi Berlipat Ganda

3. The Act of Killing (2012)

Jika Eksil dan You and I menyampaikan tragedi 1965 dari sudut pandang korban, The Act of Killing fokus pada algojo dari kejadian tersebut di Medan, Sumatra Utara. Dalam wawancara bersama The Guardian, Joshua Oppenheimer selaku sutradara, menjelaskan tujuannya membuat film ini: untuk mengungkap bagaimana pengeksekusi bisa melanjutkan hidup, setelah melakukan pembunuhan terhadap banyak orang.

Salah satunya adalah Anwar Congo, yang mengaku membunuh sekitar 1.000 orang sepanjang 1965-1966. Keinginan Anwar terlibat sebagai algojo berawal, ketika film-film Amerika Serikat yang mendominasi pasar diboikot oleh simpatisan PKI. Hal ini membuat penghasilan Anwar sebagai preman dan pencatut tiket bioskop berkurang.

Sumber: IMDB

Dengan format dokumenter, Anwar menceritakan peristiwa dengan gamblang, sekaligus mereka ulang adegan tanpa menunjukkan penyesalan. Bahkan menurut Anwar dan beberapa tokoh lain, PKI layak ditumpas sehingga peran mereka sebagai eksekutor adalah pahlawan.

Meski kebanyakan mengekspos perbuatan algojo terhadap simpatisan PKI, The Act of Killing turut memotret trauma psikologis yang dialami Anwar, pasca melakukan pembunuhan.

4. Laut Bercerita (2017)

Diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Leila S. Chudori, Laut Bercerita menyorot gentingnya situasi pada 1998. Yakni waktu rezim Orba menculik dan menghilangkan para aktivis, serta mahasiswa secara paksa.

Demi berlindung dari tindakan represif pemerintah, Biru Laut (Reza Rahadian)—seorang mahasiswa yang dianggap membahayakan rezim, harus bersembunyi dan tak bisa pulang ke rumah. Namun, ia tak luput dari penculikan dan kekerasan oleh aparatur negara.

Selain menunjukkan kebengisan pemerintah terhadap mahasiswa dan aktivis di balik tahanan, film ini turut menggambarkan duka, kelam, sekaligus harapan, lewat penantian keluarga Biru Laut.

Sumber: RRI

Misalnya ibu yang masih menyediakan piring untuk Biru Laut di atas meja makan. Konflik batin yang dialami Asmara Jati (Ayushita), adik Biru Laut, terhadap orang tua yang tak menganggap keberadaannya. Atau Anjani (Dian Sastrowardoyo)—pacar Biru Laut—yang bersemangat, tiap mendengar kabar terkini soal aktivis dan mahasiswa yang kembali pulang.

Lewat penceritaan itu, penonton diajak menyelami duka yang dialami keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa. Sayangnya, Laut Bercerita masih ditayangkan terbatas, lewat pemutaran daring maupun luring.

Baca Juga: Bayang-bayang Stigma ‘Anak PKI’ Generasi 90-an

5. Istirahatlah Kata-Kata (2017)

Film garapan Yosep Anggi Noen ini menceritakan tentang Widji Thukul, sewaktu memburon di Pontianak untuk bersembunyi dari aparat. Sebab, sebagai sosok yang pro-demokrasi, tulisan-tulisan Widji dinilai membahayakan penguasa lantaran mengkritik rezim Orba.

Sumber: IMDB

Selama di Pontianak, Widji mengubah penampilan dan identitasnya menjadi “Paul”—seorang tukang bakso di Singkawang yang bangkrut dan berencana pulang ke Pulau Jawa. Saat itu pula, anak dan istrinya yang menetap di Solo, Jawa Tengah, harus berhadapan dengan aparat yang kerap datang ke rumah.

Istirahatlah Kata-Kata memperlihatkan kejamnya pemerintah Orba, terhadap orang-orang yang vokal mengenai pemerintahan Suharto. Bahkan, risikonya turut dialami keluarga, karena aparat mengawasi gerak-gerik mereka. Tujuannya satu: Menangkap sosok yang meresahkan rezim.

6. Di Balik 98 (2015)

Pada Mei 1998, mahasiswa dan aktivis menuntut turunnya Suharto, dari jabatan sebagai Presiden RI selama 32 tahun. Saat itu terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi, hingga menewaskan empat orang mahasiswa Trisakti. Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Trisakti itu dipotret oleh Lukman Sardi, sutradara Di Balik 98.

Diana (Chelsea Islan) dan Daniel (Boy William) adalah mahasiswa yang vokal terhadap rezim Orba. Mereka termasuk dalam barisan demonstran, yang melakukan aksi damai dari kampus Trisakti ke Gedung DPR/MPR RI. Situasi memburuk, ketika aparat menyerang mahasiswa dengan tembakan dan gas air mata. Aparat kemudian mengejar mahasiswa yang berlindung di dalam kampus, termasuk Daniel dan Diana.

Sumber: IMDB

Keadaan itu semakin kompleks bagi keduanya, dengan latar belakang keluarga masing-masing. Kakak Diana bekerja sebagai staf di Istana Negara, sedangkan iparnya anggota TNI—membuat Diana sering kali mengalami pertentangan saat mengikuti demonstrasi.

Sementara keluarga Daniel, keturunan Tionghoa, mengalami kebencian dan kekerasan rasial. Rumah mereka dijarah, sehingga ayah dan adik Daniel mengungsi ke penampungan. Pasca-kejadian itu, keluarga Daniel pergi ke luar negeri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *