Gender & Sexuality Issues

Jauh Sebelum Piranti Asmara Jadi Arus Utama

Tak cuma membantu perempuan mencapai orgasme mandiri, piranti asmara (sex toys) juga kerap dipakai untuk urusan ranjang dengan pasangan. Saya ngobrol dengan Laci Asmara, dedengkot toko sex toys tentang ini.

Avatar
  • October 31, 2023
  • 9 min read
  • 1659 Views
Jauh Sebelum Piranti Asmara Jadi Arus Utama

Kamu pernah enggak terlalu malas menggerakkan badan di kasur, tapi tetap ingin merasakan kesenangan? Brian Sloan, bekas pengacara asal Amerika Serikat, menangkap kebutuhan kaum rebahan ini dengan menciptakan piranti asmara (sex toys) yang bisa dikontrol dengan pikiran.

Berita baiknya, alat yang dilengkapi dengan teknologi artifisial buatan (AI) dan headset electroencephalogram (EEG) itu bisa membantumu mencapai orgasme dengan mudah. Kamu tinggal membayangkan menggerakkan tubuh, seperti tangan, pinggul, kaki, dan lainnya. Lalu mengaktifkan fungsi tertentu, dari memulai, memperlambat, mempercepat, atau menyelesaikan gerakan.

 

 

Adik kandung Autoblow, piranti seks yang juga buatan Sloan itu memang takkan masuk pasar dalam waktu dekat. Namun, bukan berarti pengalaman menggerakkan pikiran untuk mencapai nirwana itu tak bisa diwujudkan. Dalam wawancaranya dengan Vice, ia bilang teknologi itu semakin niscaya setelah memadukannya dengan implan otak Neuralink punya Elon Musk.

Jika dipikir-pikir, kemajuan piranti seks ini memang jadi catatan penting yang membawa banyak kemudahan. Namun, siapa sangka, jauh sebelum era digital sekarang, manusia sudah berikhtiar untuk menciptakan alat bantu seks yang membuat kehidupan ranjang mereka jadi lebih menyenangkan.

Dikutip dari “The Surprising Ancient History of Sex Toys” di History, piranti seks berbentuk lingga berukuran 7,8 inci dari batu lanau, pernah ditemukan di Gua Hohle Fels Jerman pada 2005. Para arkeolog memprediksi usianya sekitar 28.000 tahun. Di situs Neolitik Membury Rings, Dorset, Inggris, piranti seks berusia 500 SM diukir dari batu, kulit, kayu, bahkan kadang kotoran unta. Di Yunani kuno, pasar-pasar tradisional biasanya menjual olisbos, alat bantu seks untuk perempuan ketika suami pergi. Di Perancis abad ke-18, piranti seks vibrator bernama tremoussir dibuat dengan pemutar angin yang sering mati ketika pengguna belum mencapai klimaks. Di London pada masa Victoria, perempuan yang menderita histeria karena susah tidur atau begah perut, diberikan vibrator oleh para dokter untuk masturbasi.

Di luar penemuan oleh para tenaga medis atau ahli teknologi di masa masing-masing, banyak orang yang masih menggunakan piranti seks dari bahan sekitar yang mudah ditemukan. Wortel, temun, terong, roti, bahkan sekadar menggesekkan alat genital mereka pada kasur atau permukaan benda kayu seperti meja atau pintu.

Hal inilah yang kemudian memicu tanda tanya, jika memang piranti seks bisa berupa apa saja, lalu apa sebenarnya piranti seks itu? Bagaimana perkembangan diskursus tentang piranti seks dari masa ke masa?

Baca juga: Piranti Seks Kini Bisa Didapatkan di Klinik Kesehatan

Apa itu Piranti Seks atau Piranti Asmara atau Sex Toys

Hari itu, sekitar Maret 2022, aku dan teman-teman editor di Magdalene sedang mendiskusikan frasa yang pas untuk menyebut sex toys. Biasanya media lain yang kami tahu kerap pakai istilah alat bantu seks, mainan seks, atau sex toys. Masih belum banyak yang memakai istilah piranti seks atau piranti asmara. Kami sendiri memilih frasa terakhir, setelah melihat Laci Asmara rutin menggunakannya. “Seru juga ya mempopulerkan ini,” kata kami.

Diskusi berikutnya bergulir tentang bagaimana kita mendefinisikan piranti seks. Dalam bukunya “Buzz: A Stimulasi History Of The Sex Toy” (2017), sejarawan Hallie Lieberman menyebutkan, piranti seks memiliki banyak arti bagi masyarakat. Ada yang memaknainya sebagai perangkat yang dapat memajukan nilai-nilai konservatif monogami dan pernikahan heteroseksual; piranti untuk memajukan seks gay dan hak-hak gay yang radikal; atau perangkat untuk mengubah kehidupan para penyandang disabilitas.

Dari definisi tersebut, tampak ada semangat pembaruan yang dibawa piranti seks. Alih-alih membatasi definisinya sebatas semua yang berbentuk seperti alat genital tiruan, dan selalu bernuansa pornografi seperti yang dijelaskan di Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi atau Pasal 238 dan 282 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mestinya piranti seks lebih ditekankan pada fungsinya.

Susanti Rendra, pemilik Laci Asmara, toko piranti seks besar di Indonesia sepakat dengan ini. “Di Indonesia, piranti asmara sering dilabeli sebagai bagian pornografi. Gue beberapa kali mesti berurusan sama pihak pemerintah karena salah kaprah ini. Padahal kalau dilihat, piranti asmara zaman sekarang mana ada yang vulgar. Malah bentuknya lucu-lucu, warna-warni. Kita harus mulai lihat dari fungsinya, sih. Karena kalau enggak gitu, gimana kita ngelihat orang-orang yang mengusahakan orgasmenya pakai cucumber atau digesek ke meja. Apakah itu alat bantu seks juga namanya?” kata dia pada Magdalene beberapa waktu lalu.

Sumber: Laci Asmara

Fungsi piranti seks sendiri sudah diakui oleh beragam riset bisa membantu pengguna mencapai kenikmatan dan mencintai tubuhnya sendiri. Riset Alicia Mayr bertajuk “Toy stories: The role of vibrators in domestic intimacies” (2022) mengonfirmasi, fungsi piranti seks bisa meningkatkan kepuasan hubungan dari 32 perempuan yang diwawancarai secara mendalam. David Frederic, Ph.D dalam laman Psychology Today mengamini riset itu dengan menyebutkan, pasangan merasa lebih puas berhubungan intim usai pakai piranti seks sama-sama.

Tak cuma jadi gula-gula pelengkap, di banyak situasi, piranti seks bahkan bisa memenuhi fungsi utama dalam rekreasi seksual dari para pengguna, baik lelaki atau perempuan. Bahwa lelaki dan perempuan bisa mencapai orgasme tanpa perlu repot-repot berhubungan seks dengan orang lain di luar dirinya. Bahwa piranti seks bisa meredakan kecemasan dan ketakutan karena hormon oksitosin yang dilepaskannya. Tulisan yang sama di Psychology Today mengonfirmasinya.

Tak heran jika piranti seks semakin hari semakin mendapatkan peminat. Di masa pandemi Covid-19 2020, The New York Times mencatat kenaikan penjualan yang drastis pada perusahaan piranti seks macam Adam and Eve dan Wow Tech Group, yang mencapai 2-3 kali lipat. Kenaikan penjualan ini terutama didorong oleh kebutuhan untuk mencapai kesenangan dan mengatasi stres akibat pandemi di rumah masing-masing.

Baca juga: Memasyarakatkan Hubungan Seks Menyenangkan

Dari Tabu hingga Agenda Feminisme

Masalahnya, meski penjualan relatif meningkat di beberapa tempat, tetap saja ada salah kaprah tentang piranti seks. Tak cuma terkait pemaknaan, beberapa orang masih menganggap piranti seks sebagai sesuatu yang kotor, tabu, dan tak pantas dibicarakan manusia terhormat.

Menurut Lieberman, penyebabnya adalah peran gender yang jelas terlihat di industri piranti seks, di mana norma heteroseksual dalam urusan ranjang masih dijunjung tinggi. Para lelaki dianggap paling berperan dalam aktivitas seksual ketika melakukan penetrasi ke perempuan. Sebaliknya, dilansir dari ABC, 2 dari 3 perempuan baru bisa merasakan orgasme setelah menggesekkan dan merangsang klitoris. Cuma sepertiga perempuan yang bisa orgasme lewat jalur penetrasi genitalia.

Keberadaan piranti seks ini akhirnya dikondisikan agar tidak merusak norma itu. Gagasan tentang perempuan yang mandiri secara seksual karena melakukan masturbasi atau tak membutuhkan lelaki, adalah ancaman mengerikan untuk kelompok patriarkis ini. Karena itulah, jika dilihat, produk-produk awal piranti seks di Paman Sam, tetap melibatkan lelaki sebagai pengendali, seperti strap on. Iklan produknya pun enggak jauh-jauh dari kalimat “alat bantu perkawinan”, “membantu meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan”, dan sejenisnya. Amat jarang iklan yang menempatkan pengguna, khususnya perempuan sebagai individu tunggal yang bisa mencapai klimaks tanpa kendali lelaki.

Tentang bagaimana pandangan feminisme merevolusi piranti seks dan seksualitas perempuan, dijelaskan dengan baik di “Vibrator Nation: How Feminist Sex-Toy Stories Changed the Business of Pleasure”oleh Lynn Comella, profesor studi gender dan seksualitas di Universitas Nevada AS.

Dalam buku itu, ia mewawancarai para pendiri dan pekerja di beberapa pengecer mainan seks feminis tertua di negara itu, termasuk Dell Williams dari Eve’s Garden di New York (dibuka pada 1974), Joani Blank dari Good Vibrations di San Francisco (1977), dan Claire Cavanah dan Rachel Venning dari Seattle’s Babeland (1993).

Hasil wawancara menjelaskan, para perempuan dan orang lain yang membuka bisnis piranti seks sebagai bagian strategi mendidik perempuan tentang tubuh mereka sendiri.

Pernyataan Comella diamini Lieberman. Di era yang sama, 1970-an, ia menyoroti ledakan toko mainan seks di era tersebut, yang diwakili jenama macam The Pleasure Chest, Eve’s Garden di NYC, dan Good Vibrations di San Francisco. Para feminis berjuang untuk merebut makna piranti seks dengan pesan-pesan lebih memberdayakan, seperti memberikan otonomi, seks positif, dan kesenangan mandiri kepada generasi masa depan.

Toko-toko piranti seks itu juga mengubah total perjuangan perempuan, dari yang mulanya harus berjalan jauh ke daerah kumuh di AS, diam-diam memutar film porno, dan menjadi satu-satunya perempuan di sana.

Jika ogah ke toko, urusan pengiriman barang pun sama rumitnya. Di era itu, mengirim piranti seks lewat pos bisa jadi ilegal karena dianggap tidak senonoh. Berkat toko-toko itu, perempuan jadi merasa lebih aman dan nyaman untuk masturbasi sendiri.

Sayangnya, lima puluh tahun kemudian, di Indonesia masalahnya masih berputar-putar di situ saja: Piranti seks selalu dianggap bagian pornografi, tak sesuai dengan norma heteronormatif dan tuntutan menjadi perempuan baik-baik.

Jika bicara konteks di Indonesia, piranti seks memang tak bisa dijadikan sebagai topik di meja makan. Orgasme perempuan diungkapkan secara bisik-bisik karena kenikmatan seksual perempuan jarang dianggap serius. Sementara, menurut Lieberman, orgasme harus dilihat sebagai hak. Seperti halnya hak perawatan kesehatan atau pendidikan, orgasme adalah hak asasi manusia. Sudah saatnya lebih banyak perempuan merasakan orgasme dengan atau tanpa pasangan.

Baca juga: Masturbasi Kenikmatan yang Dicaci

Laci Asmara dan Kampanye Mengarusutamakan Piranti Seks

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sebelum piranti seks sudah mulai menjadi arus utama dan tak malu-malu dibicarakan di media sosial, ada perempuan yang getol mengampanyekannya lewat toko daring Laci Asmara. Adalah Susanti Rendra yang sudah sembilan tahun terakhir memulai upaya kampanye tentang piranti seks, dan menjualnya secara legal kepada pengguna.

Ia menceritakan pada Magdalene jatuh bangun membangun bisnis ini. Bermula dari kesenangannya untuk mengeksplorasi kebutuhan pribadi terkait seksualitas, Susu mulai mencari-cari semua informasi seputar tubuh, permainan, dan relasi intim dengan pasangan dan sosial. Dan ada akhirnya, bagaimana ia sadar bahwa masyarakat Indonesia banyak yang tidak berpengetahuan dan sungkan untuk mengutarakan dengan pasangan.

“Masalahnya susah banget cari toko yang trusted untuk jualan (piranti seks). Kalau ada biasanya bahannya enggak aman, enggak nyaman,” jelasnya.

Sumber: Laci Asmara

Belum lagi, situs penyedianya kadang meragukan dan tak bisa dipercaya. Susu bercerita, bahkan beberapa produk ditawarkan sembunyi-sembunyi di tempat ala kadarnya di pinggir jalan. Ada juga yang menjual itu di gerobak di atas trotoar dan disandingkan dengan obat kuat perkasa untuk lelaki beserta VCD porno bajakan. Kemasannya enggak usah ditanya: Mayoritas seronok dan vulgar.

Susu didukung penuh oleh pasangan dan keluarganya. Sepulangnya dari Dubai, tempat ia bekerja sebagai awak periklanan, Susu mulai mengurus bisnis ini dengan lebih serius. “Gue inget banget udah riset tentang ini (piranti seks) bertahun-tahun. Baca berbagai undang-undang di Indonesia, gue datengin pihak pemerintah, mulai dari Kementerian Kesehatan hingga Kementerian Hukum dan HAM. Semua demi cari tahu bagaimana negara melihat bisnis ini,” ujar dia.
 
Ia kemudian mulai mengimpor piranti seks melalui perusahaan yang dikepalainya. Berbagai variasi jenama diimpor, sebut saja Tickler, VeDO, Rianne S, dan lainnya sehingga menjadi terkenal di Indonesia. Lininya makin melebar ke pelumas dan alat batu latihan kegel pelatih kebugaran, yang sedang meledak di Tanah Air.

Proses yang dijalaninya relatif sangat menantang untuk bisa sampai di titik sekarang. Bahkan beberapa klinik dan dokter telah bekerja sama dengan Laci Asmara untuk menyediakan produk piranti asmara di tempat mereka. Ini adalah salah satu pencapaian yang membahagiakan, katanya.

Susu sendiri mengaku sangat bangga menjadi toko gaya hidup daring di Indonesia, yang mempersembahkan beragam aksesoris penunjang kebahagiaan seksual dari berbagai merek internasional.

“Dengan mengutamakan kualitas serta keindahan bentuk yang jauh dari kesan negatif dan mengintimidasi, bersama kita dapat mencapai kehidupan yang lebih bahagia,” pungkasnya.

*Artikel ini merupakan kerja sama dengan Laci Asmara, toko piranti seks besar di Indonesia. Baca artikel lainnya di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *