December 5, 2025
Environment Issues Opini

Dear Pandawara, Sampah Pembalut Bukan Karena Perempuan Jorok

Perempuan disalahkan atas sampah pembalut. Padahal pemerintah dan produsenlah yang gagal total tangani limbahnya.

  • July 25, 2025
  • 4 min read
  • 2199 Views
Dear Pandawara, Sampah Pembalut Bukan Karena Perempuan Jorok

Saya menulis artikel ini dengan kesal karena video yang diunggah Pandawara Group ke TikTok memperlihatkan tumpukan pembalut sekali pakai yang ditemukan mengapung di sungai. Dalam video tersebut, salah satu anggota mereka menegur: “Kok bisa sih ada cewek sejorok ini?” sambil memegang papan berisi belasan pembalut bekas. 

Sejumlah netizen mengaku malu sekali pun mereka bukan pelaku. Komentar macam itu mencerminkan bagaimana stigma cepat meluas. Beberapa menyarankan pembatasan penggunaan pembalut sekali pakai atau bahkan sempat menyerukan sanksi sosial. Hampir tidak ada yang mempertanyakan: Ke mana peran negara dan industri dalam memastikan produk ini tidak berakhir mencemari lingkungan? 

Baca Juga: Sampah Pembalut di Indonesia dan Ketidakadilan Gender 

Stigma Perempuan yang Terus Dikekalkan 

Sebelum menyalahkan individu, mari lihat dulu kerangka sistem yang seharusnya mengatur ini semua. Menurut Indonesian Plastic Recyclers, satu perempuan Indonesia diperkirakan membuang 125–150 kilogram sampah pembalut sekali pakai sepanjang hidupnya—setara 4,8 miliar item per tahun di seluruh negeri. Hampir seluruh produk ini terbuat dari materi plastik seperti polyethylene, rayon, serta superabsorben pabrikasi, dan diperkirakan memerlukan waktu 500–800 tahun untuk terurai jika tidak dibakar. 

Namun, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pembalut masih dikategorikan sebagai sampah rumah tangga biasa. Tidak ada sistem pengumpulan terpisah, tidak ada fasilitas dropbox khusus, tidak ada edukasi publik yang memadai. Di kota besar maupun pinggiran, perempuan hanya punya pilihan membungkus pembalut dalam kresek dan menaruh di tong sampah biasa atau, dalam banyak kasus, membakarnya secara sembarangan. 

Pembakaran bukan solusi — laporan UNEP 2019 memperingatkan proses ini menghasilkan zat toksik seperti dioksin dan furan, yang dapat menyebabkan gangguan sistem hormon, pernapasan, bahkan kanker. Dalam konteks lingkungan, bakar sampah menstrual merupakan bencana tersembunyi yang paling sering diabaikan. 

Sementara itu, praktik edukasi publik tentang menstruasi masih sangat terbatas. Dalam survei oleh Plan Indonesia 2020, hampir 41 persen anak perempuan di Indonesia mengaku tidak mengetahui apa itu menstruasi saat pertama kali mengalaminya. Belum lagi soal akses air bersih dan tempat sampah layak di toilet sekolah atau ruang publik—fasilitas ini masih menjadi kemewahan di banyak daerah pinggiran kota dan pedesaan. 

Baca Juga: Politik Pengabaian Menstruasi: Negara Abai, Perempuan Tersisih 

Saat Negara dan Industri Cuci Tangan 

Bandingkan dengan Inggris. Melalui panduan NHS 2013, pembalut dikategorikan sebagai offensive waste—limbah kebersihan yang membutuhkan penanganan khusus. Mereka bahkan mendukung model daur ulang melalui perusahaan seperti Knowaste, yang mengklaim mampu mengalihkan hingga 96 persen limbah AHPs dari TPA, memisahkan plastik dan serat penyusun, mengubahnya menjadi plastik daur ulang atau biomassa energi. 

Di Indonesia, kebijakan serupa hanya muncul dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang memperkenalkan Extended Producer Responsibility (EPR) secara sukarela. Produsen hanya didorong membuat peta jalan pengurangan sampah—tanpa sanksi, tanpa insentif konkret, tanpa mekanisme take-back. 

Produsen besar pembalut seperti PT Softex dan PT Kimberly‑Clark hadir di pasar, memasarkan produk sekali pakai secara masif, tetapi tidak satu pun menyediakan sistem pengembalian, daur ulang, atau informasi komposisi bahan. Negara pun membiarkan produk konsumsi perempuan tetap bebas dari tanggung jawab ekologis. 

Stigma “perempuan jorok” yang disematkan oleh Pandawara Group hanyalah sebagian kecil dari cara patriarki menormalisasi beban ekologis pada perempuan. Ketika perempuan tidak diberikan ruang memilih alternatif ramah lingkungan, tidak diberikan akses fasilitas pembuangan yang layak, dan tidak diberikan edukasi sistemik, stigma semacam itu bukan soal kebersihan pribadi melainkan kekerasan simbolik. 

Menurut laporan United Nation Women 2022, perempuan sering menjadi korban utama krisis lingkungan, padahal suara mereka jarang kedengaran. Menyalahkan perempuan atas limbah produk menstruasi bukan solusi — itu mengalihkan tanggung jawab hakiki dari negara dan industri. 

Baca Juga: Menonton Lagi “Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan” 

Adakah Solusi yang Berkeadilan? 

Solusi tidak bisa datang dari individu semata. Negara harus menyusun kebijakan pengelolaan limbah menstruasi berbasis keadilan gender dan lingkungan. Itu bisa dimulai dengan mewajibkan produsen mengungkap komposisi produk, membangun sistem daur ulang dan pengumpulan kembali, serta menerapkan insentif dan sanksi yang jelas dalam skema Extended Producer Responsibility. 

Pemerintah daerah perlu menyediakan tempat sampah terpisah untuk limbah menstruasi di sekolah dan ruang publik, melengkapi sanitasi dengan fasilitas ramah perempuan, serta mengintegrasikan pendidikan menstruasi ke dalam kurikulum sekolah. 

Kita juga butuh lebih banyak inovasi. Misalnya, produk menstruasi yang bisa digunakan ulang, sistem penjemputan limbah rumah tangga, hingga penelitian dampak kesehatan dari praktik pembakaran. Semua ini tidak akan berjalan tanpa kemauan politik, tekanan masyarakat sipil, dan media yang berpihak pada keadilan sosial dan ekologis. 

Dear Pandawara, edukasi lingkungan bukan hanya soal menyapu, tetapi soal merancang sistem adil. Kampanye bukan soal viral, tetapi soal transformasi struktural yang berpihak. Jika perempuan masih diposisikan sebagai biang sampah tanpa adanya ekosistem pengelolaan limbah yang layak, kita hanya sedang memainkan panggung patriarki dengan kemasan aktivisme. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.