December 5, 2025
Issues Politics & Society

Wibu’ dan Pakar Bicara tentang Ketakutan Rezim pada Bendera One Piece

Pemerintah bilang pengibaran bendera One Piece adalah makar yang berpotensi memecah belah bangsa. Apa kata ‘wibu’ dan pakar tentang itu?

  • August 8, 2025
  • 6 min read
  • 1454 Views
Wibu’ dan Pakar Bicara tentang Ketakutan Rezim pada Bendera One Piece

Yoga, 27, terlihat antusias menjelajahi marketplace sejak akhir Juli lalu. Ia memasukkan beberapa bendera berlatar hitam bergambar tengkorak bertopi jerami ke keranjang belanja online-nya. 

“Tujuh belasan tahun ini rumahku akan pasang bendera One Piece aja,” kata Yoga kepada Magdalene

Alasan Yoga pasang bendera One Piece bukan karena FOMO. Simbol bajak laut dalam anime One Piece atau Jolly Roger punya makna mendalam bagi para penggemar, yakni kebebasan, kepercayaan diri, dan solidaritas. Bendera ini, khususnya versi dengan topi jerami milik kru Straw Hat Pirates pimpinan Monkey D. Luffy, juga jadi simbol perlawanan terhadap penguasa yang otoriter dalam narasi anime tersebut. 

Baca juga: Bendera ‘One Piece’ Berkibar: Simbol Protes Anak Muda di Era Pop Culture 

Simbol Kritik dalam Balutan Pop Culture 

Bagi Yoga, pengibaran bendera Jolly Roger bukan sekadar wujud kecintaan pada anime favorit, tapi ekspresi politik. Ia tak melihat simbol itu sebagai ajakan memberontak, melainkan cara menyuarakan keresahan terhadap negara yang kian jauh dari harapan rakyat. Bagi banyak orang seusianya, ekspresi semacam ini jauh lebih jujur ketimbang ikut upacara kemerdekaan yang terasa seremonial belaka. 

“Di tengah carut-marut negara, merah putih rasanya terlalu sakral buat dikibarkan,” ujarnya. 
“Sebenarnya persis dengan apa yang terjadi sekarang lah di Indonesia,” imbuhnya. 

Sebagai penggemar One Piece, Yoga melihat ada resonansi kuat antara cerita anime dan realitas kehidupan WNI. Dalam dunia fiksi itu, pemerintahan dunia (World Government) digambarkan korup, menindas, dan gemar menutupi kebenaran. Kelompok bajak laut yang biasanya distigmatisasi, justru jadi tokoh utama yang membela rakyat dan menantang status quo. Ini bikin One Piece tak cuma jadi hiburan, tapi juga cermin atas ketimpangan yang makin nyata—di mana elit makin sejahtera, sementara publik dibiarkan bergulat dengan beban hidup. 

Pengibaran bendera bajak laut, dalam konteks itu, jadi simbol protes yang dibungkus budaya pop. Lantaran sifatnya simbolik, cara ini dirasa lebih aman dan relatable bagi anak muda—generasi yang terbiasa menyuarakan opini lewat meme, fandom, atau fandom-politics. Dibandingkan orasi formal atau turun ke jalan, mengibarkan bendera One Piece terasa lebih organik dan otentik bagi mereka. 

Bagi sebagian anak muda, Jolly Roger adalah metafora tentang harapan akan tatanan dunia baru. Bendera itu mewakili mimpi tentang keadilan sosial yang tak dicapai lewat kekuasaan negara, tapi melalui solidaritas dan keberanian melawan ketidakadilan. Maka ketika bendera ini dikibarkan saat 17 Agustus, itu bukan karena mereka tidak cinta Indonesia—melainkan karena ingin Indonesia yang lebih adil dan layak dicintai. 

Fenomena ini juga enggak lahir dalam ruang hampa. Sebelum viral menjelang kemerdekaan, bendera One Piece sudah terlihat dalam berbagai aksi massa yang sarat muatan politik. BBC Indonesia melaporkan, bendera bertopi jerami ini pernah dikibarkan dalam May Day Fiesta 2024 di Stadion Madya, Jakarta, di tengah aksi buruh menuntut hak-haknya. Di sana, simbol anime ini berdiri sejajar dengan spanduk tuntutan dan orasi politis. Ini menandakan bagi sebagian masyarakat, budaya pop bukan hanya hiburan pasif—melainkan ruang simbolik untuk menyuarakan kritik sosial. 

Menjelang 17 Agustus, tren ini pun makin menguat di berbagai lini media sosial. Namun alih-alih melihatnya sebagai cermin kegelisahan publik, pemerintah justru bereaksi keras. Pengibaran bendera bajak laut itu dianggap sebagai tindakan makar. Sebuah respons yang, alih-alih menenangkan publik, justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan sering kali gagal memahami cara generasi muda berbicara, lewat budaya, simbol, dan imajinasi. 

Baca juga: Bukan Tanda Perempuan Malas, Ada ‘Rest’ dalam ‘Resistance’ 

Benarkah Pengibaran Bendera Anime Bisa Disebut Makar? 

Reaksi keras datang dari kalangan elite politik. Mengutip Suara.com, Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR, Firman Soebagyo menyebut tindakan ini sebagai provokasi berbahaya yang berpotensi meruntuhkan pemerintahan. 

“Jelas ini adalah melakukan bagian provokasi, kemudian yang akan merugikan bangsa dan negara. Ini enggak boleh. Karena itu, bagian daripada makar mungkin malah itu. Nah, ini enggak boleh. Ini harus ditindak tegas,” kata Firman. 

Namun, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai tuduhan tersebut tidak berdasar. Ia menjelaskan tidak ada landasan hukum yang bisa digunakan untuk mempidanakan pengibaran bendera seperti Jolly Roger. Sebab, itu tidak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. 

“Itu cuma untuk kelakuan yang tidak pada tempatnya untuk bendera merah putih. Tapi kan kalau mengibarkan bendera lain kayak misalnya bendera Persib, Persija, apa kek, kan enggak diatur di situ,” jelasnya. 

Bivitri juga menegaskan makar dalam konteks hukum adalah tindakan yang melibatkan upaya nyata untuk menggulingkan pemerintah melalui kekerasan atau ancaman pembunuhan, bukan pengibaran simbol fiktif. 

“Simbol One Piece ini ditanggepin sampai ke makar itu enggak relevan sama sekali,” tegasnya. 

Ketakutan Rezim terhadap Simbol Kritis 

Respons keras pemerintah ini, menurut Bivitri, justru menunjukkan ketakutan rezim terhadap kritik yang muncul—bahkan ketika kritik itu hadir dalam bentuk yang simbolik, imajinatif, atau berbasis budaya pop. Alih-alih melihat pengibaran bendera One Piece sebagai ekspresi satire atau sindiran politik, pemerintah justru buru-buru menganggapnya ancaman. Reaksi berlebihan semacam ini, kata Bivitri, mencerminkan kekhawatiran pemerintah terhadap potensi perlawanan sipil yang tak bisa mereka kendalikan lewat cara konvensional. 

Bivitri menyamakan respons atas bendera Jolly Roger ini dengan pola penindakan pemerintah terhadap aksi-aksi damai yang kerap muncul di ruang publik dan media sosial. Ia mencontohkan respons serupa yang terjadi ketika muncul tagar seperti #IndonesiaGelap atau “Peringatan Darurat”, yang walaupun disampaikan secara damai dan simbolik, tetap ditanggapi pemerintah dengan curiga, bahkan represi. 

“Pemerintah terkesan tidak mau ada gejolak apapun dalam pemerintahan. Jadi kayak pola rezim sekarang, ketika melihat apapun yang mereka anggap gaduh, langsung reaksinya terlalu berlebihan,” ujarnya. 

Menurut Bivitri, kekhawatiran berlebihan ini bisa menjadi indikasi bahwa negara mengalami krisis kepercayaan terhadap rakyatnya sendiri. Ketika simbol-simbol yang lahir dari kebudayaan populer diposisikan seolah-olah berbahaya, maka yang terjadi bukan sekadar miskomunikasi antara rakyat dan penguasa, melainkan potensi konflik horizontal yang diciptakan oleh ketidakmampuan negara memahami aspirasi warganya. 

Lebih jauh, Bivitri mengingatkan bahwa respons paranoid seperti ini bisa berujung pada tindakan hukum yang tak proporsional. Dalam konteks sistem hukum yang lemah dan ruang sipil yang makin sempit, ekspresi warga negara—baik itu lewat tagar, meme, musik, atau bendera fiktif seperti milik kru Straw Hat Pirates—bisa dikriminalisasi tanpa dasar hukum yang kuat. 

“Sekarang ini kan ibaratnya pemerintah mau ngapain aja pada siapa saja, bisa gitu. Orang advokasi lingkungan aja bisa dipidanakan padahal enggak ada pidana apa-apa,” katanya. 

Pola ini mencerminkan otoritarianisme halus—sebuah bentuk kekuasaan yang tampak demokratis di permukaan, namun menolak warganya untuk bersuara bebas. Ketika ruang kritik dipersempit, simbol-simbol alternatif dari budaya populer justru menjadi saluran ekspresi yang paling mudah diakses, khususnya oleh anak muda. Sayangnya, ketimbang ditanggapi dengan dialog atau refleksi, simbol-simbol ini malah dituding sebagai ancaman, memperlihatkan betapa negara tak siap berhadapan dengan kreativitas politik generasi sekarang. 

Baca juga: Belajar Melawan Pembungkaman dari ‘Helen from Wales’ yang Tayangkan ‘Live Streaming’ Kneecap di TikTok 

Mendengar Bukan Membungkam 

Alih-alih menuduh rakyat makar, Bivitri menyarankan pemerintah untuk melakukan refleksi. Ia menekankan bahwa pengibaran bendera One Piece adalah sinyal kekecewaan kolektif yang seharusnya dijadikan bahan evaluasi, bukan ditanggapi dengan kriminalisasi. 

“Sebaiknya mereka pertama-tama mendengar dulu. Orang-orang yang mengibarkan bendera itu (One Piece) ditanya ‘kalian tuh masalahnya sama pemerintah apa sih?’ Gitu.” 

Ia juga mendorong pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap program-program yang dijalankan, dan fokus menjawab kebutuhan rakyat, alih-alih memproduksi ketakutan. 

“Semua program-program pemerintah, apalagi yang utama itu coba dibongkar dulu. Datanya sebenarnya kayak apa sih? Ada apa sih dengan negara ini? Harusnya mereka meresponsnya dengan cara itu, bukan malah bikin orang enggak berani bicara,” tutup Bivitri. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).