December 8, 2025
Culture Issues Opini Prose & Poem

‘Koloni’: Saat Fabel Semut Ratih Kumala Jadi Cermin Feminis Kehidupan Modern

Novel fabel ini memotret dunia semut dengan perspektif feminis yang kuat.Pembaca diajak merenungkan kekuasaan, seksualitas, dan politik dalam kehidupan modern.

  • November 17, 2025
  • 4 min read
  • 1002 Views
‘Koloni’: Saat Fabel Semut Ratih Kumala Jadi Cermin Feminis Kehidupan Modern

Novel terbaru Ratih Kumala, Koloni, membawa pembaca ke dunia semut yang sekilas tampak asing, namun sesungguhnya sarat dengan refleksi feminis dan politik yang dekat dengan kehidupan manusia. Ratih sering menyebut Animal Farm karya George Orwell sebagai kiblatnya. Namun, bagi saya, Koloni tidak hanya satir politik tapi membicarakan seksualitas secara jujur, baik sebagai sarana prokreasi, alat kenikmatan, dan kekuasaan. 

Penulis Gadis Kretek ini baru saja merilis novelnya Agustus lalu, dan di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) diumumkan, terjemahan serta distribusi global Koloni akan ditangani Penguin Random House Southeast Asia. 

Cerita berpusat pada Darojak, ratu semut muda yang harus bertahan hidup setelah koloni asalnya hancur. Sebagai ratu semut yang belum dibuahi, kematiannya berarti lenyapnya satu koloni. Darojak beruntung ditemukan koloni lain dan diterima oleh Mak Momong. Namun, koloni barunya dipimpin Ratu Gegana, yang hanya menelurkan semut jantan—semut yang tugasnya hanya makan, tumbuh, dan kawin. Dengan dominasi semut jantan ini, semut pekerja kewalahan menjalankan fungsinya. Di sinilah Darojak menjadi simbol harapan: calon ratu yang mungkin bisa menyeimbangkan dan menjaga keberlangsungan koloni. 

Mampukah Darojak menjalankan tanggung jawab yang berat ini? 

Baca juga: Ubud Writers & Readers Festival 2025 Gandeng Leila S. Chudori hingga Banu Mushtaq

Mengkritik Patriarki 

Ratih Kumala konsisten menyoroti keresahannya terhadap patriarki. Dalam Gadis Kretek, ia bercerita tentang perempuan yang ingin membuat saus tembakau dan rokok kretek terbaik di industri yang didominasi laki-laki. Dalam Koloni, pendekatannya lebih metaforis, namun kritiknya sama kuat. 

Dalam dunia semut, ratu adalah pemegang kasta tertinggi. Ia menelurkan semut pekerja untuk merawat dirinya dan koloni, serta semut jantan yang tujuan hidupnya hanya makan, tumbuh, dan kawin—lalu mati bahagia setelah mengeluarkan semua sperma. Tugas ratu tidak sebatas itu. Ia harus menjaga keberlangsungan koloni, menelurkan semut jantan, pekerja, dan ratu baru. 

Keberpihakan cerita Ratih pada perempuan terlihat jelas. Dalam koloni ini, perempuan memimpin, dan laki-laki mati setelah kawin. Kritik semakin tajam ketika ia menulis karakter Ratu Gegana yang hanya menelurkan semut jantan. Dalam dialog, Ratu Gegana menyatakan: 

“Menelurkan semut jantan sejatinya cuma menambah kerjaan semut lainnya saja.” 

Baca juga: ‘All Woman Authors’: Daftar Tandingan Penghargaan Sastra 2020

Semut betina terbagi dua, yang subur menjadi ratu dengan feromon yang mengendalikan koloni, yang tidak subur menjadi semut pekerja. Betina memiliki fungsi strategis: mempertahankan koloni, sedangkan jantan tidak. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan dunia manusia. Meski zaman modern, perempuan tetap menghadapi patriarki yang kompleks, sementara laki-laki lebih mudah mengakses pendidikan dan pekerjaan. 

Koloni memotret dunia tanpa patriarki sekaligus membayangkan perempuan berkuasa. Ketika dua ratu bersaing, feromon cinta menentukan siapa alfa, memengaruhi semut pekerja, bahkan mengendalikan semut jantan. Mirip dengan penggunaan daya tarik seksual sebagai simbol kekuasaan dalam Sex and the City, meski dalam bentuk dan konteks yang berbeda. 

Cinta juga menjadi subjek penting. Meski semut berkomunikasi melalui feromon, Ratih mempersonifikasikannya: Mereka merasakan cinta, memiliki sistem kepercayaan, dan indera yang tidak lumrah untuk semut, seperti penglihatan. Ditambah pertikaian politik yang berani membunuh karakter, Koloni menjelma menjadi fabel semut dewasa yang kritis, menggigit, dan sangat mudah dinikmati. 

Baca juga: Review ‘Gadis Kretek’: Rahasia Kretek Djagat Raja dan Dendam Cinta Segitiga

Dekat dengan Kondisi Indonesia 

Meskipun tentang semut, Koloni mencerminkan kepemimpinan, pengikut, dan kondisi Indonesia. Koloni Darojak di awal diganggu manusia. Lewat pembangunan ibu kota baru yang disebut dalam dialog tanpa nama, tapi pembaca bisa memahami konteksnya. Dalam book club, peserta sempat menebak apakah semut mewakili tokoh manusia, meski tidak ada arketipe jelas. 

Ratih menjelaskan kepada saya di UWRF, bahwa buku ini lahir sebagai respons atas kegelisahan terhadap situasi negara di 2024. Beberapa dialog pun secara gamblang menyindir pemerintah: “Terlalu banyak pemimpin hanya akan membuat kebingungan para pekerja.” 

Ratu Gegana digambarkan sebagai pemimpin yang tidak mau lengser, bahkan memakan telur anaknya sendiri jika ada calon ratu baru dan berusaha membunuh telur Darojak. Karakternya mencerminkan pemimpin yang haus kekuasaan dan takut kehilangan kendali. 

Awalnya Ratih menulis versi manusia, namun tidak puas secara naratif. Ide fabel muncul seperti Animal Farm, sebagai façade untuk menyampaikan kritik sosial dengan cara yang tetap dinikmati. 

Melalui Koloni, Ratih Kumala menghadirkan fabel yang akrab sekaligus menggigit. Di balik dunia semut, ia menyoroti kekuasaan, seksualitas, dan politik—tidak jauh berbeda dari dunia manusia. Buku ini bukan sekadar kisah serangga, tapi cermin tentang bagaimana kita membangun koloni kita sendiri: Antara ambisi, cinta, dan ketakutan kehilangan tahta. 

About Author

Reza Mardian

Reza Mardian writes for The Jakarta Post, NextBestPicture, Magdalene, and his TikTok Channel @kelitikfilm. He received the best film critic award at the Festival Film Indonesia (FFI) 2024.