Review ‘Missing’: Struktur Narasi Mirip ‘Searching’, yang Dibumbui Isu KDRT
Missing yang disebut sebagai sekuel Searching menyelipkan isu KDRT di keluarga birasial Amerika Serikat.
Secara teknis, Missing bukan sekuel dari Searching—film pertama Aneesh Chaganty, sutradara keturunan India-Amerika. Saya ingat, 2018 lalu, film thriller itu dicap canggih, segar, dan unik karena caranya dipresentasikan hanya lewat gerakan di layar komputer dengan footage dari kamera ponsel, laptop, dan CCTV. Teknik itu lalu populer dan belakangan disebut genre Screenlife—di mana semua gambar dalam film digerakkan oleh bantuan software dan internet.
Saat Missing dirilis, antusias penonton terhadap film Screenlife sudah lebih surut. Tapi, masih banyak yang penasaran dengan potensi film ini karena turut dibikin Chaganty yang duduk di kursi Ide Cerita dan Produser Eksekutif.
Meski dua ceritanya sama sekali tak berkaitan, struktur narasi yang dibangun untuk Missing persis dengan Searching: sama-sama mencari keluarga yang hilang. Bedanya, dalam Searching kita akan ikut panik bersama karakter John Cho yang mencari putrinya, sementara dalam Missing kita akan dipandu karakter Storm Reid mencari ibunya.
Baca juga: ‘Buddy Daddies’ Kenalkan ‘Platonic Co-Parenting’ Sesama Jenis dan Susahnya jadi Orang Tua
Perbedaan umur dua karakter utama ini juga jadi narasi penting yang membedakan cara dua film ini dibawakan.
Bersama karakter Cho yang lebih tua, kita akan melihat kegagapannya menavigasi dan berselancar dengan teknologi saat mencari putrinya. Sementara bersama June, karakter yang diperankan Reid, kegagapan itu sirna sama sekali. Ia adalah tipikal generasi Z yang sejak lahir sudah akrab dengan internet dan segala jenis aplikasi yang tertanam dalam gawainya.
Apakah Kau Betul-betul Kenal Anak atau Orang Tuamu?
Selain caranya bertutur lewat layar komputer, pertanyaan di atas adalah satu benang merah lain yang mengikat dua film ini. Dalam proses pencarian itu, Cho berkali-kali mempertanyakan hubungannya dengan sang anak. Ia dipertemukan bertubi-tubi fakta yang dirahasiakan putrinya dan mulai mempertanyakan kemampuan diri sendiri sebagai orang tua.
Dalam Missing, hubungan renggang antara orang tua dan anak remaja mereka juga menonjol lewat dinamika June dan Ibunya, Grace (Nia Long) yang sudah lama menjanda. June adalah anak yang cuek, sementara sang ibu sedang khawatir dan jadi overprotektif pada putri semata wayang.
Proses pencarian ibunya yang sedang pergi berlibur dengan pacar baru, berubah jadi evaluasi relasi mereka. June jadi sadar atas tembok besar yang ia bangun di antara dirinya dan sang ibu.
Sayangnya, alasan tembok itu berdiri masih klise. June merasa jauh dari Grace karena ibunya sibuk bekerja, dan ia merindukan “almarhum” sang ayah. Alasan begini bikin karakter June tidak terlalu dalam dan kelihatan dibangun dari stereotipe remaja yang tumbuh dengan orang tua tunggal.
Dalam banyak film—Indonesia dan keluaran Hollywood—keluarga yang bahagia selalu dipotret dari kacamata heteronormatif dan kelengkapan ayah-ibu. Konflik biasanya terjadi ketika mereka sebagai punggawa keluarga tidak akur, cekcok, berselisih, atau dalam kasus June, tidak lengkap. Perasaan tidak lengkap yang dirasakan June tentu tidak datang tiba-tiba. Sejarah panjang keluarga nuklir—keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak—sudah dilanggengkan lama sekali, sejak pernikahan antara laki-laki dan perempuan diinstitusikan agama sejak masa Renaisans. Sehingga, wajar rasanya melihat seorang anak murung karena keluarganya tak lengkap.
Baca juga: Nilai-nilai Heteronormatif Masih Menonjol dalam Hubungan Gay
Sampai di sini, Missing terjebak pada norma umum yang mengidealkan keluarga heteroseksual dengan ayah dan ibu—lengkap—sebagai jangkar moral. Padahal, karakter June yang masih 18 tahun bisa dibikin lebih progresif, sehingga kerinduannya pada sang ayah tak terasa seperti tempelan plot yang ditanam agar penonton menyalahkan Grace. Buat saya, bagian itu terasa seperti polesan yang tak rapi.
Selipan Isu KDRT yang Memperkuat Cerita
Satu hal yang pelan-pelan terungkap, seraya misteri keberadaan Grace terungkap, adalah tema kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ternyata jadi fondasi kuat cerita Missing. Subplot tentang nama palsu Grace, identitasnya yang dirahasiakan, suaminya yang meninggal misterius, dan June yang tak dekat dengan sang ibu makin lama makin masuk akal.
Dari pertengahan ke belakang, tanaman plot tentang kompleksnya isu KDRT makin rapat. Grace–korban dalam kasus “orang hilang”—yang bahkan sempat dicurigai sebagai penjahat menunjukkan betapa rentannya perempuan, terutama perempuan kulit hitam, diantagonisasi di media dan institusi hukum kita. Secara eksplisit, Missing menyinggung jaminan perlindungan korban KDRT di Amerika Serikat yang bercela. Lewat pilihan Grace yang menggunakan jasa perlindungan saksi lewat pengadilan negeri, Missing menunjukkan fakta lain jadi korban KDRT yang bahkan sudah menyintas: Sering kali, yang mereka korbankan bukan cuma hidup mereka di masa lalu, tapi juga pertaruhan masa depan.
Hantu dari kekerasan itu bukan cuma berbentuk trauma dan luka psikis yang belum tentu hilang digiling waktu, tapi juga bisa berbentuk si pelaku sendiri—suami keji—yang jika tak ditangani negara dengan baik, bisa datang kapan saja. Siapa yang menang dan kalah di narasi Missing memang jelas. Mati jadi hukuman buat yang kalah. Sementara ibu yang melawan jadi pemenangnya.