Serba-serbi ‘Scene BDSM 101’: Perlu ‘Consent’ dan Belajar Dulu
Gambaran keliru dalam film dan media kerap membuat BDSM salah diartikan sebagai penyimpangan seksual atau kekerasan seksual.
Siapa yang sudah menonton film Secretary, 50 Shades of Grey, Love and Leashes? Meskipun film bertemakan Bondage and Discipline, Dominance and Submission, Sadism and Masochism alias BDSM semakin marak bermunculan, tapi bukan berarti citra “nakal” dan “berbahaya” sudah betul-betul lekang dari praktik ini.
Tak bisa dimungkiri, selama ini praktik BDSM masih dinarasikan sebagai preferensi seksual menyimpang dan kental akan praktik kekerasan nan berbahaya. Sekelompok orang di Indonesia bahkan coba mengkriminalisasi praktik ini lewat Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Di pasal 85 dan 86 ada poin pelarangan praktik BDSM dilakukan di Indonesia.
Gambaran keliru dalam film dan media kerap membuat BDSM salah diartikan sebagai penyimpangan seksual atau kekerasan seksual. Nyatanya, tidak begitu. Perbedaannya amat jelas.
Lewat penelitian independen Maret-Mei kemarin, kami bertemu dengan delapan responden pegiat BDSM yang berkenan berbagi pengalaman, sekaligus menampik stereotip negatif atas praktik ini.
Delapan orang informan dengan latar belakang gender, orientasi seksual, domisili, dan role play berbagi pada kami. Menanggapi stereotip negatif, mayoritas mereka cenderung tidak menutupi, tetapi tidak juga terlalu terbuka pada setiap orang. Kalau memang ada yang menanyakan, mereka cenderung terbuka mengakuinya. Untuk dapat dukungan sesama pegiat BDSM, mereka biasanya bergabung pada komunitas secara daring. Aplikasi yang sering digunakan untuk berjejaring adalah Twitter, Telegram, atau WhatsApp, tetapi mayoritas menggunakan akun atau username alternatif (alter) demi keamanan.
Salah satunya, T, perempuan heteroseksual di Jakarta. Meski telah menikah dan punya suami pegiat BDSM pula, ia bercerita masih belum siap terbuka dengan orang lain tentang hal ini.
Skena BDSM di Indonesia sendiri belum sepenuhnya aman buat mereka. Para informan ini mengaku cenderung “picky” karena tak bisa pungkir dari orang-orang yang mengaku pegiat BDSM, tapi sebetulnya punya motif lain. Menariknya, para perempuan penggiat BDSM punya pengalaman atau kemungkinan didiskriminasi lebih besar dari laki-laki. Sebab mereka sering dikira perempuan nakal, agresif, atau liar dengan konotasi negatif.
Padahal menurut DSM V, praktik BDSM bukanlah praktik menyimpang jika tidak menyebabkan kerugian orang lain, serta tidak hanya meliputi berbagai aktivitas seksual tetapi juga non-seksual yang dilakukan secara konsensual dan komunikasi terbuka.
Dalam BDSM, terdapat tiga kategori peran yang melekat pada pegiatnya, di antaranya Dominant (Dom), Submissive (sub), atau Switch. Umumnya, ketika para pegiatnya memiliki partner, maka peran mereka dalam BDSM ini bersifat komplementer.
Martinez, seorang psikolog di Metropolitan State University of Denver, mendefinisikan peran Dom sebagai pemegang kontrol atas sub, sedangkan sub berperan dalam menyerahkan segala kontrolnya kepada Dom, serta Switch berperan dalam mengakomodir kebutuhan Dom maupun sub, tergantung bagaimana Switch menegosiasikan peran dengan pasangannya. Penyematan label peran tersebut yang kemudian menjadi penggiring dalam menentukan pasangan saat melakukan scene.
Baca juga: Piranti Seks Kini Bisa Didapatkan di Klinik Kesehatan
Serba-serbi Scene dalam BDSM
Secara sederhana, scene merupakan tempat atau setting aktivitas BDSM terjadi. Kegiatannya, sering disebut playtime. Ringkasnya, praktik ini adalah permainan peran (role-play) yang sengaja dilakukan para pegiatnya untuk menciptakan rasa sakit dan/atau menstimulus psikologis pasangan dalam durasi tertentu sehingga dapat mencapai kepuasan seksual.
Menurut penelitian Dunkey dkk, timbulnya kesenangan seksual dalam scene secara mayoritas didasari oleh berbagai hal, di antaranya latar belakang keluarga, memori masa lalu, serta persepsi kontrol dari orang lain yang kemudian pengaruhi emosi seseorang untuk larut dalam praktik BDSM. Inilah yang menjadi pendorong mengapa dalam hubungan interpersonal intim, beberapa orang justru merasa ‘terpuaskan’ ketika ditampar, digigit, dicekik, sebagai bentuk ketidakberdayaan atas kontrol seseorang pada tubuhnya, tetapi hal tersebut justru dinikmati.
Dalam scene, para pegiat BDSM biasanya akan mengeksplorasi imaji liar mereka, lengkap dengan jalan cerita alaserial drama, seperti halnya memerankan guru-murid, dokter-pasien, majikan-pelayan, dan sebagainya. Akan tetapi, bagaimana scene akan dilakukan tergantung dari hasil kompromi awal antar pasangan sebelum melakukannya. Kompromi awal tersebut juga menyangkut posisi dalam berhubungan, penggunaan alat bantu/permainan seks, hingga batasan untuk menghentikan scene dengan menggunakan safe words.
Ketika salah satu pasangan pegiat BDSM mengucapkan safe words, maka menjadi tanda bahwa pasangan merasa rasa sakit yang berlebihan sehingga meminta kegiatan scene diberhentikan sementara. Menariknya, safe words yang keluar tiap scene dapat berbeda-beda dan berkaitan dengan kata yang paling familier hingga nyeleneh bagi pasangan BDSM tersebut. Mulai dari nama hewan, buah, artis, wewangian, dan lainnya.
Ketika scene selesai, pegiat BDSM umumnya akan melakukan aftercare sebagai bentuk perawatan fisik maupun emosional, seperti mengobrol santai, memeluk, hingga mengajak makan. Aftercare tersebut diberikan untuk membuat pasangan menjadi nyaman atas fantasi seksual yang telah dilakukan selama scene.
Baca juga: ‘Love and Leashes’: Saat ‘Office Romance’ Bertemu BDSM
Apakah Scene BDSM Bisa Dilakukan oleh Semua Orang?
Tak bisa dimungkiri, praktik BDSM ini penuh dengan risiko sehingga para pegiatnya membutuhkan pengetahuan seksual yang baik perihal teknik menggunakan bantuan permainan seks (sex toys) tanpa membahayakan pasangannya, seperti halnya memakai nippling, nipple sunction, chastity, jarum, ball gag, buttplug.
Tak jarang, keberadaan mainan tersebut juga ditambah dengan komponen lain, mulai dari lilin, es batu, tali, cambuk. Maka dari itu, tidak bisa secara instan dilakukan oleh siapa saja. Mayoritas pegiat BDSM bahkan harus mempelajari dan mendiskusikan teknik scene yang aman terlebih dulu. Biasanya mereka melakukannya melalui komunitas BDSM secara tatap muka, maupun daring melalui media sosial.
Bukan hanya pengetahuan, para pegiat BDSM ini juga harus memiliki kocek yang lumayan dalam karena rata-rata uang yang dihabiskan untuk membeli sex toys di toko langganan atau situs online berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah dalam sekali transaksi. Wajar bila kemudian, Miller, seorang Dosen Gender di University of Texas, mengkategorikan pegiat BDSM sebagai kelompok yang memiliki modal sosial tinggi dan turut berpartisipasi pada sistem kapitalis global karena partisipasi mereka dalam pasar mainan seks.
Selain faktor di atas, melakukan scene juga membutuhkan berbagai pertimbangan karena dipengaruhi oleh sociogenic significance, di mana keberadaan skenario budaya yang merujuk pada objek seksual, setting tempat, dan waktu turut membentuk hubungan interpersonal antar-individu, termasuk dalam mempraktikkan scene BDSM.
Baca juga: Misi Masyarakatkan Hubungan Seks yang Menyenangkan
Inilah alasan para pegiat BDSM—yang ingin melakukan scene—sangat memperhatikan bentuk ruangan dan properti properti di dalamnya. Tak lupa pakaian yang digunakan, pencahayaan, hingga wewangian yang diyakini dapat meningkatkan sensasi seksual.
Selain diskriminasi yang bikin harus lebih hati-hati, para pegiat BDSM yang kami wawancarai berbagi tentang kehati-hatian mereka membentuk atau mencari jaringan. Kebanyakan dari yang kami temui tidak secara spesifik tergabung dalam organisasi. Beberapa bergabung dengan komunitas dalam group chat yang anggotanya bisa keluar-masuk bebas.
Tantangan selanjutnya adalah mencari pasangan. Banyak dari mereka yang kesulitan mendapat pasangan yang juga tertarik pada BDSM. Alhasil, sebagian orang memilih ‘selingkuh’ atau memakai jasa komersil karena referensi seksualnya tidak terpenuhi. Hal ini tentunya terjadi karena label bruk yang masih ditempeli pada praktik BDSM, serta informasi tentangnya yang masih dibahas di lorong-lorong tabu.
Obrolan kami dengan para pegiat BDSM menjadi gambaran bahwa praktik BDSM berjalan dinamis dan tidak semenyeramkan yang kita kira, atau media potret. Keberadaan scene BDSM ini pun tidak hanya dimaknai sebagai ‘pemuas hasrat seksual’, tetapi juga bentuk pelarian dari kehidupan keseharian. Sebab, dalam scene BDSM ini justru membuat para pegiatnya bebas menggali imaji seksual terliar, tanpa terkukung akan praktik seksual masyarakat mayoritas.
Ilustrasi oleh Karina Tungari