December 5, 2025
Issues Technology

Ekskul Roblox di Sekolah: Inovasi Pendidikan atau Eksperimen Berbahaya? 

Roblox bisa jadi ruang belajar dan panggung kreatif, tapi juga menyimpan ancaman serius bagi anak. Seberapa aman jika dijadikan ekstrakurikuler?

  • September 24, 2025
  • 6 min read
  • 3026 Views
Ekskul Roblox di Sekolah: Inovasi Pendidikan atau Eksperimen Berbahaya? 

Di sudut sofa, “Lala”, 14, bersandar dengan kaki terlipat. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menampilkan Theme Park Tycoon 2, salah satu permainan di Roblox. Jari-jarinya lincah menekan tombol, baru saja menambah wahana roller coaster di taman hiburan virtualnya. Setiap kali pengunjung virtual bertambah, koin yang terkumpul pun makin banyak.  

“Aku suka Roblox soalnya games-nya banyak banget, bisa pilih yang petualangan, main langsung sama teman juga bisa. Bisa ganti-ganti, jadi seru,” katanya. 

Apa yang dirasakan Lala ternyata dialami banyak anak lain. Mengutip Tempo, Roblox bukan sekadar gim online, melainkan platform yang memungkinkan pengguna untuk menciptakan permainannya sendiri. Roblox juga menjelma ruang sosial tempat anak, remaja, hingga orang dewasa berinteraksi.  

Data Kumparan menunjukkan, sekitar 40 persen pengguna Roblox berada di rentang usia 3–12 tahun. Porsi pemain remaja dan dewasa juga besar: 25 persen berusia 17–24 tahun dan 19 persen di atas 25 tahun. 

Fenomena ini menjadikan Roblox lebih dari sekadar hiburan. Ia tumbuh jadi ekosistem digital. Contohnya, konser musik berlangsung dengan avatar pixelated—Grrrl Gang hingga Bajaringan Punk pernah tampil di gigs virtual Moshcorblox. Sementara itu, aksi sosial pun menemukan panggungnya.  Pada (31/7) lalu, puluhan avatar berkumpul di Aksi Kamisan virtual, ditemani lagu dari musisi Hindia sebagai bentuk solidaritas atas pelanggaran HAM. 

Baca Juga: Polaroid AI Bahayakan Perempuan dan Normalisasi Kekerasan Digital 

Seberapa Aman Roblox Jadi Sarana Belajar? 

Fenomena itu rupanya ditangkap Pemerintah Kota Solo. Melalui program Edublox, ekstrakurikuler berbasis Roblox untuk siswa SMP, mereka menjadikan platform ini sebagai sarana belajar. Program tersebut digelar di Solo Technopark dengan dukungan Dinas Pendidikan Kota Solo.  

Wali Kota Solo Respati Ardi menyebut ini jadi cara mengarahkan tren anak muda ke jalur positif.  Roblox, menurutnya, sudah terlanjur digemari sehingga lebih baik dikontrol agar manfaatnya didapat. Dalam wawancara dengan Tempo ia menekankan, platform ini bisa melatih imajinasi dan kreativitas pelajar. 

Namun di balik peluang itu, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Beberapa pihak melaporkan dampak buruk dari Roblox. Salah satunya laporan Hindenburg Research (2024) yang menyebut Roblox dipenuhi konten berbahaya, seperti grooming, pornografi, kekerasan, hingga bahasa kasar yang merajalela. 

Dampak itu bukan sekadar wacana di atas kertas. Mengutip CNBC, April 2024 lalu, Ethan Dallas, 15, mengakhiri hidup setelah diduga menjadi korban predator seksual yang berawal dari Roblox. Pelaku menyamar sebagai anak-anak lalu memanipulasi Ethan untuk menonaktifkan fitur parental control dan melanjutkan komunikasi di discord.  

Roblox sendiri saat ini sudah memperbarui platform mereka dengan tiga langkah utama, yakni klasifikasi konten berdasarkan usia, pembatasan komunikasi, hingga kontrol orang tua yang lebih ketat. Mereka juga bekerja sama dengan aparat hukum dan organisasi perlindungan anak.  

Sayangnya, dalam The World of Roblox and its Deviations, Lynn Alves (Federal University of Bahia) dan Mariona Grane (University of Barcelona) menilai, meski banyak pengguna usia anak, Roblox belum benar-benar berorientasi pada anak. Anak di bawah 13 tahun bahkan tidak dilibatkan sama sekali dalam perubahan kebijakan platform mereka. 

Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Teknologi Deepfake 

Antara Peluang dan Risiko 

Di titik inilah paradoks Roblox muncul. Maksudnya ia bisa jadi ruang belajar, panggung musik, hingga arena aktivisme digital. Namun pada saat yang sama menyimpan ancaman yang membayangi penggunanya, terutama anak-anak. Lalu, seberapa aman Roblox dijadikan kegiatan ekstrakurikuler? 

Rizqina P. Ardiwijaya, M.Psi., psikolog menilai, menjadikan Roblox sebagai ekstrakurikuler memang bisa membawa manfaat, asalkan diarahkan dengan tepat.  

“Kalau fokusnya ke aspek kreativitas, kolaborasi, dan problem solving, Roblox bisa menjadi media belajar yang menyenangkan sekaligus bermanfaat,” ujar Rizqina kepada Magdalene (17/9).  

Namun ia mengingatkan, risikonya tidak kecil. Tanpa batasan dan pengawasan ketat, anak bisa terpapar konten maupun interaksi yang tidak sesuai usia.  

“Sekolah harus betul-betul memastikan mekanisme kontrolnya berjalan. Kalau tidak, lebih aman untuk tidak memaksakan program ini demi keamanan anak,” tambahnya. 

Rizqina mengingatkan, anak SMP punya kebutuhan sosial yang tinggi, impulsif, dan rasa ingin tahu besar, kombinasi yang bisa meningkatkan risiko perundungan atau pelecehan online. Karena itu, sekolah disarankan menggunakan server privat yang hanya bisa diakses murid dan guru.  

Ia menilai, akan lebih baik jika sekolah fokus pada fitur Roblox Studio sehingga anak diarahkan untuk berkreasi membuat gim atau dunia virtual tanpa harus masuk ke ruang chat publik. Strateginya bisa dengan menonaktifkan chat, serta menyiapkan guru pendamping yang terlatih.  

“Intinya, sekolah harus benar-benar siap dulu sebelum menjalankan program ini,” tegasnya. 

Baca Juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan

Bagaimana Orang Tua Harus Ambil Peran 

Perspektif lain datang dari Catur Ratna Wulandari, Editor in Chief Digital Mama. Ia melihat, Roblox sebenarnya bisa punya nilai edukatif jika diarahkan dengan tepat.  

“Sebab kalau mau bikin gim, kan anak harus punya kemampuan misalnya mendesain tokoh, bikin jalan cerita, mengembangkan alurnya. Itu kan bagus sebenarnya,” ujarnya. 

Namun Catur mengingatkan, semua itu tetap harus diberi catatan besar sebab sejak awal, Roblox bukan platform yang dirancang khusus untuk anak. Terlebih, sempat beredar informasi, CEO Roblox David Baszucki berencana menghadirkan fitur dating.  

“Pengembang tidak akan pernah benar-benar memerhatikan anak, kecuali memang fokus di bidang itu,” tambahnya. 

Karena itu, ia menilai sekolah perlu merancang kurikulum program yang jelas: Apa tujuan Edublox, kegiatan apa yang dilakukan, dan bagaimana pengawasannya. Di sisi lain, orang tua tetap memegang peran paling krusial. 

Ada pola sederhana yang bisa diterapkan, misalnya hanya mengizinkan anak bermain dengan teman sekolah yang sudah saling bertukar username lewat orang tua, atau membatasi main bareng (mabar) hanya dengan kerabat dekat saat bertemu langsung. Catur sendiri mencontohkan pengalamannya. 

“Kayak anakku sebetulnya belum 12 tahun, tapi dia udah main Roblox. Saya setting gimnya, jadi dia cuma bisa masuk ke room untuk usianya. Chat dan voice chat saya disable, akunnya enggak bisa ditemukan orang lain.” 

Ia mengakui, pengaturan parental control ini cukup rumit. Orang tua harus membuat akun, menautkan dengan akun anak, lalu mengatur satu per satu fitur. Artinya, dibutuhkan kecakapan digital yang cukup dari orang tua. 

Selain pengaturan teknis, Catur menekankan pentingnya komunikasi terbuka dengan anak soal aturan dan risiko bermain. Hal ini juga dilakukan Nur, ibu dari Lala, yang memilih rutin ngobrol dengan anaknya agar tahu pengalaman apa saja yang ia temui di Roblox. 

“Aku lebih pilih kasih tahu mana yang boleh dan enggak boleh, daripada langsung melarang,” ujar Nur. 

Pada akhirnya, imbuh Catur, pilihan orang tua untuk mendampingi atau melarang anak bermain Roblox sangat bergantung pada kapasitas mereka. Jika punya waktu dan kemampuan mendampingi, pengaturan bisa dilakukan sehingga anak tetap bisa bermain dengan aman. Jika tidak, sebagian memilih melarang sepenuhnya. 

Digital Mama menekankan pentingnya pendekatan realistis. Artinya bukan menolak teknologi, melainkan mencari cara agar anak terlindungi.  

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.