Selamat Ulang Tahun Polri, Jangan Lupakan Nama-nama Ini

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) baru saja merayakan hari jadinya yang ke-79 tahun, (1/7) kemarin. HUT Bhayangkara yang dihelat di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat itu mengusung tema ‘Polri untuk Masyarakat’.
Tema ini diklaim mencerminkan semangat pengabdian dan transformasi institusi kepolisian. Sejumlah kegiatan diadakan, mulai dari pembukaan pekan olahraga Polri, lomba ketahanan pangan, hingga demo robot humanoid terbaru.
Namun di balik gegap gempita perayaan tersebut, catatan kekerasan oleh aparat kepolisian terus membayangi. Sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sedikitnya 602 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi. Dari jumlah itu, penembakan menjadi bentuk kekerasan paling dominan, dengan 411 peristiwa.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS Andrie Yunus bilang kepada Tempo, jumlah kasus kekerasan oleh aparat tidak pernah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Catatan ini sekaligus jadi pengingat di balik jargon ‘Polri untuk Masyarakat’, masih ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum selesai, di mana keluarga korban terus menanti keadilan.
Ini adalah beberapa nama korban yang terekam dalam jejak kelam kekerasan oleh aparat:
Baca Juga: #BasaBasiReformasiPolri: ‘No Viral, No Justice’ adalah Wajah Asli Penegakan Hukum Kita
1. Imawan Randi dan Yusuf Kardawi
Randi dan Yusuf merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Utara. Pada Kamis, 26 September 2019, mereka menjadi bagian dari massa aksi penolakan berbagai rancangan undang-undang (RUU) bermasalah. Kala itu, ribuan orang berdemonstrasi di Gedung DPRD Sulawesi Utara, yang kemudian berujung bentrok dengan kepolisian.
Brutalitas aparat dalam bentrokan itu menimbulkan korban, yaitu Randi dan Yusuf. Randi terkena tembakan di sekitar ketiak kiri yang tembus ke dada kanannya, dan Yusuf mengalami luka serius di kepala. Yusuf sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Bahteramas, tetapi nyawanya tidak terselamatkan karena kehabisan darah.
Kasus Randi telah diputus di pengadilan. Melansir Detik, pelaku, yakni Brigadir Abdul Malik divonis empat tahun penjara dan terbukti bersalah melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP. Sementara kasus Yusuf belum menemukan titik terang. Hingga kini, pelaku kekerasan terhadap Yusuf belum diketahui.
2. Maulana Suryadi
Demonstrasi penolakan sejumlah RUU bermasalah pada 2019 di Gedung DPR memakan korban jiwa. Ia adalah Maulana Suryadi. Mengutip Tempo, Kepala Kepolisian RI kala itu, Jenderal Tito Karnavian, menyebut Maulana adalah salah satu perusuh yang bukan bagian dari pelajar atau pun mahasiswa. Ia disebut meninggal karena sesak napas akibat gas air mata.
Namun, Maspupah, ibu korban, membantah klaim itu. Ia mengatakan Maulana bukan perusuh. Saat itu Maulana dan temannya Aldo tengah menonton demonstrasi dari atas jembatan Slipi. Saat sedang menonton, tiba-tiba di belakang mereka telah ada banyak polisi. Tidak dapat berbuat apa-apa, mereka pasrah ditangkap.
Maspupah juga menolak klaim polisi bahwa tidak ada kekerasan terhadap anaknya. Pasalnya, wajah Maulana bengkak dan darah tak henti-hentinya mengalir dari hidung dan telinga sampai Maulana hendak dimakamkan. Selain itu, juga ditemukan lebam di leher dan punggung.
Maspupah menyampaikan, putrinya diminta membuat surat pernyataan yang menyebut Maulana Suryadi meninggal karena asma, dan surat tersebut kemudian ditandatangani. Namun, sang putri mengaku tidak ingat isi surat itu secara jelas karena saat kejadian ia berada dalam kondisi panik dan terkejut.
Baca Juga: #BasaBasiReformasiPolri: Ke Mana Melapor Kalau Polisi yang Membunuh?
3. Akbar Alamsyah
Kematian janggal di aksi demonstrasi penolakan RUU bermasalah juga menimpa Akbar Alamsyah. Akbar menjadi korban tewas kedua akibat gelombang demonstrasi di DPR. Mengutip Tempo, Akbar sempat hilang setelah izin ke kakaknya, Fitri Rahmayani, untuk pergi menonton demonstrasi bersama dua rekannya pada Rabu, 25 September 2019.
Tak kunjung pulang, keluarga mencari keberadaan Akbar di Polres Jakarta Barat. Di sana tertera nama Akbar sebagai salah satu orang yang ditangkap polisi terkait demonstrasi. Namun, keluarga tidak diperbolehkan menjenguk.
Pada hari yang sama, keluarga mendapat pesan berantai kalau Akbar tengah dalam kondisi kritis di Rumah Sakit (RS) Pelni. Akan tetapi, pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Akbar sudah dirujuk ke RS Polri.
Menurut pengakuan keluarga, kondisi Akbar saat di ICU RS Polri tidak dapat dikenali. Kepala, mata kiri, dan bibirnya bengkak. Setelah dirawat 11 hari, Akbar dinyatakan meninggal dunia.
Polisi sempat menyatakan Akbar mengalami luka karena terjatuh dari pagar Restoran Pulau Dua, di Jalan Gatot Subroto samping Gedung DPR. Namun, Polisi kemudian meralat pernyataan itu dan menyatakan Akbar ditemukan aparat berada di trotoar di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Pihak polisi juga menyebut Akbar sebagai tersangka provokator.
Cerita polisi itu diragukan keluarga. Sebab, berdasarkan keterangan rekan-rekan Akbar, mereka tak sempat mencapai Gedung DPR karena kondisi sudah ricuh malam itu, sehingga tidak mungkin Akbar terjatuh di pagar dekat Gedung DPR. Keluarga juga membantah Akbar sebagai provokator, karena ia hanya menonton demonstrasi.
4. Para Korban Tragedi Kanjuruhan
Pada 1 Oktober 2022, sebuah insiden fatal terjadi pasca-pertandingan sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Saat itu, menyusul kekalahan tim sepakbola dukungannya, suporter Arema FC berupaya menerobos ke lapangan.
Polisi lantas merespons tindakan itu dengan menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Tembakan itu menimbulkan kepanikan, sehingga penonton berdesak-desakan keluar dari stadion. Akibat insiden itu, 135 orang tewas, 41 di antaranya perempuan dan satu korban balita berusia empat tahun.
Mengutip Tempo, tersangka dalam kasus tersebut antara lain Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Akhmad Hadian Lukita. Bambang sempat divonis bebas di pengadilan tingkat pertama. Namun, setelah jaksa mengajukan kasasi, ia divonis penjara dua tahun enam bulan. Sementara Akhmad Hadian Lukita dibebaskan setelah masa tahanannya habis.
Baca Juga: #BasaBasiReformasiPolri: 4 Alasan Kenapa Kita Harus Tolak Revisi RUU Polri
5. Gamma Rizkynata Oktafandy
Gamma, 17, siswa SMKN 4 Semarang ditemukan tewas tertembak di area perumahan di Semarang. Pelaku penembakan adalah Robig Zaenudin, anggota kepolisian Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang.
Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, menyatakan Robig melepaskan tembakan ke arah Gamma dan dua orang lainnya karena merasa diserang saat mencoba membubarkan bentrokan antar-geng. Mengutip laporan Tirto, pihak kepolisian bahkan menuduh Gamma sebagai biang kerok pemilik sebilah celurit sepanjang kurang lebih satu meter. Senjata tajam itu, menurut klaim polisi, digunakan oleh Gamma dan kelompoknya untuk tawuran.
Namun, rekaman CCTV menguak fakta lain. Di CCTV tidak terlihat adanya aksi tawuran. Rekaman hanya menunjukkan aksi Robig melesatkan tembakan dari jarak dekat ke pengendara motor yang melintas.
Komnas HAM menyimpulkan penembakan terhadap Gamma merupakan bentuk pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing). Berdasarkan hasil penyelidikan, Robig diketahui tidak sedang menjalankan tugas resmi maupun berada dalam situasi yang mengancam keselamatannya, sehingga tindakan tersebut dinilai memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia.
Saat ini, kasus Gamma tengah bergulir di Pengadilan Negeri Semarang.
6. Afif Maulana
Afif Maulana, siswa SMP berusia 13 tahun di Padang, ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji pada 9 Juni 2024. Sebelumnya, ia diamankan polisi bersama sejumlah remaja yang dituduh hendak tawuran.
Menukil BBC Indonesia , LBH Padang dan pihak keluarga menduga Afif mengalami kekerasan sebelum meninggal, karena ditemukan luka lebam di tubuhnya. Saksi juga menyebut Afif sempat dikejar dan dikelilingi oleh polisi sebelum hilang.
Polisi sempat menyatakan Afif melompat dari jembatan dan membantah adanya kekerasan. Namun, pihak LBH Padang dan keluarga membantah klaim tersebut berdasarkan temuan luka fisik dan kesaksian teman-temannya. LBH Padang menilai ada pelanggaran prosedur dalam penanganan remaja yang diamankan, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual.
Seiring dengan sorotan publik, mengutip Tempo, Polda Sumatera Barat mengakui terdapat pelanggaran prosedur oleh aparat. Sebanyak 17 anggota polisi dari Satuan Sabhara diperiksa karena diduga melakukan tindakan yang tidak sesuai etik, dengan melakukan pemukulan saat pemeriksaan.
Namun, polisi menyatakan bahwa pelanggaran tersebut tidak berkaitan langsung dengan kematian Afif, karena menurut versi mereka, Afif tidak termasuk dalam 18 remaja yang diamankan. Klaim ini kembali dibantah oleh LBH Padang, yang menilai ada kejanggalan dalam proses penyelidikan.
Pada 31 Desember 2024, Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono mengumumkan penghentian penyidikan kasus Afif . Alasannya, polisi menyatakan hasil otopsi ulang menunjukkan tidak ada tanda penganiayaan, dan kematian Afif disebabkan oleh benturan benda keras akibat jatuh dari ketinggian.
