Safe Space

Ruang Iman buat Transgender: Bisa Picu Diskriminasi, Sekaligus Sumber Kekuatan

Iman sebetulnya milik siapa saja. Tapi, sejak lama negara ini menjauhkan transgender dari salah satu hak paling dasarnya ini: beragama dan merasa aman di dalamnya.

Avatar
  • December 27, 2022
  • 7 min read
  • 1221 Views
Ruang Iman buat Transgender: Bisa Picu Diskriminasi, Sekaligus Sumber Kekuatan

Shinta Ratri, seorang transgender perempuan asal Indonesia, mengajarkan pada para transgender di Pesantren Al-Fatah yang didirikannya pada tahun 2008 bahwa Tuhan tidak peduli jika kamu gay atau transgender. Selama kamu beribadah dengan tulus, doamu akan diterima.

Berlokasi di Yogyakarta, pesantren ini telah memberikan tempat yang aman bagi para transgender di negara yang menganggap bahwa agama dan transgender saling bertentangan. Meskipun Indonesia telah bertransisi menjadi negara demokrasi sekuler sejak 1998, semua warga negara masih wajib membawa kartu identitas (KTP) yang secara jelas mencantumkan apa agamanya.

 

 

Indonesia telah menandatangani Deklarasi Beijing 1995, yang mengamanatkan “tanggung jawab untuk mendukung, melindungi, dan memenuhi hak warga negara atas kesehatan seksual dan reproduksi.

Akan tetapi, hanya ada sedikit aturan hukum yang bisa melindungi komunitas LGBTQI. Di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, pandangan agama yang fundamentalis seringkali mendorong diskriminasi terhadap komunitas transgender.

Saya mencoba menelaah hubungan antara negara, gender, seksualitas, dan agama di Indonesia selama lebih dari dua dekade. Saya menemukan bahwa keimanan bisa menjadi sumber penghiburan dan dukungan bagi banyak transgender.

Baca juga: Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’

Sejarah Komunitas Transgender yang Panjang

Banyak orang di Indonesia, dan di mana pun, meyakini bahwa gagasan mengenai gender dan keragaman seksual masuk ke nusantara melalui pengaruh barat. Padahal, sebagian wilayah di Indonesia, seperti Pulau Sulawesi, telah menjadi rumah bagi komunitas transgender setidaknya sejak tahun 1500-an.

Dalam kurun waktu itu, para misionaris dan utusan perdagangan yang melakukan perjalanan ke wilayah tersebut mencatat dalam jurnal pribadi mereka mengenai aspek masyarakat di sana yang, menurut mereka, luar biasa, yakni orang-orang dengan bentuk tubuh lelaki namun bertingkah seperti perempuan.

Pelancong asal Eropa, Antonio de Paiva, menuliskan dalam suratnya pada tahun 1544 bahwa ada sebuah kelompok yang disebut bissu yang dianggap sakral pada zaman kerajaan, dan mereka “tidak menumbuhkan jenggot mereka, berpakaian seperti perempuan, dan cenderung bersikap seperti perempuan.” Sebagai sosok dengan tingkat keagamaan tertinggi, bissu dianggap sebagai penasihat, penyelenggara pernikahan, dan menjadi perantara antara keluarga kerajaan dengan para dewa.

Selain itu, Bahasa Indonesia pun memiliki beberapa istilah kata untuk mendeskripsikan transgender, yaitu banci, bencong, wadam, dan waria. Beberapa istilah tersebut, seperti wadam dan waria, adalah gabungan dari kata wanita dan pria. Kata wadam adalah kependekan dari ‘wanita dan Adam’, sementara waria merupakan singkatan dari ‘wanita dan pria’.

Tiga istilah pertama yang disebutkan di atas biasanya dianggap penghinaan atau ejekan. Belakangan, mulai muncul istilah yang lebih netral, yaitu transpuan dan transpria. Namun demikian, istilah-istilah tersebut menunjukan adanya peran historis transgender serta eksistensi mereka dalam kehidupan sosial.

Baca juga: Islam dan WHO, Melepas Belenggu Transgender

Diskriminasi dan Persekusi

Protestors holding loudspeakers marching while holding a banner.
Sekelompok orang berdemo menentang lesbian, gay, biseksual dan komunitas transgender di Banda Aceh pada 27 Desember 2017. Chaideer Mahyuddin/AFP via Getty Images

Saat ini, Indonesia memang tidak secara resmi mengkriminalisasi hubungan seksual sesama jenis, tapi kelompok LGBTQ kerap mendapatkan ancaman bahkan sampai ditangkap oleh polisi.

Pada tahun 2008, Indonesia mengesahkan UU Pornografi yang mengategorikan transgender sebagai perbuatan cabul. UU ini menyatakan bahwa unsur pornografi mencakup “gambar, percakapan, dan gerakan tubuh di muka umum yang mengandung tindakan cabul atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Sejak tahun 2016, kelompok garis keras yang menentang keragaman gender dan seksualitas semakin menguat. Banyak orang di Indonesia menuntut adanya hukuman yang lebih berat bukan hanya terhadap hubungan sesama gender, tapi juga terhadap jenis aktivitas seksual pasangan heteroseksual di luar ikatan pernikahan.

Pandemi COVID-19 semakin memperparah diskriminasi terhadap komunitas transgender di Indonesia. Misalnya sebelum COVID-19, individu transgender yang membutuhkan akses pengobatan, seperti untuk HIV, bisa mendapatkannya melalui LSM dan di beberapa tempat ibadah. Akan tetapi, selama pandemi, akses terhadap sumber daya medis terbatas, sehingga penyediaan obat HIV bagi komunitas transgender tidak lagi menjadi prioritas.

Keimanan Sebagai Sumber Dukungan

Banyak agama yang tidak mengakui identitas LGBTQI. Namun, ada beberapa agama yang memberikan ruang untuk keragaman gender dan seksual. Ada banyak contoh di Indonesia masa kini bahwa iman menjadi suatu sumber kenyamanan dan dukungan bagi kaum transgender.

Dalam penelitian etnografi jangka panjangnya, Diego Rodriguez menganalisis kegiatan sehari-hari beberapa queer (istilah untuk individu tidak mengikuti gagasan esensial dan biologis mengenai gender dan seksualitas) Muslim untuk membuktikan bahwa Islam dan queerness dapat harmonis.

Dia menemukan bahwa Islam terkadang lebih mementingkan pembentukan gagasan mengenai diri individu trans daripada etnisitas, seksualitas, atau gender. Misalnya, beberapa komunitas transgender menafsirkan bahwa iman Islam membuat setiap individu dapat menerima satu sama lain apa adanya.

Masjid Al-Fatah juga berbaur dan terlibat dalam kegiatan agama lain. Misalnya, pada desember 2021, Al-Fatah menyelenggarakan perayaan Natal bersama transpuan Kristen.

Selain itu, sejak 2019 para pendukung transgender seperti Global Interfaith Network (GIN) ikut berjuang agar masjid dan tempat ibadah lainnya lebih menerima kaum transgender.

Amar Alfikar, seorang transpria dan peneliti GIN, telah berusaha keras bersama para transpria lainnnya dan Muslim feminis queer untuk mendirikan kelompok Indonesian Queer Muslims + Allies, sebuah ruang virtual tempat para anggotanya bertemu setiap minggu untuk membaca Al-Quran dan mendiskusikan teologi Islam.

Menyediakan ruang virtual seperti ini penting karena umumnya banyak masjid yang memaksa jamaah untuk berpakaian sesuai dengan jenis kelamin biologis yang mereka miliki sejak lahir ketika masuk masjid. Ini membuat laki-laki dan perempuan biasanya memiliki pintu masuk dan ruang shalat yang berbeda di masjid.

Indonesia juga sebenarnya merupakan rumah bagi gereja-gereja trans-inklusif. Gereja Bethany di Yogyakarta menerima umat transgender Kristiani setelah melihat bahwa kelompok tersebut kesulitan menemukan tempat untuk beribadah. Sekolah Filsafat Katolik Ledalero di Maumere, kota terbesar kedua di Pulau Flores, juga salah satu contoh gereja trans-inklusif.

Seperti yang dikatakan oleh aktivis Dede Oetomo: “Dalam hukum Indonesia, tidak ada ayat yang mengatakan bahwa hak beribadah hanya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.”

Jalan ke Depan

Eksistensi transgender telah membuat banyak alim agama berpikir keras tentang Tuhan mana yang mereka sembah dan agama apa yang menjadi rujukan mereka.

Bissu, yang menggabungkan energi feminin dan maskulin, percaya bahwa identitas inilah yang membantu mereka bisa berdoa dengan efektif. Bissu sering mendoakan mereka yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Arab Saudi.

Ketika saya memulai penelitian lapangan pada 1990-an, saya pun merasa bahwa ini semua membingungkan, tetapi pada akhirnya saya memahami bahwa bagi banyak orang di Indonesia, tidak ada kontradiksi antara Islam dan transgender.

Seperti yang dikatakan seorang bissu kepada saya, “Allah adalah satu-satunya Tuhan, tetapi ada banyak cara untuk dekat dengan Tuhan.”

Baca juga: Al-Qur’an Tak Ajarkan Membenci Kelompok LGBT: Akademisi Muslim

Ada enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, agama Hindu yang paling terbuka dengan kelompok transgender. Ini karena Hinduisme meyakini prinsip kesadaran, atau atma, filosofi “hidup dan biarkan hidup”, serta melakukan karma baik. Melalui kepercayaan ini, individu transgender dapat menemukan pelipur lara.

Bali, wilayah yang lebih dari 90% penduduknya menganut agama Hindu, adalah tempat paling ramah bagi transgender di Indonesia, walaupun masih juga terdapat transfobia.

Selain itu, seperti yang dikemukakan antropolog Ben Hegarty dalam bukunya The Made-Up State, komunitas transgender di Indonesia juga menjadi salah satu definisi orang Indonesia, termasuk sebagai warga negara yang beriman.

Secara publik, dan secara individual, menyatukan keimanan dan transgender bukanlah perjalanan yang mudah. Komunitas transgender di Indonesia mengalami trauma terhadap agama dan transfobia, tetapi juga menemukan bahwa keimanan mereka adalah sumber kekuatan dan kenyamanan.

Jessica Patricia Patipi, Rizky Junior Ully dan Chindy Christine dari University of Western Australia menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Sharyn Graham Davies

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *