Issues

Kami adalah Gen Z, Insecure dan Overthinking adalah Sahabat Kami

Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era yang serba cepat dan penuh tuntutan, Gen Z memiliki permasalahannya sendiri, utamanya soal kesehatan mental

Avatar
  • January 13, 2022
  • 5 min read
  • 3609 Views
Kami adalah Gen Z, Insecure dan Overthinking adalah Sahabat Kami

“Lidya” baru saja pindah dari kota asalnya di Palu, Sulawesi Tengah, untuk bekerja sebagai marketing strategic planner. Perempuan berusia 23 tahun itu mengaku sering merasa cemas, takut, dan kelelahan. 

“Sampai bangun saja rasanya susah. Aku sering merasa bingung dan takut, dan sering bertanya-tanya, ‘Aku harus gimana ya dengan pekerjaan dan kehidupanku?’. Tubuhku seperti lemas dan digerakkan pun sulit,” ujarnya baru-baru ini. 

 

 

Sama halnya dengan Lidya, “Nata” kerap dilanda kecemasan, terutama akibat ketidakpercayaan diri karena hidup di bawah bayang-bayang ayahnya serta senior-senior di kampus yang memiliki karier yang cemerlang.  

“Saya jadi sering overthinking tentang masa depan. Apalagi pandemi tuh membuat semester ini kayak lewat begitu saja. Praktikum jadi jarang, lebih banyak di rumah dan kuliah daring. Jadi takut ini berpengaruh ke nilai dan kemampuan,” ujarnya. 

Lidya dan Nata nyatanya tidak sendirian. Kondisi mereka kerap dihadapi oleh sesama Gen Z, generasi yang diidentifikasi oleh psikolog Amerika Jean Twenge yang lahir antara tahun 1995-2012.

Baca Juga:   Riset: Gen Z Tunjukkan Toleransi Beragama yang Tinggi

Dalam laporan Asosiasi Psikologis Amerika (APA) pada 2018, misalnya, disebutkan bahwa sembilan dari 10 dewasa muda Gen Z (91 persen) mengatakan mereka telah mengalami setidaknya satu gejala fisik atau emosional karena stres. Seperti Lidya, mereka merasa tertekan atau sedih (58 persen) atau kurang minat, motivasi, atau energi (55 persen).

Bahkan hanya 45 persen Gen Z yang melaporkan bahwa kesehatan mental mereka sangat baik atau sangat baik. Dalam laporan yang sama, APA menemukan bahwa kelompok generasi lain melaporkan kesehatan mental cenderung lebih baik: Milenial (56 persen), Gen X (51 persen), dan Boomer (70 persen).

Tingkat Stres Gen Z dan Media Sosial Memperburuk Situasi

Noreena Hertz, ekonom dan penulis Inggris, mewawancarai 2.000 Gen Z dalam 18 bulan dan menemukan bahwa generasi ini cenderung mengalami rasa cemas, takut, dan lelah yang lebih dibandingkan generasi-generasi sebelum mereka.

Hertz, dalam artikel yang ditulisnya untuk The Guardian (2016), bahkan menjuluki generasi ini sebagai generasi K, diambil dari dari Katniss Everdeen, karakter dalam Hunger Games. Menurutnya, seperti Katniss, mereka merasa dunia yang mereka huni adalah seperti dunia distopia yang gelap, keras, dan tidak setara. 

Hertz menambahkan bahwa Gen Z tumbuh dewasa di tengah era serba cepat dengan perkembangan teknologi yang pesat dan dalam bayang-bayang ekonomi, ketidakamanan, persaingan, dan tuntutan pekerjaan. Hal inilah yang membuat insecurity dan overthinking menjadi sahabat karib mereka.

Baca Juga:  ‘Euphoria’ Serial Televisi Gen Z Paling Realistis?

Hal lain yang memperburuk kondisi mereka adalah media sosial, sesuatu yang menjadi tidak terpisahkan dari generasi ini. “Nara”, sebagai pekerja penginapan yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan, mengaku sering merasa hidupnya tidak bermakna dibandingkan orang-orang yang ia lihat di media sosial. 

Lidya juga mengatakan ia sering merasa tertekan melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya seperti sangat “produktif” dengan berbagai kegiatan. Ia merasa tidak mampu melakukan lebih dari bekerja dan bersenang-senang secara terbatas.

“Aku sering merasa bahwa 24 jam seperti habis begitu saja dengan sia-sia. Sampai berpikir bisa enggak sih hidupnya lebih dramatis, jangan cuma jadi pemeran pembantu,” katanya. 

Psikolog Rininda Mutia yang mengambil praktik di Universitas Katolik Atma Jaya mengatakan bahwa proses social comparison, atau membandingkan diri dengan perilaku, kemampuan, dan sifat orang lain baik secara sadar ataupun tidak, adalah hal yang menonjol pada Gen Z. Hal ini tidak lain karena peran besar media sosial dalam membentuk kehidupan Gen dan mereka tidak dapat sepenuhnya lepas darinya, ujarnya.

“Media sosial membuat kita bersaing dengan orang lain. Padahal modal masing-masing individu itu berbeda,” ujarnya kepada Magdalene (10/1).

Baca juga: Banyak Remaja Hadapi Masalah Mental, Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menyikapinya?

“Karenanya, banyak sekali asupan dari sosial media yang akhirnya membuat Gen Z suka mematok standar di hidupnya. Kita boleh menetapkan standar kehidupan kita sendiri, tapi kita yang menentukan tujuan hidup kita ke mana, bukan standar orang-orang di media sosial.”

Solusi Tingkat Stres dan Kesehatan Mental Gen Z

Mutia pun mengatakan ada tiga hal penting yang harus dilakukan dalam mengatasi kecemasan berlebihan pada Gen Z. 

Pertama, kita harus bisa mengenali kelebihan dan kekurangan diri, sebelum kemudian menerima kelebihan dan kekurangan tersebut. Dengan begitu, kita terlatih untuk tidak melihat kekurangan sebagai hambatan bagi diri kita. Kita pun akan secara akan otomatis juga akan lebih mindful dalam memaknai tantangan hidup dan tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain

Kedua, kita harus mengenali dan memahami kebutuhan masing-masing. Benarkah yang kita butuhkan saat ini adalah melanjutkan kuliah atau menikah? Karena mungkin saja kita lebih memerlukan kedekatan dengan keluarga atau memperluas jejaring .

“Dengan mengenali kebutuhan ini, maka ketika kita melakukan sesuatu we can truly be happy. Kita juga tidak akan sebentar-sebentar self-healing, karena energi kita habis entah ke mana,” tutur Mutia.

Ia menambahkan bahwa usaha internal tersebut harus dibarengi dengan komitmen usaha eksternal, yaitu membatasi konsumsi sosial media. Ia mengatakan kecenderungan Gen Z adalah memakai jam istirahatnya dengan bermedia sosial, padahal itu bukanlah cara untuk beristirahat. Gen Z harus berkomitmen kuat dalam membatasi pemakaian harian media sosial mereka dan mulai menikmati momen dalam hidupnya tanpa dibayang-bayangi unggahan sosial media.

Enjoy every moment you have, karena jika kita terlalu fokus untuk update kita sebenarnya tidak ada dalam momen itu. Live every moment. Capek loh harus hidup di dua dunia, di dunia maya dan di dunia nyata. Perlahan nikmati momen-momen dalam hidup kita tanpa terlalu terpaku dengan media sosial. Karena lagi-lagi kehidupan itu ada untuk kita berikan makna,” ujar Mutia.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *