Gender & Sexuality

Seks Anal dan Otoritas Tubuh

‘Top’ atau ‘bottom’? Tidak dua-duanya!

Avatar
  • February 18, 2020
  • 7 min read
  • 3308 Views
Seks Anal dan Otoritas Tubuh

Peringatan: Konten bersifat grafik secara seksual

Sekitar tahun 2015, ketika saya masih berumur 23 tahun, saya untuk pertama kalinya bergabung dengan “lingkaran gay”. Kami semua berasal dari salah satu forum gay di internet. Sebagai salah satu (dari sangat sedikit) orang yang pertama kali datang ke acara kopi darat, saya beberapa kali menjadi orang yang cukup sering ditanyai. Salah satu pertanyaan yang saya dapat adalah, “Kamu top atau bottom?”.

Pada saat itu, saya belum pernah berhubungan seksual sama sekali, maka saya jawab kalau saya tidak tahu meskipun saya tahu apa itu top dan bottom; sebuah peran dalam seks penetratif/anal. Top untuk mereka yang melakukan penetrasi (memasukkan penis ke anus), bottom untuk mereka yang menerima. Ketika saya menjawab tidak tahu, saya mendapat pertanyaan lanjutan, “Apa yang kamu bayangkan ketika kamu nonton video porno?” yang kalau tidak salah saya jawab, “Seringnya sih sebagai… penonton(?).”

 

 

Saya biasanya melewatkan bagian seks anal di film porno. Ada sih imajinasi mau jadi top atau bottom tapi saya enggak bisa jawab saya sebenarnya yang mana karena saya merasa itu tidak valid. Meski saya bisa menjawab dengan lancar, pada saat itu pertanyaan apakah saya top atau bottom adalah pertanyaan yang sangat berat untuk saya. Di titik itu saya benar-benar tidak tahu peran apa yang saya inginkan ketika nantinya saya berhubungan seksual.

Ketika akhirnya saya menjalani hubungan seksual pertama, bahkan sampai hubungan seksual ke sekian belas, saya masih tidak melakukan hubungan seks penetratif/anal. Saya tidak pernah benar-benar merasa rendah diri soal hubungan seksual, tapi sesekali saya mendengar bahwa seks non-anal tidak bisa dihitung sebagai seks dari orang-orang di sekitar dan di internet. Gay sex berarti penis masuk ke anus, dan itu membuat saya bingung karena saya tidak pernah melakukannya.

Bahkan ketika akhirnya saya mencoba anal seks sebagai bottom dengan pacar pertama saya, dan kemudian mencobanya dengan beberapa orang lain ketika saya kembali melajang, saya masih tidak tahu apakah bottom adalah label yang tepat untuk saya. Ketika melakukannya, saya menikmatinya. Kadang saya menginginkannya bahkan memintanya lebih dulu sebelum ditanya oleh pasangan seks saya. Sekali lagi, kadang-kadang. Seringnya, dalam berhubungan seksual, saya tidak menginginkan aktivitas yang melibatkan anus (fisting, fingering, rimming, anal, dan mungkin ada lagi lainnya).

Baca juga: Queer Love: Benarkah Pria Gay Anti-Komitmen?

Tapi dari pengalaman saya bottoming, saya tahu mengapa saya menyukainya sekaligus tidak. Meskipun sudah melakukannya berkali-kali, saya masih merasa kesakitan ketika melakukan bottoming, setidaknya beberapa puluh detik pertama, dan beberapa menit setelah hubungan seksual berakhir. Tapi saya suka bagaimana menjadi bottom membuat saya merasa berdaya dan punya power bahkan ketika saya pasif.

Menjadi bottom berarti menikmati rasa sakit atau mengubah rasa sakit menjadi kenikmatan untuk diri saya sendiri sekaligus memberi kepuasan bagi pasangan seksual saya. Ini membuat saya merasa “berguna” dan saya menyukainya. Yang membuat saya tidak menyukainya adalah persiapan dan risikonya. Saya pernah berdarah padahal itu bukan hubungan seksual anal pertama saya bahkan dia bukan partner seks anal pertama. Untungnya, saya pribadi tidak merasa panik, cemas, apalagi takut karena tidak ada rasa sakit sama sekali. Di kesempatan lain bersama orang lain, ternyata saya tidak “bersih” dan saya merasa sangat malu karena, lagi-lagi, orang-orang ini bukan pasangan seks anal pertama saya, dan di titik itu saya sudah melakukannya berkali-kali dan sebelumnya saya selalu bersih.

Ada beberapa persiapan yang pernah saya dengar harus dilakukan untuk menjadi bottom, yakni tidak makan beberapa jam sebelum berhubungan seksual, ada pola makan dan jenis makanan yang harus dijaga, dan melakukan anal douching (membersihkan anus). Membaca cara melakukannya berikut mitos-mitos serta kebenarannya membuat saya berpikir “this is too much for me“. Padahal sebenarnya, menurut keterangan dokter yang saya baca, saya (dan para bottom lain) tidak harus melakukan douching. Setidaknya jangan terlalu sering. Saya keberatan melakukan hal-hal tersebut, dan toh anal bukanlah hal yang paling saya sukai dalam hubungan seksual.

Baru ketika saya mengetahui hal-hal tersebut di atas, saya bisa tahu bahwa, meski saya beberapa kali melakukan bottoming, saya bisa dan boleh tidak melabeli diri saya sebagai bottom.

Sekarang, saya punya label yang cocok untuk saya dan saya merasa inilah saya. Label tersebut adalah sides; label bagi orang yang tidak menyukai seks anal.

Kata kerja vs kata benda

Beberapa waktu lalu saya mendengar sebuah episode dari podcast “Food 4 Thot” berjudul “Bottoms Up!“yang membahas posisi seksual. Salah satu host-nya berkata, “If it was a verb, I feel fine with that. But when it becomes a noun that’s when I have trouble applying to myself.” (Jika ini (bottom) adalah kata kerja, saya merasa baik-baik saja. Tapi ketika ini menjadi sebuah kata benda, saya kesulitan menerapkannya pada diri saya).

Saya merasa ini sangat relevan pada diri saya. Saya tidak bisa menjadikan bottom sebagai identitas, tapi saya bisa menganggapnya sebagai “aktivitas” seksual. Pertanyaan apakah saya top atau bottom (atau keduanya atau bukan keduanya), buat saya hanya bisa ditanyakan dan saya jawab ketika saya hendak melakukan hubungan anal (atau tidak) bersama pasangan seks saya. Di luar itu, pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan dan sungguh, saya benar-benar tidak tahu bagaimana saya bisa menjawabnya dengan singkat dan sederhana (dan saya tidak mau memberikan jawaban yang panjang dan detail).

Seks adalah sesuatu yang (sangat) personal. Pengalaman seksual dimaknai berbeda oleh tiap orang. Saya berpikir bahwa top-bottom menjadikan seks terlalu biner; berhubungan seksual itu tentang menjadi top atau bottom atau keduanya tapi tidak bisa bukan keduanya. Bahwa bottom harus berpasangan dengan top dan sebaliknya. Bahwa sesama top atau sesama bottom tidak bisa melakukan hubungan seksual (beberapa orang bahkan berpikir tidak bisa berpacaran).

Tuntutan untuk melakukan hubungan anal membuat seks, bahkan hubungan romantis, menjadi begitu heteronormatif dan terbatas. Sampai sekarang pun, saya kadang masih berpikir demikian. Tapi, masih dari podcast “Food 4 Thot“, saya mendapat sudut pandang baru. Salah satu pembawa acaranya berkata bahwa top-bottom membuat mereka nyaman. Beberapa orang merasa, dengan melabeli diri bottom, maka mereka bisa menjelaskan dan mengerti siapa mereka dan apa yang mereka sukai, bahkan (mungkin) di luar ranjang.

Baca juga: Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif

Top-bottom juga punya stereotip. Misal, kebanyakan bottom itu feminin. Beberapa orang merasa nyaman dengan melabeli diri bottom karena akhirnya mereka menemukan satu kata, satu istilah, yang bisa menampung diri mereka yang feminin dan menjadi penerima dalam seks penetratif. Baru saya sadari bahwa ternyata ada orang-orang yang menggunakan stereotip sebagai pemberdayaan diri. Hal yang rupanya bisa dilakukan, dan itu sebuah sudut pandang yang lebih positif.

Sekarang, saya punya label yang cocok untuk saya dan saya merasa inilah saya. Label tersebut adalah sides; label bagi orang yang tidak menyukai anal seks. Ini saya temukan dalam sebuah artikel di Huffingtonpost. Dari artikel tersebut, saya menemukan bahwa ternyata, dari survei yang dilakukan di Inggris tahun 2011 terhadap ribuan pria gay, 60 persen di antaranya tidak melakukan anal seks.

Pengetahuan tentang seks bukanlah sesuatu yang bisa kita akses dengan mudah. Terutama di Indonesia. Terutama lagi bagi LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer). Namun kita perlu terus menambah dan mengembangkan pengetahuan agar tidak menciptakan batasan-batasan yang justru semakin membuat kita terasing terhadap satu sama lain, termasuk dalam konteks peran atau posisi seksual, kencan, dan hubungan romantis. Kita akan bisa tahu bagaimana cara menyampaikan penolakan agar tidak menyakiti orang lain, dan jika kita belajar dan mencari tahu lebih banyak, kita akan bisa memahami perbedaan sebagai semata-mata sesuatu yang alami dan “masuk akal” tanpa perlu merasa tersakiti ketika ditolak.

Aturan tertinggi dalam berhubungan seksual adalah tubuhmu otoritasmu. Anusmu, penismu adalah otoritasmu. Jika seks anal bukan hal yang bisa kita lakukan dan nikmati, tidak ada yang berhak menilai kita salah, kita aneh, yang kita lakukan tidak bisa dianggap sebagai hubungan seksual.



#waveforequality


Avatar
About Author

Budskiy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *