Reformasi Polisi Bisa Dimulai dari Mendidik Aparat Muda, Begini Caranya
Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring meninggal dilindas kendaraan rantis Brigade Mobil (Brimob) dalam demo Jakarta, (28/8). Dilansir Kompas, Kompol Cosmas dijatuhi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) karena gagal mengawasi anak buah, sementara sopir kendaraan Bripka Rohmat dihukum turun jabatan selama tujuh tahun.
Kematian Affan memicu amarah publik. Terlebih kasus kekerasan aparat kepolisian yang berujung pada kematian, bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Pada 2022 silam, polisi terlibat dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 135 suporter Arema, buntut penggunaan gas air mata secara berlebihan.
Kasus Ferdy Sambo dan kematian Brigadir J melibatkan 18 anggota polisi dalam praktik obstruction of justice. Bahkan kasus lama seperti kematian pelajar Gamma, 17 di Semarang menunjukkan pola serupa di mana aparat bertindak represif dan merekayasa fakta untuk menutupi kesalahan, tulis BBC Indonesia.
Baca Juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam
Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI, menyoroti salah satu akar masalah yang bersifat struktural, yakni pendidikan polisi baru yang singkat dan enggak memadai.
“Polri ini enggak serius ngurusin sumber daya manusianya,” ucap Hinca saat rapat dengar pendapat (26/5) bersama lembaga pendidikan dan pelatihan polri (Lemdiklat Polri). Pernyataan Hinca berangkat dari penerimaan anggota polisi jalur Sekolah Polisi Negara (SPN) Bintara dan Tamtama dengan pendidikan kilat, masing-masing 7 bulan dan 5 bulan.
Berbekal pendidikan singkat ini, aparat kepolisian baru biasanya ditugaskan untuk turun lapangan mengamankan aksi demonstrasi warga, yang mestinya dilakukan dengan hati-hati. Keputusan ini tidak tepat, karena mereka tak punya kapasitas intelektual dan pemahaman hukum yang memadai. Ini sejalan dengan data internal mereka.
Sepanjang 2024, dari 464.248 personel, hanya 8–10 persen yang dapat mengikuti pendidikan peningkatan kapasitas setiap tahun, ujar Pimpinan Lemdiklat Polri Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, dikutip dari MetroTVnews. Enggak cuma itu, jumlah jam diklat per personel masih di bawah 20 jam per tahun, dan evaluasi kebutuhan pun pendidikan belum terintegrasi. Alhasil, kita melihat parade kekerasan kepolisian, tak cuma pada demonstran tapi juga jurnalis yang meliput aksi.
Merespons itu, Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) angkat bicara. Kata dia, durasi pendidikan calon aparat kepolisian yang singkat membuat kualitas mereka sulit dijamin.
“Dengan waktu lima bulan untuk Tamtama, tujuh bulan untuk Bintara, sekolah ini lebih mirip seperti pelatihan daripada pendidikan. Kurikulum dominan pada disiplin jasmani dan pendekatan militeristik, sementara pendidikan humanis minim,” ujarnya pada Magdalene.
Minimnya transparansi dan standar pendidikan membuat polisi baru kerap tidak siap menghadapi situasi kompleks. Dimas Bagus Arya Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bilang, masalah struktural pendidikan polisi baru menjadi bagian dari rantai kekerasan yang berulang.
“Proses perekrutan, pendidikan, dan promosi yang terbatas, tidak transparan, dan penuh intervensi membuat aparat muda meniru praktik senior tanpa pertimbangan etis,” ungkapnya pada Magdalene.
Ini dikonfirmasi dalam penelitian Frans Tjahyono dkk (2024) bertajuk “Strategi Pembinaan Perwira Polri Pasca Pendidikan Pembentukan….dalam Rangka Mewujudkan Polri yang Profesional”. Di sana tertulis, pola pembinaan perwira pertama di Akademi Kepolisian (Akpol) masih tradisional, kurang terstruktur, dan rentan intervensi internal maupun eksternal.
Hal ini memperkuat budaya represif karena aparat muda sering mengikuti rutinitas militeristik tanpa memahami hak warga. Enggak heran jika Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) selama demonstrasi Agustus lalu mencatat 3.337 orang ditangkap; 1.042 luka-luka, 10 meninggal, dan 300 masih ditahan, sementara tiga orang hilang menurut KontraS.
Seorang mahasiswa yang menjadi korban langsung menjelaskan pengalaman mereka:
“Kami tidak tahu kenapa aparat menembakkan gas air mata sedemikian agresif. Polisi yang menangani demo enggak tahu hak kami sebagai warga,” keluhnya.
Baca Juga: Sejarah Mencatat TNI Sama Represifnya dengan Polisi: Anak Muda Wajib Mengkritisi
Masalah (Jangan) Dipelihara
Fokus pada pendidikan polisi baru menunjukkan masalah struktural menjadi titik krusial dari kekerasan aparat. Pendidikan singkat, materi yang minim hukum dan hak warga, serta evaluasi tak transparan, berisiko bikin polisi baru rentan melakukan tindakan represif tanpa pertimbangan etis.
Memang sempat ada wacana agar rekrutmen kepolisian dinaikkan minimal lulusan Sarjana. Sebagai informasi, saat ini uji materi Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang rekrutmen polisi minimal sarjana sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang dilayangkan Leon Maulana dan Zidane Azharian ini dibuat dengan dalih, lulusan SMA belum punya pemahaman hukum yang minim, sehingga bisa saja tak profesional.
Tanpa kurikulum yang jelas dan transparan, aparat muda meniru pola senior mereka yang sudah terbentuk dalam budaya represif. Dimas Bagus menegaskan, tanpa reformasi pendidikan yang sistematis dan terstruktur, polisi muda akan terus menjadi bagian dari rantai kekerasan.
Baca Juga: Bagaimana Gen Z Motori Perubahan di Nepal: Pelajaran Penting buat Indonesia
Dalam konteks ini, kepolisian Indonesia sebenarnya bisa meniru praktik baik pendidikan di berbagai negara. Di Kanada, calon polisi menjalani pendidikan minimal 2,5–3 tahun yang mengintegrasikan hukum, psikologi sosial, komunikasi krisis, etika, dan hak asasi manusia. Di Belanda, durasi pendidikan mencapai dua tahun dengan fokus pada resolusi konflik, komunikasi krisis, dan pengelolaan emosi.
Reformasi pendidikan polisi juga harus memastikan lulusannya enggak cuma digembleng fisik tapi juga intelektual dan etika. Dengan pendidikan yang tepat dan transparan, aparat bisa memenuhi mandat aslinya sebagai pelindung dan pengayom, alih-alih pelaku kekerasan apalagi pembunuh.
















