Surat dari Penjara: Rindu Aku Padamu, Privasi
Privasi merupakan barang langka di penjara perempuan, yang satu kamar bisa dihuni sampai lebih dari 20 orang.
“Blok D… Cadong paket!!”
Untuk yang ke sekian kalinya lagi-lagi gue bangun karena suara dari TOA itu. Untuk yang belum tahu, itu adalah teriakan seorang narapidana untuk memberikan kode bahwa makanan pagi telah siap diambil.
Gue selalu berharap setiap pagi kalau ini cuma mimpi buruk gue saja. Apesnya, ini kenyataan yang pahit sekali, sepahit daun pepaya ditambah sayur pare dimakan mentah. Ingin sekali pagi-pagi bangun, gue ada di kamar gue di rumah yang isi makhluk hidupnya cuma anak-anak gue plus barang-barang ajaib yang bikin nyaman, seperti kasur empuk beserta antek-anteknya, dingin pula. Dan, yang paling penting: Punya privasi!
Kangen banget sama yang satu itu. Kalau di sini, boro-boro bicara privasi, kita makan jengkol diam-diam saja, 15 penghuni kamar (minimal) yang lain pasti tahu kita makan jengkol. Kenapa bisa tahu? Ya jelas tahu. Kamar mandinya saja ada di tengah kamar, dan cuma mampu menutup bagian pusar ke bawah. Nah, bagian pusar ke atas itu kita harus rela jadi santapan orang-orang kamar dan orang-orang yang lalu lalang depan kamar. Jadi tidak heran kenapa orang-orang di kamar bisa sadar sejak dini bahwa ada teman yang makan jengkol.
Tidak cuma masalah aib toilet, tapi masalah mood dan privasi perasaan kita juga tidak mau diumbar (baca: terumbar). Ibarat gosip kalau di luar sana, kita sadar tetangga sebelah ribut itu kalau kita dengar mereka lempar-lemparan gelas kalau si istri bikin status di media sosial bahwa dia lagi berantem sama suaminya.
Kalau di sini, tidak perlu menunggu ada prahara, teman sekamar atau bahkan teman satu blok akan tahu 100 persen detail tentang masalah yang sedang kita alami. Belum lagi kalau kita lagi malas sama salah satu teman kamar yang kerjanya komeeeeeen melulu (kalau ini pulpen tidak perlu beli, huruf “e” di kata komen bakal gue ulang sampai lima lembar bolak-balik).
Baca juga: Surat dari Penjara: Pura-pura Bahagia Saat Terpaksa Jadi Janda
Iya, sungguh, sedikit-sedikit komentar. Mulai dari melek mata hingga amat dipaksakan untuk merem, ada saja yang dikomentari. Halo! Situ pikir hidup gue dinding Facebook? Dan kabar buruknya, gue harus rela, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, ikhlas atau tidak ikhlas, sanggup atau tidak sanggup, bertahan sama dia lebih dari 20 jam setiap hari, selama sisa masa hidup gue.
Belum lagi si penasihat alias napi yang telat tobat alias yang baru belajar agama. Semuanya dibilang salah, dibilang dosa. Hingga yang sunah jadi wajib dan yang makruh jadi haram. Bagus sih ada positifnya dia di sini, tapi ya masa pakai celana pendek saja dosa? Karena mengumbar aurat katanya. Halo! Ini penjara perempuan, bukan perkemahan kebun teh di Puncak. Isinya cuma narapidana perempuan, ditambah kamar ini cuma modal kipas angin. Terus lu mengharapkan gue tidur pakai piama model ala pasien rumah sakit? Assalamualaikum, hatur nuhun, nyai.
Belum habis sampai di situ, ada lagi tipe napi aneh lainnya, yaitu napi mata duitan. Semua hal diukurnya pakai duit. Bayangkan, ada salah satu teman gua yang pastinya napi juga, yang lagi meriang akibat masuk angin. Nah, si napi mata duitan tadi, yang mana tidak gue kategorikan sebagai teman gua, menawarkan dengan manis dan terlihat sangat tulus.
“Sini, kak, aku kerokin. Kakak pasti masuk angin,” katanya.
Baca juga: Surat dari Penjara: Rinduku dalam Alunan Lagu
Teman yang lagi meriang dengan perasaan terharu langsung pada posisi siap untuk dikerok. Setelah selesai acara kerokannya, si napi mata duitan dengan muka super manisnya bilang, “Kakak istirahat abis ini. Mudah-mudahan cepet sembuh ya, Kak”.
Dengan perasaan super terharu plus ada bumbu-bumbu di dalam hati, “Baik banget sih ini orang”, teman gue balik ngomong, “Terima kasih yaa, sayang. Kamu baik banget”. Selesai urusan malam itu.
Jangan sedih. Esok harinya, si teman yang sudah tak lagi meriang mendapatkan tagihan makanan cimol di kantin seharga Rp15 ribu. Sontak dia bertanya ke si tukang tagih, “Kapan gue makan cimol?”. Merasa tidak terima dan takut tidak dibayar, si tukang tagih menjawab, “Si anu bilang suruh nagih ke lo aja. Katanya kemarin lo dikerokin sama dia dan belum bayar. Jadinya, bayarin cimol saja.” Terpaksa si teman yang sudah tidak meriang membayar lunas tagihan cimol.
Begitulah cerita anti-privasi di penjara perempuan. Walaupun masih banyak tipe-tipe napi yang lain, tapi gue memilih mengakhiri cerita gue sampai di sini dulu karena seperti yang sudah gua bilang di awal, pulpennya harus beli. Doakan saja supaya gue secepatnya ketemu lagi sama privasi!
Artikel ini merupakan hasil dari #Surat (Suara dari Balik Sekat), inisiatif kolektif dari Jurnal Perempuan, Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Magdalene.co untuk memberi pelatihan menulis dasar dan menyediakan sarana menulis bagi narapidana perempuan. #Surat yang ditampilkan telah mendapatkan persetujuan dari penulis, yang membuatnya secara manual dengan kertas dan pulpen.