Kisah Perempuan Muara Gembong Bertahan di Tengah Abrasi
Dulu Muara Gembong disebut 'kampung dolar' karena melimpahnya hasil laut. Kini perempuan di sana justru bergelut dengan banjir akibat abrasi.

“Siapa yang salah? Karena manusia juga kan? Hutan-hutan dibersihkan untuk tambak. Pada akhirnya kita ‘ndak bisa menyalahkan alam.”—warga Muara Gembong (53).
Pada 1980-an, Muara Gembong dijuluki “kampung dolar”, karena melimpahnya udang, kepiting, dan ikan hasil tambak di daerah tersebut. Penghasilan masyarakat—yang sebagian besar merupakan nelayan tambak—bisa mencapai Rp20-30 juta per bulan pada masa itu.
Namun, kejayaan itu kini tinggal cerita. Sejak 2000-an, dampak eksploitasi pesisir dan pembabatan hutan mangrove untuk lahan tambak mulai terasa. Abrasi terjadi, pantai terkikis sedikit demi sedikit hingga permukaan air laut naik dan menggusur tambak-tambak milik warga. Para nelayan dan buruh tambak di pesisir utara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat itu kehilangan mata pencarian utama.
Lantaran tambak telah hilang, setiap pasang, air pun langsung merangsek ke rumah-rumah warga. Sebagian warga akhirnya memilih pindah dan mencari sumber penghidupan di tempat lain karena daerah tersebut sudah tak layak huni. Sebagian lagi memilih tetap bertahan, terutama warga yang bukan pemilik tambak di Desa Muara Beting. Mereka tidak punya biaya maupun tujuan lain untuk pindah.
Menyiasati air laut yang terus masuk ke permukiman, warga membuat lantai tambahan dari bambu dan kayu agar barang-barang mereka tidak terendam. Warga juga membangun jembatan kayu seadanya sebagai akses penghubung ke jalan utama, karena jalan yang ada sebelumnya sudah tenggelam. Setiap pukul enam sore, air biasanya mulai pasang dan warga sudah sulit melakukan kegiatan MCK (mandi, cuci, dan kakus) karena kamar mandi sudah banjir.
Di tengah situasi ini, perempuan-perempuan Muara Gembong berdiri di garis depan, bertahan dan berupaya mencari sumber penghasilan alternatif untuk menyambung hidup keluarga mereka. Namun, perjuangan mereka tidak mudah. Studi lapangan yang saya lakukan bersama sejumlah rekan peneliti dari ITB dan Labtek Apung mengidentifikasi banyak kendala yang mereka hadapi, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga minimnya akses modal.
Baca Juga: Melihat Lebih Dekat Warga Pesisir Melawan Pemanasan Laut
Wlingi Laut Sebagai Sumber Ekonomi Alternatif
Pagi itu, sekitar pukul delapan, 27 Oktober 2024, saya mengikuti ibu-ibu pesisir Muara Gembong menyusuri tepi pantai. Mereka mengumpulkan wlingi laut (Cyperus malaccensis)—rumput liar yang tumbuh di pesisir dan air payau. Warga lokal sering menyebutnya ‘dot’.
Sebelum terjadi abrasi, ibu-ibu Muara Gembong sebenarnya sudah sangat familier dengan keberadaan tanaman ini. Mereka biasa menganyam wlingi laut untuk dijadikan matras atau karpet. Tapi, kegiatan itu dulu sebatas untuk mengisi waktu luang. Setelah tambak hilang dan suami mereka tak lagi punya mata pencarian yang tetap, para perempuan Muara Gembong bergiat menganyam wlingi laut untuk mencari sumber pendapatan alternatif.
Sebagian perempuan lainnya mengembangkan berbagai produk olahan makanan dari mangrove. Misalnya, mereka mengolah buah dari pohon pidada (Sonneratia caseolaris) menjadi kudapan tradisional seperti dodol, sirup, hingga keripik.
Sayangnya, produk-produk ini belum dipasarkan luas. Akses jalan yang sulit dan minimnya infrastruktur untuk membawa produk mereka ke pasar menjadi kendala utama. Selain itu, modal mereka juga terbatas. Keterbatasan ini membuat ibu-ibu Muara Gembong hanya membuatnya saat ada pesanan, biasanya dari tetangga atau kerabat, sehingga penghasilannya pun tak banyak.
Sehelai tikar anyaman misalnya, biasa dijual dengan kisaran harga Rp50.000- Rp100.000, tergantung dari luas anyamannya. Dalam satu minggu, ibu-ibu Muara Gembong biasanya mampu menghasilkan satu anyaman wlingi laut. Sehingga, pendapatan yang diperoleh dari hasil anyaman tersebut rata-rata Rp400.000-Rp600.000 per bulan. Duit itu biasanya dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti sembako.
“Saat ekonomi susah, beli beras saja sulit. Kami akhirnya tidak harus bergantung pada suami dengan menganyam wlingi laut,” ujar perempuan penganyam wlingi di Muara Gembong (47).
Baca Juga: Riset: Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Belum Ramah Perempuan
Program Pemberdayaan Salah Sasaran
Pada 2023, ada angin segar dari Pemerintah Kabupaten Bekasi yang mengesahkan peraturan daerah tentang kemudahan perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro.
Bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan, peraturan ini ditujukan untuk mendorong pengembangan UMKM dengan memberikan perlindungan serta kemudahan bagi usaha kecil dalam berbagai aspek, termasuk akses ke pasar ritel.
Aturan itu mendorong perusahaan-perusahaan di sekitar Muara Gembong mengembangkan program-program pemberdayaan masyarakat melalui tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Tapi sayangnya, kedatangan mereka tidak membantu masyarakat kecil. Program-program CSR yang masuk justru menyasar usaha yang sudah mapan dan siap masuk ke pasar ritel modern, bukannya membantu usaha-usaha rintisan.
Program yang dibawa juga acap ‘tidak nyambung’ dengan kondisi di Muara Gembong. Salah satunya adalah program membatik yang kini sudah dihentikan karena sulit menemukan bahan-bahan untuk membuat batik, seperti lilin, di wilayah pesisir.
“Pernah ada program pelatihan batik mangrove, namun tidak terpikirkan oleh pembuat program tentang pemeliharaan alat dan ketersediaan bahan setelahnya. Hasil pelatihan tidak dapat dilanjutkan oleh masyarakat karena lilin hanya bisa dibeli di tempat yang agak jauh,” ujar salah satu perempuan Muara Gembong (46).
Baca Juga: Cerita Warga Pulau Kecil Mensemut: Menolak Pindah Meski Nyaris Tenggelam
Warga Butuh Program Berbasis Potensi dan Kebutuhan Lokal
Dari studi yang kami lakukan, perempuan di pesisir Muara Gembong lebih membutuhkan dukungan untuk usaha yang sudah mereka jalankan, seperti kerajinan wlingi laut atau produk olahan mangrove.
Pemerintah semestinya fokus membantu warga mengembangkan opsi ekonomi alternatif yang berkelanjutan sesuai dengan potensi lokal. Warga sangat butuh dukungan untuk meningkatkan produksi dan pemasaran produk mereka.
Pembangunan akses jalan yang lebih baik akan mempermudah distribusi produk mereka ke pasar yang lebih luas. Literasi digital juga penting agar warga bisa memanfaatkan media sosial untuk promosi dan penjualan.
Ketahanan para perempuan Muara Gembong membuka peluang pendapatan alternatif yang berpotensi menciptakan ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Hal ini seharusnya menjadi inspirasi kebijakan yang lebih inklusif sekaligus mengajak kita berpikir lebih jauh tentang bagaimana ekonomi masyarakat bisa dikembangkan dengan pendekatan berbasis pengetahuan lokal.
Muhammad Raditya Alfin Ghifari dari Departemen Antropologi, Universitas Brawijaya (UB) berkontribusi sebagai asisten peneliti dalam riset ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
