Culture Screen Raves

‘Red, White & Royal Blue’, Kembalinya ‘Rom-Com’ Kerajaan dan Percakapan Penting Soal Melela

‘Red, White & Royal Blue’ film romcom queer yang tak hanya menggemaskan tapi penting untuk dibahas.

Avatar
  • August 18, 2023
  • 8 min read
  • 1310 Views
‘Red, White & Royal Blue’, Kembalinya ‘Rom-Com’ Kerajaan dan Percakapan Penting Soal Melela

Enggak ada yang lebih memuaskan ketimbang menonton film komedi romansa dengan trope klasik enemies to lovers. Kita akan sibuk menebak, kapan ketegangan antara dua orang yang saling membenci bisa berubah jadi lirikan mata dan cinta. Cerita macam ini terasa lebih menyenangkan ketika dikemas dengan tema kerajaan.

Kita sendiri akrab dengan film komedi romantis bertema kerajaan sejak 2000-an awal. Salah satu yang paling populer dan disukai banyak orang adalah The Princess Diaries 2: Royal Engagement (2004). Sebulan setelah peringatan pride month, film komedi romantis kerajaan hadir. Namun alih-alih cinta heteroseksual, kali ini percintaan queer yang diketengahkan.

 

 

Adalah Red, White, & Royal Blue (2023) yang diadaptasi dari novel New York Times Bestseller karya Casey McQuiston. Film yang dirilis Amazon Prime tersebut dibintangi oleh Taylor Zakhar Perez dan Nicholas Galitzine. Sama seperti novelnya, film ini bercerita tentang putra pertama Amerika Serikat, Alex Claremont-Diaz dengan pangeran kerajaan Inggris, Prince Henry.

Alex dan Herny bisa dibilang punya hubungan seperti Tom dan Jerry. Keduanya selalu terlibat dalam pertikaian kecil dan saling mengejek satu sama lain. Alex sendiri bahkan menyimpan dendam kepada Henry yang disebut-sebut sebagai Prince of England’s Heart itu.

Bak ditimpa karma, dalam insiden kue saat hari sakral pernikahan pangeran Philip dan Lady Martha keduanya harus menandatangani perjanjian “damai”. Perjanjian tersebut dilakukan demi menjaga relasi dan citra kedua negara.

Mereka diharuskan melakukan wawancara bersama di berbagai TV. Pesannya adalah meyakinkan publik bahwa insiden kue normal terjadi dan mereka sebenarnya adalah teman dekat. Mereka juga harus melakukan kunjungan publik dengan kamera yang terus membuntuti.

Tak disangka dari perjanjian “damai” ini keduanya jadi dekat dan saling memahami satu sama lain. Ketertarikan dan benih cinta pun mulai tumbuh tanpa diduga-duga.

Baca Juga: 10 Film Korea dengan Tema Kerajaan dan Plot Cerita Menarik

Ulasan Mengenai Red White & Royal Blue
Sumber: Teen Vogue

Baca Juga: Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Sentuhan Baru yang Melampaui Novelnya

Sudah banyak novel yang diadaptasi ke layar lebar, sebagian di antaranya sukses di pasaran. Sebut saja film Harry Potter, Hunger Games, The Lord of the Rings dan Maze Runner. Masalahnya, ada juga film adaptasi novel yang gagal. Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief (2010) adalah salah satu contohnya. 

Mengadaptasi novel menjadi film memang susah-susah gampang. Ini enggak cuma melibatkan keterampilan penulis naskah dan sutradara dalam meramu cerita berdurasi dua jam itu. Namun, chemistry serta bakat akting para aktornya juga harus bersinar agar bisa lebih dinikmati para penonton tanpa kehilangan esensinya.

Red, White & Royal Blue sukses melakukan keduanya. Disutradarai oleh penulis naskah pemenang Tony Award, Matthew López berhasil membawakan Red, White & Royal Blue versinya tanpa kehilangan sentuhan klasik dari novel asli. Seperti layaknya adaptasi novel pada umumnya, ada beberapa subplot dan karakter yang sengaja ia hilangkan. 

Namun, bisa dibilang keputusan López menghilangkan beberapa unsur dari novel jadi keputusan yang cukup bijak dengan keterbatasan waktu. Dia menghilangkan June, saudara perempuan Alex dan tidak membuat kedua orang tuanya bercerai. Ibu Alex, Ellen Cleremont yang diperankan oleh Uma Thurman bahkan digambarkan sangat suportif dan penyayang. Ini cukup berbeda dengan novelnya.

López juga menggantikan figur ratu menjadi raja dengan ibu Henry, Princess Catherine yang absen dari hidupnya. Perubahan yang cukup signifikan membuat kehidupan Henry dan Alex jadi semakin kontras. Alex pun jadi satu-satunya dari keluarga harmonis dan suportif. 

Hal ini membuat ia gagal paham tentang perjuangan Henry sebagai queer dari kerajaan yang dekat dengan citra agresifnya selama ratusan tahun. Alex juga sulit memahami bagaimana seseorang bisa rela berkorban menyembunyikan jati diri, cuma demi mempertahankan citra satu institusi yang merepresinya sejak kecil. 

Namun, dari sinilah, tumbuh keberanian dan empati Alex kepada Henry. Ia selalu siap jadi tempat sandaran dan ruang aman bagi Henry dengan segala kerentanan yang coba disembunyikan. 

Red White & Royal Blue review indonesia
Sumber: The New York Times

Baca Juga: Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’

Menghilangkan beberapa subplot dan karakter nyatanya memang sudah direncanakan sejak awal oleh López. Dalam wawancaranya bersama People, ia ingin filmnya fokus pada karakter Alex dan Henry.

“Sebagai sutradara film, saya memiliki tanggung jawab yang sangat berbeda dengan penulis buku. Berapapun panjangnya buku tersebut, saya harus mengurangi menjadi dua jam. Karena itu, apa pun yang bukan tentang Alex dan Henry tidak boleh ada di dalam film,” tuturnya.

Dengan fokus inilah, López juga memberikan sentuhan pribadinya sebagai sutradara. Satu di antaranya yang paling terasa adalah karakter Alex yang dibangun lebih dimensional. 

Di novel, keputusan Alex terjun ke dunia politik berawal dari keinginan sang ibu untuk mendorong elektabilitasnya dalam kampanye Pemilu ulang. Alex bersama June, dan Nora yang disebut sebagai the White House Trio adalah ikon milenial yang punya tugas sebagai staf di kabinet kerja Ellen. Di saat bersamaan, keinginan Alex terjun di politik juga karena kekagumannya pada sosok politisi gay, Senator Independen Rafael Luna.

Berbeda dengan novelnya, Alex versi López adalah mahasiswa hukum yang terjun sebagai politikus muda murni karena keinginannya sendiri. Alex di novel adalah generasi kedua imigran Meksiko, sedangkan di film, ia generasi pertama dan datang dari kelas pekerja. 

Sebagai anak kelas pekerja dari ayah seorang imigran, ia paham bagaimana orang-orang seperti dirinya jarang menduduki jajaran tinggi pemerintahan. Mereka adalah kelompok rentan dan dipinggirkan oleh publik. Latar belakangnya ini membuat Alex ambisius untuk jadi politikus muda berdarah latin. Ia ingin kelompoknya terepresentasikan di kancah politik yang selama ini meminggirkan mereka.

Ia terjun ke lapangan, menyusun sendiri strategi untuk menggaet pemilih baru dan membangun gerakan pemuda akar rumput di Texas. Ia berusaha sekeras mungkin untuk terlibat dengan orang-orang di tapak, mendatangi mereka, menghadiri pertemuan publik karena ia ingin membuat perubahan, memengaruhi arah politik negara dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh kebanyakan orang seperti dia.

“Untuk mengabdikan hidupmu membantu orang lain. Untuk mengetahui apa yang kamu lakukan memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain. Aku tahu ini adalah pekerjaan hidupku,” kata Alex suatu hari pada Henry.

Sumber: Glamour

Baca Juga: Review ‘Nimona’: Fantasi Gemerlap dengan Pesan Kuat tentang Queer 

Skandal Seks yang Lebih Bernuansa

Alex dan Henry yang tengah menjalin hubungan romansa acap kali bertukar pesan melalui email pribadi. Dipisahkan oleh waktu dan jarak, puluhan email yang mereka saling kirimkan mengandung rahasia. Segala ketakutan, kekhawatiran, rasa cinta kasih, juga gairah seksual keduanya juga digambarkan dengan baik.

Sayangnya, keintiman yang mereka bagi lewat email harus berubah jadi skandal seks semenjak ada seseorang yang sengaja merilis ke publik. Baik Henry dan Alex pun akhirnya mengalami outing (dibongkar identitas atau orientasi seksualnya) karena tekanan publik.

Dalam novel, proses outing ini disusul dengan pidato coming out (melela) Alex di publik. Lewat pidato itu, ia mengaku cinta pada Henry. Adegan coming out Alex di novel begitu dicintai oleh para pembacanya. Namun dalam film, López membuatnya lebih bernuansa. Alex tidak hanya coming out dalam pidatonya, tetapi Alex juga menegaskan hak-hak individu queer serta mengkritisi sikap masyarakat pada mereka. 

“Setiap individu queer memiliki hak untuk melela dengan cara dan waktu mereka sendiri. Mereka juga memiliki hak untuk memilih untuk tidak melela sama sekali. Pemaksaan untuk terus menutupi identitas dan orientasi seksual (the forced conformity of the closet) tidak dapat dijawab dengan pemaksaan untuk melela (forced conformity in coming out of it),” tutur Alex dalam pidatonya.

Pernyataan Alex ini sangat penting karena menyentil sikap paradoks masyarakat terhadap individu queer. Di satu sisi, sampai saat ini masyarakat secara luas masih memegang erat gagasan compulsory heterosexuality. Sebuah gagasan menekankan bahwa heteroseksualitas adalah sesuatu yang normal dan perlu dijunjung tinggi. Ini yang membuat Henry mati-matian menyembunyikan jati dirinya. 

Sumber: Entertainment Tonight

Di sisi lain, sebagian publik juga melakukan pemolisian seksualitas terhadap queer terutama figur publik. Patrick Lenton dalam tulisannya di The Guardian menjelaskan bagaimana betapa masyarakat kerap mendorong figur publik melela. 

Tendensi ini ada karena dua hal. Pertama, ada anggapan beberapa publik figur sengaja melakukan queerbaiting. Sebuah kritik yang dilontarkan kepada figur publik yang diyakini “mempertontonkan” queerness demi mendongkrak popularitas padahal bukan bagian dari kelompok tersebut. Dalam kasus nyata ini dialami oleh Kit Conner, bintang dari Heartstopper yang dipaksa melela.

Anggapan lainnya adalah setiap queer punya utang penjelasan kepada publik tentang identitas dan orientasi seksual mereka. Ini adalah akibat langsung dari compulsory heterosexuality. Karena heteroseksual yang dianggap “normal” maka publik merasa punya hak untuk tahu identitas dan orientasi seseorang yang berbeda. Hal ini pada gilirannya membuat queer merasa punya tanggung jawab besar untuk segera melela bahkan jika itu di luar kemauannya.

Penekanan pada sikap paradoks masyarakat terhadap queer dalam pidato Alex sangat penting. Ini memperlihatkan bagaimana queer terjebak dalam masyarakat yang masih sulit menerima mereka apa adanya. Setiap hari mereka harus berjuang untuk diterima di masyarakat dengan konsekuensi berbahaya yang bahkan bisa melibatkan nyawa dan penghidupan mereka.

Pada akhirnya, sebagai film adaptasi, Red, White, & Royal Blue berhasil memberikan warna baru. Benar bahwa ada kedalaman cerita dan keragaman karakter yang harus hilang karena hambatan durasi yang ada. Namun, di luar hal itu Red, White, & Royal Blue mampu memberikan kedalaman konteks dan karakter pada Alex maupun Henry yang sudah lama dicintai penggemar novelnya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *