Tentang Melela dan Meruwat Orientasi Seksual
Trauma karena diruwat akibat orientasi seksual membuat penulis merasa ‘coming in’ lebih penting daripada ‘coming out’.
Belakangan ini saya cukup sering bermimpi aneh. Awalnya saya berasumsi bila ini merupakan efek kehidupan monoton yang saya alami selama delapan minggu di masa Pembatasan Berskala Besar. Namun, mimpi saya memiliki satu tema yang melibatkan darah ayam hitam, melihat orang kerasukan roh halus, dan persidangan meja hijau.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa cuplikan adegan-adegan yang muncul itu terkait dengan kejadian di awal tahun 2013, saat saya menyelesaikan program sarjana. Pada satu pagi, tiba-tiba ibu membeli tiket kereta untuk kami berdua ke kampung halamannya di Cirebon. Seharusnya beliau mengetahui kesibukan saya di kampus yang cukup padat menjelang kelulusan, sehingga Ibu sudah langsung membeli tiket untuk kereta pertama besok paginya kembali ke Jakarta. Saya bingung. Satu-staunya petunjuk yang saya punya adalah, saya baru melela (coming out) di kalangan keluarga inti.
Baca juga: Queer Love: Antara Melela atau Tidak
Proses melela saya berlangsung sedikit mengharukan. Entah apa yang membuat saya menghampiri Ibu yang sedang melipat selimut di kamarnya satu minggu sebelum perjalanan ini. Kami menangis berdua, dan dia berkata, “Tidak ada bekas anak dan orang tua”. Saya pikir saya cukup beruntung tetapi ternyata saya keliru.
Tiga hari kemudian, Ibu menelepon Ayah yang bekerja di Australia. Mereka bertengkar hebat. Saya masih bisa mendengar pertanyaan Ayah perihal orientasi seksual dan kemudian mendengarnya menangis selama 30 menit tanpa bicara lewat telepon. Saya tidak melontarkan pendapat atau pemikiran apa pun dan berasumsi bahwa mungkin Ayah sedih, atau mungkin dia sedang berpikir.
Di Cirebon, saya sudah disambut oleh sepupu dari ibu (Paman) dan juga kakaknya (Bude). Mereka sudah menyiapkan semua persiapan ruwatan individu untuk saya yang akan dilakukan pada malam hari nanti. Saya pikir, “Jalani saja, ibu kamu sedang mencari segala solusi sebagai seorang ibu”. Tidak ada perlawanan dari saya sedikit pun, saya hanya menginginkan hal ini cepat berlalu dan kembali ke Jakarta besok paginya.
Ritual dipimpin oleh Paman dan dibantu oleh Bude yang katanya memiliki kemampuan lebih, yang sering digunakan jasanya oleh jaringan pengguna di daerah lain di luar kabupaten sampai Jakarta dan daerah lain di luar kabupaten.
Rentetan trauma pada malam itu tidak dimulai saat upacara, tetapi saat saya disidang dan dipaksa melela di depan keluarga besar. Dalam sekejap, pencapaian akademik saya di dalam dan di luar negeri menjadi tidak berarti. Derajat saya langsung turun dibandingkan oleh sepupu-sepupu yang lain dan secara otomatis diberikan peringkat di paling bawah. Begitu pula dengan Ibu yang mendapat vonis tidak mampu mengurus anak laki-laki satu satunya.
Baca juga: Perjalanan Penerimaan Diri Sebagai Seorang Gay
Tradisi ruwatan cukup dikenal dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Yang dilakukan pada saya malam itu adalah skala individu, jadi tidak ada gelar wayang dan gamelan seperti ruwat desa atau lingkungan. Tapi saya mengingat jelas beberapa syarat seperti gula merah, kelapa, ayam hidup, telur, cerutu, uang, sandal, benang, kapas, dan jarum. Setelah saya diantar ke lokasi ritual, Paman menekankan kembali betapa pentingnya prosesi malam tersebut dan perihal saya yang tidak mungkin diikutsertakan dalam ruwat masal karena menanggung aib keluarga.
Prosesi dimulai dengan pemotongan ayam cemani, yang berwarna hitam dari ujung kepala sampai kaki. Untuk membersihkan badan dan dosa saya, Paman kemudian melakukan ritual untuk mencari sumber penyebabnya. Sambil menghisap cerutu, saya melihat perubahan gerakan paman menjadi luwes. Rupanya dia sedang berdialog, atau lebih tepatnya bermonolog, dengan perempuan cantik penggoda pria yang menurut beliau bersandar di sekitar pusar saya.
Rentetan trauma tidak dimulai saat upacara, tetapi saat saya disidang dan dipaksa melela di depan keluarga besar. Dalam sekejap, segala pencapaian saya menjadi tidak berarti. Derajat dan peringkat saya langsung turun ke paling bawah dibandingkan semua saudara.
Kemudian ritual dilanjutkan dengan memusatkan fokus ke arah perut saya. Saya dimandikan lalu diberikan bacaan bertuliskan arab pegon (bahasa Jawi dengan huruf Arab gundul) yang harus saya baca ratusan kali setiap harinya di wilayah tertentu di rumah. Tentu syarat tersebut tidak saya jalankan karena saya akan langsung kembali rumah kos di Depok.
Ibu mengeluarkan uang sekitar Rp5 juta untuk upacara tersebut. Besok paginya kami kembali ke Jakarta, dan sejak itu saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Cirebon dan berkomunikasi dengan keluarga besar dari pihak ibu.
Kambing hitam
Yang tidak saya ketahui dari rangkaian perjalanan tersebut adalah, setahun kemudian, ayah saya menikah lagi secara siri. Dari tahun 2012 akhir, Ibu sudah menyadari perselingkuhan Ayah sehingga komunikasi Ibu ke keluarganya menjadi lebih intens. Bagi keluarga besar, untuk Ibu menggugat cerai suami dan tidak menuruti kepala keluarga bukanlah solusi. Namun orientasi seksual sayalah yang dikambinghitamkan Ayah untuk meninggalkan kami.
Pada akhirnya, yang paling satire dari cerita ini adalah, orang-orang yang membuat ibu saya bingung dan menuduhnya tidak bisa mengurus anak, justru mendapat uang dan keuntungan. Belakangan saya mengetahui kalau putra kedua bude saya yang kuliah di Bandung lulus sangat lama dengan IPK di bawah 2, dan dia iri dengan pencapaian saya. Setelah ritus tersebut, Bude dan Paman juga beberapa kali masih meminta sedekah uang untuk mengusir bala keluarga.
Trauma yang saya dapatkan kebanyakan bukanlah dari prosesi ritual ini tetapi dari pencarian validasi orang-orang dewasa yang sesungguhnya juga sama-sama kebingungan. Hal ini masih saya jadikan pelajaran sampai saat ini. Beberapa orang tua kadang berpura-pura dewasa di depan anak-anaknya dan cenderung ragu untuk turut mengakui masalah dan kekurangan mereka.
Pada akhirnya, Ibu menggugat cerai dan dikabulkan Pengadilan Agama pada 2017. Kadang saya berandai-andai, “Apa yang terjadi bila dulu saya cukup artikulatif dan jeli? Apakah saya mampu dengan jelas berdiskusi dan menjelaskan semua permasalahan?”. Karena seringnya kita tidak pernah siap dengan situasi yang dihadapkan, apalagi tidak mengetahui segala aspek latar belakang di balik sebuah kejadian.
Pengalaman ini mungkin berbeda dengan ritual yang lebih agresif seperti ruqyah. Namun pemaksaan ideologi untuk motivasi kesembuhan di saat tidak adanya penyakit, sebaiknya tidak dilakukan. Pekerjaan rumah untuk mengedukasi bahwa kamar kelamin, orientasi, gender, identitas dan ekspresi adalah satuan entitas konsep yang berbeda juga harus dipahami oleh para orang tua agar tidak menjadi mimpi buruk bertahun bagi anaknya yang menurut mereka berbeda.
Baca juga: Praktik Ruqyah terhadap Kelompok LGBT adalah Tindak Kekerasan
Sejak pengalaman itu, saya hidup dengan lebih inklusif. Dari radiasi positif inklusivitas, saya sering ditanya oleh teman-teman queer lain, “Apakah melela akan menyelesaikan segala permasalahan?”
Perlu tujuh tahun untuk saya bisa menerima dan melangkah dari seluruh rangkaian peristiwa di atas. Saya terus bisa menjalani hidup, namun peristiwa tersebut tentu pasti akan tetap membekas dalam ingatan saya.
Menurut saya, coming in adalah bagian yang lebih atau paling penting dari coming out. Menerima diri sendiri merupakan hal yang paling mendasar dari sikap inklusif. Bila sangat diperlukan, silakan melela, tetapi sadari seluruh risiko dan peluang yang mungkin terjadi. Saya sadar betul bahwa latar belakang kisah kaum queer di Indonesia pasti sangat berbeda-beda. Dengan coming in, paling tidak kita akan menerima dan menyayangi diri sehingga kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita bisa terjaga.