‘Glamorous’: Kritik Atas Femme-fobia, Pink Capitalism, dan Girlboss Tobat
Mengejutkannya, ‘The Devil Wears Prada’ versi queer ini bukan cuma menghibur, tapi juga punya pesan anti-tokenisme yang kuat.
Glamorous tidak sempurna. Banyak plot yang terlalu mengada-ada, humor yang gagal mendarat, dan beberapa lakon aktornya yang bikin dahi mengernyit. Tapi, melewatkannya bisa jadi kesalahan terbesarmu tahun ini.
Mengapa?
Mengkritik Femme-fobia
Dari trailernya saja, kita bisa mencium kedekatan plot dan atmosfer Glamorous dengan series seperti Ugly Betty (2006-2010), Yo soy Betty, la Fea (1999-2021), atau film sejenis The Devil Wears Prada (2006). Ada elemen romcom, fashion, make up, superfeminin, dan girlboss yang menonjol.
Namun, ada dua hal yang bikin Glamorous beda. Pertama, karakter utamanya bukan perempuan cis-heteroseksual, melainkan seorang gender nonconforming queer dengan pronouns he/him bernama Marco Meija (Miss Benny). Pemilihan Marco sebagai protagonis utama sendiri adalah salah satu bagian yang bikin serial ini revolusioner.
Sekilas, Glamorous mungkin akan terlihat sebagai tontonan ringan dan dangkal. Atau bahkan punya plot mudah ditebak seperti judul-judul di atas: yang jika ditarik benang merahnya punya tema serupa, transformasi perjalanan hidup si protagonis utama. Dalam Ugly Betty dan Yo soy Betty, la Fea misalnya, tema transformasi si itik buruk rupa bahkan jadi plot utama. Meski tak sebenderang dua judul itu, perubahan karakter Andy (Anne Hathaway) dalam The Devil Wears Prada juga jadi premis utama.
Baca juga: Harry Styles, Seksualitas Figur Publik, dan Peliknya ‘Queerbaiting’
Glamorous juga sama. Perjalanan Marco mengenal dirinya sendiri adalah subplot penting dalam series ini, tapi fondasi utama Glamorous adalah tentang merayakan orang-orang queer dan queerness. Cerita tentang sejarah Pride dan kritik atas pink capitalism awalnya muncul seperti tempelan saja. Namun, makin ke belakang, dua topik yang cuma muncul dalam eksposisi dialog karakternya makin terlihat terang dalam sulaman plot utama.
Ceritanya, Marco—seorang queer muda yang masih mencari-cari arah hidup dan punya cita-cita jadi beauty influencer—tak sengaja bertemu idolanya, Madolyn Addison, seorang mantan supermodel yang kini jadi mogul industri make up. Marco ujuk-ujuk direkrut jadi asisten pribadi Madolyn, karena berhasil menginspirasi sang mogul yang tengah krisis identitas. Plot yang cuma bisa terjadi di TV dan film ini lalu bergulir jadi petualangan Marco jatuh cinta, punya pacar pertama, terlibat cinta segitiga, sampai menemukan dirinya sendiri.
Baca juga: Kenapa Penting Bagi Kita untuk Menghargai Pronoun
Lewat karakter Marco, kita akan dipertemukan dengan cerita-cerita diskriminatif yang sering dihadapi orang-orang berpenampilan feminin (femme). Tantangan itu bahkan beberapa kali hampir bikin Marco jauh dan kehilangan dirinya sendiri. Padahal, sejak kecil ia tumbuh dengan ibu dan support system yang mencintai Marco dan identitas queer-nya. Tapi, semua itu justru mulai terasa berat ketika Marco menghadapi dunia nyata: kantor, pacar, dan belahan dunia yang masih femme-fobia.
Seperti namanya, femme-fobia adalah ketakutan atau ketidaksukaan berlebihan pada hal-hal yang feminin. Seperti sikap misoginis dan toxic masculinity, ia juga lahir dari budaya patriarki dan dominasi laki-laki sebagai gender utama. Sifat ini, sayangnya, bisa muncul bukan cuma dari laki-laki atau orang-orang heteroseksual, tapi juga orang-orang queer sendiri.
Poin ini juga ditampilkan lantang dalam Glamorous. Marco bahkan dibikin jatuh cinta dengan seorang femme-phobe, yang memanipulasinya demi cinta.
The Devil Wears Prada dengan Karakter Girlboss Tobat
Perbedaan kedua dalam Glamorous dari serial dan film dengan genre serupa, adalah caranya memotret karakter girlboss, dalam kasus ini Madolyn Addison.
Jika dalam The Devil Wears Prada—film tentang girlboss yang sudah terkenal bahkan sebelum istilah itu lahir—Miranda Priestly (Meryl Streep) adalah antagonis utama, maka Madolyn di Glamorous lebih condong hadir sebagai ibu peri. Tak seperti Miranda yang ditakuti dan tak segan kejam pada pegawainya, Madolyn justru tampil seperti girlboss tobat. Ia terlihat lebih keras pada diri sendiri dari pada ke pegawainya.
Lewat Madolyn, kita bisa melihat bahwa perempuan pemimpin juga manusia. Ia ditampilkan berwibawa, bijaksana, keras kepala, dan semau jidadnya—persis bos-bos pada umumnya. Tapi, kita juga dipertontonkan Madolyn yang takut tak relevan lagi, bisa salah memercayai instingnya sendiri, dan amat sangat tak tak segan mengakui membutuhkan orang-orang di sekitarnya. Potret girlboss tobat ini sepertinya sengaja disorot Glamorous untuk menunjukkan bahwa musuh utama sebenarnya adalah kapitalisme.
Kapitalisme dan Kapitalisme Merah Jambu (Pink Capitalism)
Saat kita kira Glamorous akan berpusat pada perjalanan Marco mengenal diri sendiri—sebagaimana Betty di Ugly Betty atau Andy di The Devil Wears Prada—creator dan showrunner Jordon Nardino justru mengukir tebal kapitalisme, khususnya kapitalisme merah jambu (pink capitalism), sebagai antagonis utama di serial ini.
Perusahaan make up Madolyn ternyata sedang dalam krisis. Penjualan mereka menurun, dan duit investor baru satu-satunya jalan keluar dari krisis finansial ini. Taruhannya tinggi. Perusahaan bisa tutup, dan semua pegawai terancam kehilangan pekerjaan. Situasi itu membuat beberapa karakter utama menunjukkan sifat asli mereka. Ada pengkhianatan, ada yang cari aman sendiri, ada pula yang tetap setia pada perusahaan.
Semua drama itu menyadarkan kita bahwa musuh utama dalam Glamorous adalah investor baru yang dimetaforakan dalam karakter Mykynnleigh (Nicole Power). Ia betul-betul licik dan hanya peduli pada kepentingan dewan direksi perusahaan investor. Kehadiran Mykynnleigh hanya untuk mengecoh dan mengadu para pegawai dengan sesamanya. Sesuai dengan karakteristik korporat-korporat dalam sistem kapitalisme yang selalu mengutamakan keuntungan daripada kemanusiaan.
Kritik itu tegas diambil Nardino sampai akhir series. Meski beberapa kali hampir menyerah dan mengambil tawaran Mykynnleigh (dengan konsekuensi kehilangan sebagian besar kebebasannya), Madolyn terus berupaya keluar dari jeratan kapitalisme yang menjerat lehernya dan para pegawai Glamorous by Madolyn.
Solusinya? Mereka mencoba bikin kampanye Pride yang lebih inklusif, dengan harapan komunitas akan membantu perusahaan mereka kembali berdiri tegak. Dalam subplot ini, Nardino masih mengkritik kapitalisme merah jambu yang menyusup dalam Pride.
Campur tangan kapitalisme yang berorientasi pada individualisme telah mencemari gerakan LGBTQ+. Banyak gagasan-gagasan pembebasan yang berpusat pada nilai-nilai komunitas dan pengasuhan kolektif (collective care) dipersempit jadi nilai-nilai heteronormativitas. Kritik itu relevan karena sistem yang ada sekarang tidak ramah pada seluruh kelompok LGBTQ+, melainkan hanya pada segelintir mereka (terutama yang bisa mencapai atau samar dalam syarat-syarat heteronormativitas).
Glamorous, secara santai dan satire, menyindir segelintir queer yang paling diuntungkan dari kapitalisme merah jambu. Meski tak begitu lantang, Nardino ingin mengajukan otokritik pada Pride hari ini yang masih terendus sebagai sistem neoliberalisme yang tidak berorientasi pada pendistribusian kesejahteraan. Sehingga masih melanggengkan penindasan, terutama buat mereka yang marjinal dalam kelompok marjinal.
Meski dikemas seperti serial haha-hihi, Nardino sebetulnya cukup berhasil menyelipkan semangat anti-establishment dalam Star Trek: Discovery (serial yang ia juga produseri) ke dalam Glamorous.