Gender & Sexuality

Kenapa Penting Bagi Kita untuk Menghargai Pronoun

pronoun bukan hanya kata ganti nama, pronoun adalah bagian dari identitas seseorang. Kita perlu menghargainya

Avatar
  • March 1, 2023
  • 7 min read
  • 607 Views
Kenapa Penting Bagi Kita untuk Menghargai Pronoun

Pronoun beberapa tahun belakangan ini jadi sesuatu yang hits atau seksi. Pronoun muncul di berbagai wawancara figur publik, perbincangan di media sosial, hingga pengisian data pribadi di dalam seminar atau pertemuan.

Orang-orang mencantumkan pronoun mereka dalam profil media sosial. Dalam pertemuan atau perkenalan pertama, pronoun juga jadi hal yang kini banyak ditanyakan. Dennis Barron, profesor bahasa Inggris dan linguistik di University of Illinois bahkan mengatakan ini jadi semacam pertanyaan kasual baru dari “Halo, nama saya kamu siapa?”

 

 

Barron melalui bukunya What’s Your Pronoun?: Beyond He and She juga menambahkan di beberapa universitas seperti Harvard dan Universitas Minnesota memperkenalkan pronoun jadi bagian dari gerakan inklusif di dunia pendidikan.  

Universitas Minnesota pada 2018 secara spesifik misalnya menawarkan kesempatan kepada mahasiswa untuk menentukan identitas gender mereka, memilih nama alternatif, dan memilih pronoun di antaranya he, she, they, ze, dan “none.”

Universitas Minnesota juga mengedarkan draft kebijakan inklusifitas gender baru yang menyatakan bahwa kegagalan untuk menghormati pilihan gender, nama, dan pronoun dapat berujung pada pemberian sanksi. Termasuk di dalamnya adalah pengusiran bagi mahasiswa atau pemutusan hubungan kerja bagi karyawan.

Baca Juga: Mengenal Non-binary atau Nonbiner: Gender Netral yang Sudah Lama Eksis

Pronoun yang Lebih dari Kata Ganti

Pronoun dalam bahasa Inggris adalah kata ganti benda atau orang. Dilansir dari Cosmopolitan, pronoun dalam sebuah kalimat umumnya disesuaikan dengan jenis kelamin individu bersangkutan, yaitu he/him/his untuk kata ganti dia laki-laki (maskulin) dan she/her/hers untuk kata ganti dia perempuan (feminin).

Dalam linguistik bahasa Inggris, pronoun digunakan untuk menghindari pengulangan kata benda/orang yang telah disebut sehingga kalimat jadi lebih efektif. Namun dalam perkembangannya, penggunaan pronoun bukan hanya hadir untuk efektivitas penuturan bahasa saja tetapi juga bagian yang terintegrasi dengan identitas seseorang.

Barron dalam bukunya yang sama menuliskan walau pronoun alternatif yang lebih netral gender sudah ditemukan dari 200 tahun lalu (mayoritas hadir dalam karya sastra) dan telah diajukan untuk dilegalisasi di beberapa negara bagian Amerika Serikat sejak tahun 1900-an awal, bahasa Inggris yang kita kenal saat ini masih terus mengkategorikan pronoun dalam sesuatu yang biner. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan selalu jadi patokan untuk mengidentifikasi pronoun sekaligus identitas gender seseorang.

Padahal semestinya pronoun tidak harus mengikuti jenis kelamin biologis saat kita dilahirkan. Tetapi itu disesuaikan dengan ekspresi dan identitas gender yang paling pas untuk kita. Ini mengingat gender merupakan spektrum yang sangat luas dan bisa berubah-ubah. Karena itu, penggunaan pronoun yang tepat menjadi sangat penting terutama bagi kelompok LGBTQIA+, terutama trans, nonbiner, dan interseks.

Bagi individu interseks misalnya, penggunaan pronoun yang tepat bisa sangat berpengaruh pada penerimaan diri mereka. Ini terjadi pada Banti Jaswal, seorang interseks 19 tahun. Dalam wawancaranya bersama Parents, Jaswal mengatakan selayaknya individu interseks yang memiliki kromosom atau organ reproduksi yang tidak sesuai dengan jenis kelamin biner laki-laki/perempuan, Jaswal lahir dan tumbuh besar dengan identitas gender yang tidak sesuai dengan dirinya.

My doctors looked at me and chose to give me a gender: female.”

Penetapan atas identitas gendernya ini, membuat Jaswal terpaksa hidup sebagai perempuan. Ia pun sempat kehilangan jati dirinya. Ia terus merasa ada yang salah dengan identitas gendernya dan ini menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kuat selama puluhan tahun.

Beruntungnya, semenjak ia memutuskan mengganti pronouns menjadi they/them dan meminta orang lain untuk memanggilnya dengan pronoun tersebut, Jaswal serasa menemukan dirinya lagi. Bisa jadi diri sendiri.

Being my free intersex self is me living my best life in my true identity. I feel everything is fluid.”

Pentingnya Pronoun bagi Kesehatan Jiwa

Penting bagi kita untuk memahami pronoun punya peranan besar dalam melindungi kesejahteraan hidup. Ia membentuk dan menjaga kesehatan mental seseorang. Karena itu, misgendering atau salah memanggil seseorang dengan pronoun yang salah punya dampak yang cukup besar.

Selain merasa tidak dihargai, Glen Hosking, dosen psikologi di Universitas Victoria dalam tulisannya di The Conversation banyak kasus di lingkungan terdekat seperti keluarga, sekolah, dan lingkar pertemanan, hal ini dapat membuat individu bersangkutan tersebut tertekan dan mengalami penurunan kesehatan mental yang cukup signifikan.

Ia misalnya mencontohkan bagaimana seorang transgender dan nonbiner dua kali lebih mungkin memiliki pikiran untuk bunuh diri dibandingkan populasi umum, dan empat kali lebih mungkin terlibat dalam penggunaan zat berisiko. Hal yang didorong karena identitas gender mereka tidak diakui atau divalidasi.

Sebaliknya, menggunakan pronoun dan nama yang benar dapat mengurangi depresi dan risiko bunuh diri. Dan semakin sering seseorang dipanggil dengan menggunakan pronoun atau nama sesuai dengan keinginannya di rumah, sekolah, kantor, dan lingkungan pertemanan, akan semakin kuat pula efeknya pada kesehatan mental mereka.

Hal ini misalnya terlihat dari laporan penelitian The Trevor Projects Gender-Affirming Care for Youth yang menunjukkan penggunaan pronoun atau nama yang dikehendaki remaja menghasilkan penurunan sebanyak 29 persen dalam keinginan bunuh diri dan penurunan 56 persen dalam perilaku bunuh diri.

Ini juga disusul dengan temuan penelitian lain yang diterbitkan oleh Journal of Adolescent Health pada 2018. Dibandingkan dengan teman sebaya yang tidak dapat menggunakan nama dan pronoun yang mereka pilih, remaja dan dewasa muda yang dapat menggunakan nama dan pronoun yang mereka pilih 71 persen lebih sedikit memiliki gejala depresi berat, 34 persen lebih rendah dalam hal keinginan untuk bunuh diri, dan 65 persen lebih rendah dalam melakukan percobaan bunuh diri.

Baca Juga: Hak Istimewa Heteroseksual yang Mungkin Kita Anggap Sepele

Belajar Menghargai Pronoun Orang lain

“Banyak orang tidak pernah berpikir tentang pentingnya representasi, sebagian besar karena mereka merasa terwakili,” kata Gearah Goldstein, salah satu pendiri The GenderCool Project dalam wawancaranya bersama Parents.

“Dunia di sekitar mereka mencerminkan pengalaman hidup mereka. Namun, ada juga orang lain yang tidak memiliki pengalaman yang sama karena dunia di sekitar mereka tidak mencerminkan pengalaman hidup mereka. Pronoun termasuk dalam kategori ini”

Goldstein menambahkan bahwa memiliki pilihan untuk berbagi pronoun adalah hal yang perlu terus didorong. “Menormalkan keragaman gender adalah praktik inklusif yang membawa rasa memiliki yang lebih baik” katanya.

Di Indonesia mungkin pronoun bukan jadi masalah besar. Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia memiliki kata ganti orang yang bersifat netral gender “dia. Namun, tak bisa dimungkiri dalam konteks sosial budaya, kata ganti orang di masyarakat banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa daerah lain atau bahasa Melayu. Kita melihatnya dalam penggunaan kata “mas” dan “mbak” dari bahasa Jawa, “abang” dari bahasa Melayu dan “teteh” dari bahasa Sunda yang acapkali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa ini secara spesifik ditunjukkan untuk memanggil seseorang yang kita anggap sebagai laki-laki dan perempuan.

Jika mengacu pada pernyataan Goldstein, ada baiknya penggunaan kata ganti ini bisa diganti dengan yang lebih netral gender seperti “kakak”. Ini untuk menghindari asumsi bahwa orang yang kita panggil memang benar mengidentifikasikan diri dengan identitas gender biner tertentu.

Baca Juga:Alam Semesta yang Ternyata Serba ‘Queer’

Adapun hal lain yang bisa dilakukan untuk membiasakan diri dalam memahami pentingnya pronoun dan menghormati identitas gender seseorang. Dalam hal ini Magdalene merangkum tips dari Hosking dan The Swaddle yang antara lain adalah:

1. Biasakan diri untuk menanyakan pronoun seseorang

Menanyakan dan menggunakan pronoun seseorang dengan benar adalah cara mudah untuk menunjukkan rasa hormat kita terhadap identitas mereka. Tanyakan dengan hormat dan secara pribadi pronoun apa yang sebaiknya kita gunakan untuk memanggil mereka.

2. Mulai pakai pronoun kita sendiri

Normalisasikan penggunaan pronoun secara aktif untuk diri sendiri. Kita bisa dapat menyertakannya dalam profil media sosial, nama setelah tanda tangan kita, atau saat memperkenalkan diri dalam rapat. Hal ini akan sangat membantu orang-orang yang menggunakan pronoun di luar biner untuk lebih nyaman dan terbuka.

3. Minta maaf jika kita memanggil seseorang dengan pronoun yang salah

Kesalahan itu wajar dalam pembentukan kebiasaan baru. Jika kita tidak sengaja salah memanggil seseorang dengan pronoun tertentu, maka jangan lupa untuk meminta maaf dan lanjutkan percakapan dengan kata ganti yang benar.

4. Terus belajar!

Bukan tugas orang-orang LGBTQIA+ untuk mengedukasi orang-orang tentang mengapa pronoun itu penting apalagi jika harus terus menerus menjelaskan mengapa mereka memilih pronoun tertentu daripada yang lain. Tugas kita adalah belajar. Unlearn and relearn bias-bias yang kita untuk menciptakan ruang aman dan inklusif. Salah satu caranya bisa melalui lewat membaca rujukan kredibel atau penelitian yang ditulis langsung oleh aktivis, ally, atau kelompok LGBTQIA+ sendiri terkait gender dan seksualitas.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *