Lingkungan keluarga rentan menjadi tempat penyebaran virus corona (COVID-19). Di Jakarta saja, sudah lebih dari 5.000 kluster keluarga ditemukan di Jakarta antara 4 Juni hingga 8 November 2020.
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas COVID-19, Dewi Nur Aisyah, mengatakan, dari 5.252 kluster keluarga tersebut muncul 42.019 kasus, yang menyumbangkan 40 persen dari total kasus positif di Jakarta pada periode tersebut.
Ia mengatakan, berdasarkan sebuah hasil survei di Wisma Atlet, sekitar 7 persen orang yang tertular tidak pernah meninggalkan rumah. Selain itu, aktivitas di luar rumah selama libur panjang akhir pekan di bulan Agustus juga menjadi penyebab kenaikan kluster keluarga di Jakarta, ujarnya.
“Kluster keluarga akan meningkat karena ada seseorang yang bepergian, lalu kembali ke rumah dan menyebarkan (virus) kepada anggota keluarga yang lain,” ujar Dewi dalam wawancara untuk serial podcast “Perempuan Lawan Pandemi”, hasil kerja sama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Magdalene.
Dia menambahkan, risiko penularan melalui kluster keluarga lebih tinggi sepuluh kali lipat dibandingkan dengan kluster lainnya karena karakteristik interaksi di dalam rumah.
“Ketika di rumah, (anggota keluarga) pasti lebih berdekatan. Kalau (orang tua) sedang bersama anak-anak, enggak mungkin berjauh-jauhan. Kemudian, tidak mungkin setiap saat menggunakan masker,” katanya.
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda
Pencegahan kluster keluarga
Ada dua macam penularan di kluster keluarga, menurut Dewi. Pertama, seorang anggota keluarga tertular di luar rumah lalu menularkan ke sesama penghuni rumah. Kedua, anggota keluarga tertular dari tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Ia mengingatkan agar protokol memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M) tetap diterapkan meskipun seseorang mendapatkan kunjungan dari teman atau bahkan saudara kandung yang tidak tinggal serumah.
Dengan adanya fakta bahwa kluster keluarga menjadi salah satu penyumbang tertinggi kasus positif, dia menekankan pentingnya pembatasan aktivitas di luar rumah untuk meminimalisasi kemungkinan penularan.
“Misalnya, kalau tidak penting sekali, tidak usah menghadiri pernikahan yang jumlah undangannya banyak. Kami juga mendapati adanya kluster tahlilan. Karena tidak jaga jarak, ruangannya kecil, dan orangnya banyak, akhirnya satu orang yang positif bisa menularkan kepada 20 orang,” ujar Dewi.
Pencegahan juga menjadi langkah awal ketika seseorang mencurigai adanya anggota keluarga yang mungkin tertular COVID-19.
“Ketika gejalanya berat, (maka seseorang) perlu dirawat. Ketika gejalanya ringan atau tak ada gejala, wajib lakukan isolasi mandiri. Ketika di rumah, pastikan kamar tidurnya terpisah dengan anggota keluarga yang lain,” kata Dewi.
Baca juga: Pemerintah, Bio Farma Kembangkan Vaksin Merah Putih untuk COVID-19
Orang yang melakukan isolasi mandiri di rumah perlu memastikan agar menghindari pemakaian bersama peralatan makan dan mandi. Sementara itu, bagi yang tidak mungkin menjalani isolasi di rumah karena keterbatasan ruangan, mereka dapat melakukannya di fasilitas yang disediakan pemerintah pusat atau daerah.
Salah satu hal yang dilakukan oleh Satgas COVID-19 untuk mencegah terjadinya kluster keluarga adalah mengedukasi warga pra-sejahtera yang tinggal di pemukiman padat penduduk. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa karakteristik dan budaya masyarakat Indonesia berbeda-beda sehingga pendekatannya pun tidak seragam.
“Kami menggunakan kearifan lokal dengan menggandeng tokoh agama dan masyarakat sebagai influencer terdekat masyarakat sekitar untuk memberikan pemahaman mengenai 3M untuk memutus rantai penularan,” kata Dewi.
Satgas COVID-19 juga memiliki bidang perubahan perilaku. Saat ini terdapat lebih dari 40.000 duta perubahan perilaku di kabupaten dan kota di Indonesia. Mereka bertugas mengedukasi tokoh masyarakat dan agama dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku panduan terkait penerapan protokol 3M juga sudah diterjemahkan ke 75 bahasa daerah.