Culture Screen Raves

‘Memories of Burning Body’ dan Para Perempuan yang Mereklaim Narasi Korban

Antonella Sudassi membawa cerita perempuan-perempuan kuat dalam gerak kameranya.

Avatar
  • November 24, 2024
  • 3 min read
  • 983 Views
‘Memories of Burning Body’ dan Para Perempuan yang Mereklaim Narasi Korban

Ada yang spesial dari menonton di ruangan yang memang didesain untuk menonton, seperti bioskop. Memories of Burning Body  adalah jenis film yang memang harus ditonton di sana. Ditulis dan disutradarai oleh Antonella Sudasassi, ia menawarkan pengalaman menonton yang luar biasa. Berhari-hari setelah saya menyaksikan film ini, gambar-gambar dan suara-suara yang ada di dalamnya masih muncul di kepala saya.

Menceritakan ulang Memories of Burning Body adalah pekerjaan yang sukar. Sinopsisnya cukup ambigu: Kisah tentang dua perempuan yang hidup ketika membahas soal seksualitas perempuan dianggap tabu. Tapi, ternyata penjelasan yang ambigu itu menawarkan sebuah eksplorasi yang cukup menggetarkan. Tidak ada kejadian sensasional yang hadir dalam film ini, tapi setiap pengakuan dan cerita terasa begitu dekat dan intim.

 

 

Baca juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’

Film dibuka dengan kru film yang mempersiapkan syuting. Sudasassi dari awal tidak menyembunyikan fakta bahwa ia sedang mencoba menggambarkan kisah yang terinspirasi dari neneknya dan tiga narasumber: Ana, Patricia, dan Mayela. Figur mereka diwakilkan oleh aktor Sol Carballo yang menjadi manekin kisah-kisah mereka. Kamera bergerak dengan agresif untuk mempersiapkan Sol Carballo masuk ke dalam set. Sebuah cermin melintas di lorong untuk memperlihatkan semua kru yang hadir, termasuk departemen kamera. Begitu Carballo berdiri di depan pintu, “film” dimulai.

Secara teori, film yang isinya hanyalah “cerita” dari perempuan-perempuan yang tidak berbentuk bisa jadi membosankan atau tidak terlihat sinematis. Tapi, Memories of Burning Body  menawarkan adegan-adegan yang tidak kalah sinematisnya jika dibandingkan dengan produk-produk Hollywood. Dengan setting terbatas (hanya di apartemen), Sudasassi menggunakan semua ruang yang ada dengan efektif. Masa kini dan masa lalu bergerak pada ritme yang bersamaan. Semua ini bisa dicapai dengan gerakan kamera yang begitu halus dan blocking aktor yang pas.

Efek yang dihasilkan memang terasa seperti sebuah mimpi. Ayam bisa duduk di atas meja ketika narasi menceritakan tentang pengalaman hidupnya di masa kecil. Atau kehadiran tamu-tamu yang hadir saat ada perayaan pernikahan. Production designer Amparo Baes Infante mendesain apartemen ini dengan kehidupan yang kaya. Setiap jengkalnya, seperti judul filmnya, dipenuhi dengan memori. Tumpukan koran, berbagai macam pernak-pernik dan foto ada di setiap ruangan. Mereka hadir bukan hanya untuk kepentingan estetika, tapi sebagai pengingat waktu telah berjalan.

Baca juga: Review ‘May December’: Kisah Nyata ‘Grooming’ Guru SD dan Muridnya yang Viral pada 1990-an

Female Gaze dan Adegan Seks

Menyaksikan Memories of Burning Body  juga menegaskan bahwa sutradara perempuan mempunyai sensitivitas yang berbeda dalam menggambarkan adegan seks atau sexual assault. Setelah menyaksikan All We Imagine As Light di Jakarta Cinema World dan How To Have Sex tahun lalu, saya menyadari bahwa kebanyakan sutradara laki-laki memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi adegan-adegan tersebut demi kepentingan emosi. Tidak bisa dimungkiri, adegan-adegan tersebut memang menimbulkan reaksi emosional yang kuat. Tapi, approach minimalis yang dilakukan oleh Payal Kapadia, Molly Manning Walker dan Sudasassi di film ini tidak kalah kuatnya.

Di awal film, Sudasassi menggambarkan kekerasan seksual tanpa perlu memperlihatkan adegan tersebut terjadi. Penonton hanya melihat reaksi korban tanpa melihat wujud pelaku sama sekali. Hanya menggunakan satu sudut kamar mandi, pengadeganan ini tidak kalah kuat dibandingkan dengan banyak adegan-adegan sejenis di film-film lain. Memories of Burning Body  kemudian mempertebal tesis ini dengan kisah tentang suami yang abusive dengan treatment yang kurang lebih sama. Penonton tidak pernah melihat adegan pemerkosaan terjadi tapi efeknya sama seramnya.

Memories of Burning Body  mungkin terkesan berat dengan cerita yang ia usung. Ia berhasil menampilkan bagaimana keluguan berubah menjadi resilience saat tragedi menimpa naratornya. Tapi tidak sekali pun film ini mencoba untuk mengasihani diri sendiri. Perempuan-perempuan ini mungkin dibentuk oleh masa lalu yang kejam, tapi mereka semua menolak untuk menjadi korban.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *