‘The Period of Her’: Menstruasi dan Upaya Merebut Tubuh Sendiri
Lewat percakapan Wati (Claresta Taufan) dan Aan (Ben Bening) di adegan pembuka, penonton segera tahu: menstruasi dianggap “merugikan” laki-laki. Pasangan suami istri ini tak bisa berhubungan seks untuk punya anak—yang dinantikan sejak lama—karena Wati menstruasi.
Namun, keinginan mereka untuk punya anak dilatarbelakangi alasan berbeda: Wati ingin mengasihi, sedangkan Aan perlu membuktikan kejantanannya sebagai laki-laki. Keinginan Aan mengesankan, perempuan bertanggung jawab memvalidasi maskulinitas laki-laki, yang posisinya superior dalam sistem patriarki. Yakni dengan memberikan tubuhnya sebagai objek.
Kisah itu adalah plot dalam Romansa Keparat garapan Praditha Blifa, salah satu film dalam The Period of Her (2025). Film omnibus yang digarap empat sutradara perempuan ini, menampilkan perempuan yang diperlakukan sebagai kelas dua oleh sistem patriarki, tetapi tak memosisikan sebagai korban. Perempuan-perempuan dalam The Period of Her, justru punya agensi dan pilihan untuk melawan, lewat menstruasi dan ketubuhan.
Baca Juga: Peran ‘Perempuan Korban’ di Film: Basi dan Harus Ditinggalkan
Menstruasi dan Ketubuhan Perempuan
Masyarakat patriarkal memandang tabu menstruasi, sering kali juga jadi alat membatasi ruang gerak perempuan. Kumpulan film pendek ini membongkar cara pandang itu.
Contohnya dalam Serixad Patah Hati. Shela (Ika Purpitasari) disebut tak perawan lagi oleh Rendi, pacarnya, setelah Shela memergokinya berhubungan seks dengan Desi, seorang teman dekat. Selain pada sahabatnya, Shela menumpahkan kekesalan pada Rendi lewat ndadi jathilan—kerasukan saat pertunjukkan kuda lumping.
Ndadi yang umumnya dipandang sebagai hal mistis, justru menjadi ruang aman bagi Shela untuk mengekspresikan luka dan kemarahannya, atas klaim Rendi yang mencerminkan kontrol patriarkal terhadap tubuh dan moral perempuan. Maka itu, Shela kembali merebut kendali atas tubuhnya, dan menggunakan penampilan untuk “membalas” kekuasaan yang maskulin.
Sementara dalam Swim Swimming to The Shore, Sarah Adilah mengkritisi kebijakan sekolah, yang mengatur tubuh remaja perempuan lewat seragam jilbab. Film ini menceritakan tentang Nisa, seorang siswa SMP, yang batal mengikuti kompetisi renang tingkat provinsi karena menstruasi. Aturannya, atlet perempuan memakai one-piece swimsuit. Sementara pihak sekolah mewajibkan Nisa berhijab untuk menutup aurat, karena menstruasi menandakan perempuan sudah dewasa.
Swim Swimming to The Shore menggarisbawahi dampak peraturan diskriminatif terhadap siswa. Jilbab sering dilihat sebagai simbol ketaatan, menentukan moralitas perempuan, sehingga sekolah mewajibkan siswa untuk mengenakannya sebagai cara “melindungi” diri. Padahal, yang terjadi adalah perampasan privasi dan otonomi tubuh.
Nisa bukan cuma kehilangan kesempatan untuk menjadi atlet. Peraturan sekolah yang diskriminatif, membuatnya mempertanyakan keberhargaan diri sebagai perempuan. Seluruh siswa menatap Nisa—yang sudah menstruasi—dengan tatapan menghakimi, membuatnya kehilangan rasa aman di sekolah. Sekolah, sebagai institusi, yang awalnya menyanjung dan mendukung perjalanan Nisa, kini meliyankan—membuat Nisa kehilangan arah dan merasa tak berharga lagi.
Sementara dalam Not Dead Enough, Erliana Rakhmawati melakukan gender swap, alias menukar karakter perempuan dan laki-laki beserta fungsi dan peran gendernya. Film ini dimulai dengan menegangkan. Mengisahkan Watik (Yessy Yoanne), seorang istri yang hampir dibunuh oleh Kempes (Rendra Bagus Pamungkas), suaminya, karena tak menjalankan peran dengan “baik”—termasuk enggan berhubungan seks.
Namun, situasi seketika berubah jadi komedi, saat perempuan yang memegang kekuasaan. Watik berperan sebagai kepala keluarga. Ia mencari nafkah, mengambil keputusan, dan jarang di rumah. Sementara laki-laki yang menanggung kerja perawatan, harus menutup aurat, mengalami menstruasi, dan mengalami catcalling oleh perempuan.
Dalam sesi tanya jawab setelah pemutaran filmnya, di Jakarta World Cinema pada awal Oktober lalu, Erliana menjelaskan alasannya melakukan gender swap. “Biar laki-laki ngerasain kayak apa jadi perempuan,” katanya. Karena itu, dalam suting sebuah adegan pun, aktor laki-laki mengenakan pembalut.
Meskipun gendernya dibalik dan perempuan melakukan tindakan serupa, bukan berarti kedudukan perempuan akan setara dengan laki-laki dalam budaya patriarki. Sebab, ekspresi dan pengalaman seksualitas perempuan berbeda.
Perempuan punya sejarah kompleks atas kekerasan yang dialami, berkaitan dengan kondisi biologis dan fungsi reproduksi—seperti vagina, payudara, dan rahim. Bahkan, Watik dalam Not Dead Enough pun hampir mati, saat menolak berhubungan seks karena sedang menstruasi.
Di semesta yang baru, dunia tak otomatis jadi matriarki, meski kekuasaan berada di tangan perempuan. Selain itu, matriarki juga menganut sistem egalitarian. Sementara semua karakter perempuan dalam film ini baru mengambil alih kuasa dari laki-laki.
Baca Juga: 5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan
Sisterhood dan Cara Perempuan Merebut Agensi
Awalnya, keempat film The Period of Her menunjukkan perempuan sebagai korban sistem patriarki. Namun, akhirnya mereka bisa memilih dan mengatur jalan hidup sendiri. Salah satunya karena ada sisterhood, yang hadir lewat teman-teman, guru renang, dan saudara.
Sebagai salah satu kelompok yang dipinggirkan oleh budaya patriarki, perempuan punya pengalaman kolektif: diremehkan dan dianggap tak punya hak bersuara. Dari pengalaman ini, perempuan bisa membentuk support system yang baik untuk melawan ketidakadilan, seperti ditampilkan dalam karakter-karakter The Period of Her. Mereka berani berpendapat dan memiliki agensi masing-masing, sehingga stigma dan stereotip tak lagi menjadi hambatan.
Dalam Serixad Patah Hati, misalnya. Shela bisa berpura-pura ndadi untuk “balas dendam” pada Rendi, karena bantuan sahabatnya yang adalah pawang jathilan. Ia juga yang menemani Shela, saat rencana tak berjalan sesuai rencana dan Shela hampir kembali mempertanyakan apakah dirinya berharga.
Namun, sisterhood dalam film yang disutradarai oleh Linda Andriyani itu bukan cuma terjadi antara Shela dan sahabatnya, melainkan Shela dengan Desi. Ini ditunjukkan pada ending film, mereka—bersama dua orang teman lainnya—beriringan naik motor bersama. Adegan ini membuktikan, Shela dan Desi mengerti, mereka bukan “musuh” bagi satu sama lain.
Sisterhood dalam film omnibus ini mencerminkan apa yang dikatakan bell hooks dalam Sisterhood: Political Solidarity Between Women (1986). Perempuan punya ikatan dan bersolidaritas bukan sekadar karena pengalaman yang sama, melainkan komitmen untuk melawan ketidakadilan: sistem penindasan. Walaupun setiap perempuan memiliki perbedaan latar belakang—seperti kelas, ras, seksualitas, dan privilese.
Baca Juga: ‘A Normal Woman’: Saat Tubuh Menuntut untuk Didengar
Nilai itu juga kentara pada karakter guru renang dan ibu Nisa (Hannah Al Rashid), dalam Swim Swimming to The Shore. Percakapan keduanya—dua sahabat yang bonding karena renang—menunjukkan, bagaimana salah satu dari mereka berhenti menjadi perenang karena budaya patriarki. Namun, mereka hadir untuk Nisa supaya bisa meneruskan keinginan sebagai atlet renang.
Dari interaksi dan ikatan ibu dengan guru lesnya itu, Nisa memahami, perempuan berhak memilih, beropini, dan punya cita-cita. Penonton bisa melihatnya lewat keberanian Nisa, di akhir film pendek ini.
Lewat keempat film pendek, The Period of Her bukan cuma memperlihatkan luka yang dialami perempuan, tetapi menegaskan perlawanan kolektif terhadap cara patriarki memaknai tubuh, seksualitas, dan peran perempuan. Setiap karakter berani melawan melalui tindakan personal, maupun secara solidaritas.
















