#RuangAmanAnak: Berikan ‘Safe Space’ untuk Anak-anak Queer, Bagaimana Caranya?
Buat queer, keluarga nuklir sering kali sumber ketakutan. Bukan rumah untuk pulang.
Tahun 2016 jadi momen berharga bagi Anggun (38), seorang transpuan yang berprofesi sebagai seniman, sutradara, penulis naskah film, dan produser. Ia pulang ke Jambi untuk bertemu dengan orang tua sekaligus mengganti nama di KTP. Kali pertama Anggun pulang, setelah tujuh tahun merantau di Jakarta. Meski waktu itu memang berniat rekonsiliasi dengan ayah dan keluarga besar, Anggun tak menyangka sambutan keluarganya malah hangat.
Setelah Anggun mengganti nama di KTP, keluarga ibunya berinisiatif mengadakan kumpul bersama sebagai bentuk perayaan. “Kata mereka mumpung aku balik, bikin potluck aja rame-rame,” cerita Anggun pada Magdalene (11/6).
Hari itu, ia merasa diterima oleh keluarga. Relasi dengan ayah pun semakin membaik. Terutama setelah Anggun merawat ayah selama berobat di Jakarta, pasca operasi bypass. Penerimaan ini mendorong Anggun rutin pulang ke Jambi, setidaknya setahun sekali.
Sebagai transpuan, Anggun merasa beruntung karena keluarga bukan lagi penyebab kekhawatiran, melainkan support system. Hal ini membuat Anggun bisa fokus mencari kesejahteraan hidup, dan menguatkannya menghadapi diskriminasi dari masyarakat.
Dukungan itulah yang Anggun harap dapatkan selama duduk di bangku sekolah: teman-teman yang membela setiap ia dirundung, guru yang paham soal identitas seksual, dan sekolah yang punya kebijakan anti-bullying maupun diskriminasi.
Realitasnya, situasi ideal hanya angan-angan bagi Anggun, karena sejak SMP ia dipersekusi. Selain komentar bahwa laki-laki harus maskulin dan enggak bergaul dengan perempuan, beberapa teman laki-laki mempraktikkan adegan perkosaan terhadapnya. Sedangkan beberapa guru memperlakukan Anggun sebagai lelucon karena feminin.
Hanya ada seorang teman yang tidak pernah mempertanyakan, ataupun menasihati Anggun perihal identitas seksual. Tapi, belum cukup membuatnya merasa aman dengan represi yang begitu kuat di lingkungan sekolah.
“Buatku, sekolah itu menakutkan. Apalagi pelajaran agama pas SMA sering bahas halal dan haram. Di situ teman-teman ngeliat aku sebagai ladang dosa,” ujar Anggun.
Berbagai tindakan represif sempat membuat Anggun enggan melanjutkan pendidikan. Ia pun tak bisa menceritakan perlakuan yang diterima pada siapa pun, lantaran tak ingin dicap lemah. Meski demikian, ayah Anggun pernah menduga, anaknya mengalami masa-masa sulit di sekolah. Kemudian memberikan peringatan pada teman-teman Anggun, supaya tak mengganggu.
Pengalaman Anggun menggambarkan pentingnya menciptakan ruang aman bagi anak-anak queer—terutama di keluarga sebagai tempat pertama individu berkembang. Sayang, seperti masyarakat umumnya, keluarga pun memiliki nilai-nilai cis-heteronormatif. Karenanya, sulit bagi seorang queer mendapatkan keamanan dari lingkungan, yang seharusnya melindungi.
Baca Juga: ‘Queercoded’ dalam Anime 90-an: Bukti Anak Kecil Lebih Toleran
Pentingnya Penerimaan di Keluarga
Secara psikologis, rasa aman merupakan kebutuhan mendasar bagi kesehatan mental setiap orang—layaknya sandang, pangan, dan papan dalam kebutuhan primer. Sebab, ketika seseorang percaya dirinya aman dalam sebuah relasi, perkembangan fisik maupun psikologis pun akan optimal. Sementara jika sistem tubuh mendeteksi ancaman, otak cenderung mencari cara agar bisa menyelamatkan diri dan bertahan hidup.
Hal tersebut disampaikan oleh Psikolog Klinis Gisella Tani. Ia merefleksikan pada kelompok queer yang rentan dipersekusi masyarakat, sehingga kerap merasa terancam. Akibatnya berdampak pada kesehatan mental, ketika seorang queer mulai mengenal diri sebagai minoritas seksual.
“Itu jadi permasalahan identitas diri,” terang Gisella.
Baca Juga: Tentang Melela dan Meruwat Orientasi Seksual
Karena itu, penerimaan keluarga terhadap anak-anak queer adalah bentuk dukungan sosial. Hal ini dapat menghindari mereka dari depresi dan perilaku bunuh diri, bahkan mendorong anak-anak queer untuk meningkatkan keberhargaan diri—seperti disebutkan dalam Family Acceptance in Adolescence and the Health of LGBT Young Adults (2010) oleh peneliti Caitlin Ryan, dkk.
Namun, yang perlu dilihat adalah, diskriminasi yang dialami kelompok queer juga berdampak pada orang tua mereka.
Nini (56)—ibu Anggun, sedih melihat tetangga menatap Anggun dengan pandangan menghakimi karena memakai baju perempuan. Ejekan pun akrab di telinga Nini. Orang-orang menilainya enggak bisa mendidik anak dengan baik. Sementara ayah Anggun awalnya merasa prihatin, mengingat transpuan di Jambi sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan mengancam keselamatan.
Setelah mengunjungi Anggun di Jakarta, Nini melihat kehidupan anaknya: Anggun punya tempat tinggal, pekerjaan yang pantas, dan dikelilingi oleh teman-teman yang baik. Dari situ Nini belajar memahami dan menerima, sekaligus kembali berkomunikasi dengan Anggun.
Walaupun berusaha hadir dan menemani Anggun, proses tersebut bukan sesuatu yang mudah dilalui. Nini terkejut dan sempat bimbang melihat anak sulungnya bertransisi secara fisik. Ditambah keluarga besar seolah menghadapkan pada pilihan, memihak pada Anggun atau mendengarkan keluarga.
Emosi intens yang dirasakan orang tua saat anaknya melela sebenarnya bisa dipahami. Dari pengamatan Gisella, ada berbagai respons orang tua. Seperti bisa memproses untuk menerima apa adanya, tetapi memikirkan bagaimana anaknya bertahan hidup dengan penolakan di masyarakat. Atau menganggap minoritas seksual tidak sesuai dengan norma sosial dan agama.
“Valid kok kalau orang tua merasakan emosi yang beragam. Tapi penting juga mereka punya bantuan, supaya nggak bingung sendiri,” jelas Gisella.
Alasan itulah yang melatarbelakangi pertemuan Nini dengan seorang teman di Jakarta, di momen bersamaan saat ia menjumpai Anggun. Ia membutuhkan seseorang untuk mengungkapkan perasaan, terlebih karena di Jambi tak ada rekan yang menguatkan.
“Dia semangatin emak,” ucap Nini. “Katanya terserah orang bilang apa, yang penting Anggun nyaman dengan identitasnya dan emak bisa ketemu.”
Perlahan, Nini membuka diri dan membujuk ayah Anggun untuk melakukan hal yang sama. Meski awalnya setengah hati, orang tua Anggun tahu bahwa mereka tak ingin menolak dan meninggalkan anak. Karena itu, saat mengganti nama KTP di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pun, ayah Anggun mendampingi prosesnya.
Kini, Anggun dan orang tuanya sudah berekonsiliasi. Anggun selalu memberikan perhatian bagi keluarga, dan orang tua Anggun pun mendukung.
“Apa pun yang bikin Anggun senang. Emak berharap, dia berhasil meraih yang dicita-citakan tanpa merugikan orang lain,” ungkap Nini.
Baca Juga: Reggy Lawalata dan Membesarkan Anak Transgender
Menciptakan Safe Space untuk Anak-anak Queer
Untuk memberikan ruang aman bagi anak-anak queer, Gisella menggarisbawahi beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua. Terutama setelah anak melela.
Pertama, menyadari respons diri, berusaha bersikap netral dan menghindari penghakiman sebelum mengekspresikannya. Apabila dirasa memerlukan waktu untuk memproses, sampaikan pada anak terkait hal tersebut.
Kedua, berikan anak kesempatan untuk mengungkapkan lebih lanjut. Pada tahap ini, upayakan keterbukaan untuk mendengarkan, bagaimana anak mengeksplorasi dan mengidentifikasi diri sebagai queer—misalnya dari tontonan, bacaan, ketertarikan, atau diskusi dengan orang lain.
Ketiga, yakinkan anak bahwa mereka bisa menjadi dirinya sendiri sesuai identitas yang dimiliki. Diikuti pemberian pendidikan seksual komprehensif dan pengertian, mereka akan terus berkembang sebagai individu.
“Penting juga menyampaikan kalau mereka bisa sharing sama mama papa, ada referensi yang bisa didiskusikan bareng. Atau mencari psikolog yang paham perkembangan seksual pada remaja tanpa memberikan penilaian,” terang Gisella.
Dengan demikian, harapannya anak-anak akan merasa dipahami, nyaman untuk mengekspresikan diri, dan memiliki teman untuk mencari identitas seksual.
Sementara di lapisan masyarakat, bisa mendukung kelompok queer dengan berbagai hal: mengedukasi diri, mengadvokasi, dan menyosialisasikan hak-hak queer dan mendobrak stigma yang berlaku—termasuk pada pemegang kebijakan.
Lain halnya bagi Anggun. Menurutnya, peran keluarga nuklir sangat penting dalam memberikan dukungan sekaligus kekuatan melawan diskriminasi—dan Anggun beruntung mendapatkannya. Karena itu, Anggun menyarankan agar teman-teman queer memperjuangkan penerimaan dari keluarga.
“Untuk teman-teman (queer) yang belum rekonsiliasi, coba perjuangkan penerimaan itu. Tapi kalau enggak bisa, bangun chosen family di komunitas,” tutup Anggun.
*Pada Juni 2024, Magdalene memproduksi series artikel tentang #RuangAmanAnak. Liputan ini dimaksudkan untuk mengurai hak anak, terutama yang berkaitan dengan hak atas rasa aman, baik keamanan fisik maupun mental.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari