Election 2024 Issues Politics & Society

Skenario Terburuk Jika Prabowo Menang Jadi Presiden RI

Kemenangan Prabowo kelak akan jadi kekalahan terbesar korban pelanggaran HAM. Namun, bukan itu saja yang harus kita antisipasi di masa depan.

Avatar
  • February 9, 2024
  • 10 min read
  • 5582 Views
Skenario Terburuk Jika Prabowo Menang Jadi Presiden RI

Sudah seperempat abad Paian Siahaan, 76, selalu mengucap doa yang sama setiap malam. Ia minta pada Tuhan agar Ucok Munandar Siahaan, anaknya yang dihilangkan paksa sejak 15 Mei 1998 ditemukan. Ucok adalah salah satu aktivis Reformasi yang tak diketahui rimbanya, usai diculik bersama 22 pemuda lain. Sembilan orang dikembalikan, tapi Ucok sendiri tak pernah pulang.

“Tuhan, tolong selamatkan Ucok.”

 

 

Beberapa bulan belakangan, doa Paian bertambah satu, “Tuhan, jangan biarkan Prabowo menang jadi Presiden RI.”

Paian yakin, doa-doa yang dilantunkan oleh ia; janda aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Thalib, Suciwati; ibunda korban Semanggi 1 Wawan, Sumarsih, dan orang-orang yang jadi korban pelanggaran HAM berat bakal dikabulkan. “Sebab kami adalah orang-orang yang tertindas,” ujarnya pada The New York Times.

Doa Paian bisa saja jadi kenyataan, tapi bisa juga tidak. Hari ini, setelah melewati lima kali total debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), elektabilitas Prabowo tetap di puncak. Bahkan ia berpotensi menang telak satu putaran pada Pemilu 2024. Buktinya, survei teranyar Populi Center menemukan, Prabowo-Gibran unggul 52,5 persen. Survei Indikator Politik Indonesia mengklaim, Prabowo-Gibran melejit di angka 51,8 persen. Sementara, versi survei LSI Denny JA mencatat, elektabilitas Prabowo-Gibran 50,7 persen.

Paian boleh saja melawan Prabowo karena keterlibatannya pada kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun masalahnya, yang sekarang dilawan adalah anak-anak muda–daftar pemilih terbanyak menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU)—yang tercerabut dari rekam sejarah Prabowo yang berlumur darah. Anak-anak muda yang terpesona pada gimik jogetan gemoy–jalan canggung di atas panggung dan sesekali melempar tanda hati ke penonton; pasukan pecinta kucing Bobby; atau mereka yang all in karena tersihir citra tegas dan wibawa kakek 72 tahun tersebut.

Tulisan ini saya angkat agar Paian dan banyak aktivis yang tahun ini urung golput, tak merasa sendirian dalam perjuangannya melawan lupa. Kritik yang ada di dalamnya diolah dari referensi sekunder, seperti arsip pemberitaan di media massa, analisis pengamat politik, dan wawancara dengan pakar. Inilah skenario yang mungkin terjadi jika Prabowo menang, baik satu atau dua putaran di Pemilu 2024.

Baca juga: 5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi

Pelaku Pelanggar HAM Dapat Impunitas, Kasus Takkan Tuntas

Bagaimana bisa berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu jika Prabowo terindikasi sebagai salah satu dalangnya?

Barisan pendukung 02 pernah berdalih saat Sumarsih berorasi di peringatan 17 tahun Aksi Kamisan, dilansir dari video Kompas, bahwa para pembenci kerap menggunakan isu pelanggaran HAM untuk menjegal Prabowo. Sebagian menstempel kritik Sumarsih sebagai berita palsu. Sebagian lagi membela Prabowo dan menyebutnya sebagai korban yang selalu disalahkan, padahal ia cuma menjalankan perintah atasan. Untuk menguatkan argumen terakhir, eks aktivis 1998, seperti Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Tubagus Ace Hasan digandeng serta dalam kampanyenya

Pelanggaran HAM berat masa lalu itu terus membuntuti Prabowo sejak ia bertaruh di Pemilu 2009 sampai empat kali kegagalannya berturut-turut. Kenapa? Sebab, Ketua Umum Partai Gerindra itu tak pernah menjalani proses hukum, sekali pun bukti-bukti mengarah padanya. Mulai dari keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari militer hingga desakan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mei 1998. Bahkan saat dia mengakui keterlibatannya dalam penculikan paksa aktivis 1998 pada Al Jazeera, dengan dalih itu wajar dilakukan atas dasar perintah atasan, Prabowo tetap melengos bebas.

Dalam buku terbaru yang disusun eksponen ’98, Azwar Furgudyama bertajuk “Buku Hitam Prabowo Subianto” (2023) diurai kembali dosa-dosa lama Prabowo. Buku yang terdiri atas 7 bab itu mengungkap bahwa Prabowo memang terlibat dalam penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998. Buku itu juga menjelaskan dosa lain Prabowo, termasuk dugaan keterlibatannya dalam pembantaian ratusan manusia di Timor Leste pada 1999, saat masih jadi pejabat di Kopassus. Saat itu pembantaian dilakukan dengan tujuan menggagalkan referendum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), menurut catatan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pasca-Suharto.

Karena keterlibatannya, Prabowo yang berasal dari keluarga kaya (ayahnya bekas ekonom terkenal Sumitro Djojohadikusumo, adiknya Hashim Djojohadikusumo adalah orang terkaya urutan 40 di Indonesia, dengan harta Rp10,4 Triliun menurut Forbes), pernah mengasingkan diri ke Yordania. Ia juga masuk daftar hitam di Australia, dan dicekal masuk ke Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Epic comeback Prabowo sebenarnya terjadi pada 2019 saat Jokowi mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan, mengubah lawan menjadi sekutu kuat hingga sekarang.

Andai Prabowo menang jadi Presiden RI, akan relatif kecil kemungkinan ia bakal berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Liputan Magdalene sebelumnya menjelaskan pesimisme keluarga korban pelanggaran HAM. Suciwati dalam orasinya yang dikutip dari akun Instagram @AksiKamisan bilang, “Bagaimana HAM mau diinjak-injak karena hari ini kita bisa melihat, penjahatnya maju menjadi calon presiden (Prabowo Subianto). Setiap ganti presiden selalu dijanjikan soal penegakan HAM, soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Tapi nyatanya kami masih saja selalu dikhianati. Siapa pun capresnya, yang kemudian jadi presiden, mengkhianati janji-janji mereka sendiri,” ujarnya.

Soal penuntasan pelanggaran HAM itu juga tak tercermin dalam visi misi dan program kerja Prabowo. Ia dan Gibran menjadi satu-satunya pasangan calon (paslon) yang tak menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam misi terkait HAM hanya tertulis bahwa keduanya berkomitmen pada perlindungan HAM untuk warga negara dan menghapus praktik diskriminasi. Mereka juga menyusun program kebijakan inklusif agar hak publik dan kelompok rentan terpenuhi. Itu saja.

Baca Juga: Pemilu 2024: Semua Capres Gagap Bicara Krisis Iklim

Kebebasan Pers, Bicara, dan Berekspresi Terancam

Magdalene pernah mengangkat tentang komitmen Prabowo dan capres lain pada isu kebebasan berekspresi dan pers tanpa intervensi. Meskipun Prabowo dan Gibran mencantumkan pengokohan Pancasila, Demokrasi, dan HAM dalam Program Asta Cita mereka, tetapi partai-partai pendukungnya tidak menunjukkan ketegasan atas isu kebebasan sipil dan pers dengan mendukung pengesahan UU KUHP. Memang, mayoritas partai pengusung Prabowo-Gibran merupakan partai koalisi pemerintah, kecuali Partai Demokrat. Ini bisa menjelaskan bagaimana keberpihakan mereka dalam kebijakan pemerintah yang satu ini.

Teguh Hidayatul Rachmad, pakar komunikasi politik jebolan Institut Pertanian Bogor juga sepakat tentang itu. Menurutnya, ada potensi kondisi kebebasan berekspresi, bicara, dan kebebasan pers bakal balik seperti era Orde Baru. “Saat itu pers cuma akan meliput, membuat, dan memberitakan di media massa seputar pencitraan pemerintah saja tanpa ada perspektif berimbang dari suara akar rumput. Alias media lebih banyak berperan sebagai pengeras suara rezim karena pembatasan di sana-sini. Indikatornya sebenarnya sudah terlihat dari sikapnya yang cenderung memusuhi dan mengintimidasi kawan-kawan jurnalis,” kata dia, (9/2).

Ia menambahkan, Prabowo pernah menyebut media, memanipulasi demokrasi dalam acara Reuni 212 pada akhir 2018 silam. Ia pun menolak diwawancara media dan balik bertanya kepada jurnalis, dari media mana mereka berasal. “Media-media yang kondang, media-media dengan nama besar, media-media yang mengatakan dirinya obyektif, bertanggung jawab untuk membela demokrasi, padahal justru mereka ikut bertanggung jawab. Mereka bagian dari usaha manipulasi demokrasi,” ungkapnya, disitir dari Kompas. Tak ada identitas media atau data yang ia sebutkan setelahnya.

Pada peringatan Hari Buruh, Mei 2019, Prabowo juga mengancam para wartawan dalam pidatonya. Ia bilang, “Para media hati-hati, kami mencatat kelakuan kalian satu-satu. Kami bukan kambing yang bisa kau atur-atur. Hati-hati kau yah. Hati-hati kau. Suara rakyat adalah suara Tuhan,” ucap Prabowo, dikutip dari Suara.

“Ini memang sudah kejadian di momen Pilpres sebelumnya. Namun, gara-gara ini, akhirnya Prabowo menjadi pilih-pilih media massa. Padahal hak publik untuk tahu informasi, hak jurnalis untuk bekerja tanpa dibatasi, diintimidasi, atau diancam,” ucap Teguh lagi.

Baca juga: Rangkuman Debat Capres Terakhir: Solusi ‘Mukbang’ Prabowo hingga Disabilitas yang Jadi Token

Kerusakan Lingkungan Kian Parah

Ada sepuluh visi misi Prabowo-Gibran terkait lingkungan. Pasangan itu bahkan menempatkan poin transisi energi terbarukan di bagian pembuka: “Mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power) dalam bidang energi baru dan terbarukan (renewables), serta energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).”

Sayangnya, mereka tak pernah menyebutkan dengan detail, bahkan dalam debat capres cawapres, tentang bagaimana mereka mencapai itu. Tercatat, cuma duet Ganjar-Mahfud yang menampilkan target bauran energi terbarukan sebesar 25-30 persen di 2029. Kedua pasangan lain tidak mencantumkan target spesifik dalam dokumen visi-misinya. Pasangan Prabowo-Gibran hanya menjanjikan upaya diversifikasi sumber energi bersih seperti ke panas Bumi dan biomassa.

Ironisnya, dalam sebuah sesi debat, pasangan ini justru sibuk koar-koar tentang pentingnya ekonomi ekstraktif, salah satunya lewat isu nikel dan hilirisasi. Di artikel Magdalene yang ditulis Sekar Banjaran dijelaskan, ekonomi ekstraktif justru memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria; merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir; merusak hutan dan lahan gambut; mencemari lingkungan; membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara; sekaligus memperparah krisis iklim.

Nasib Perempuan Tak Jadi Prioritas

Prabowo tak menempatkan perempuan sebagai agenda utama dalam visi misi Asta Cita 1. Pengamat Teguh Hidayatul Rachmad mencatat, ihwal perempuan masih menempati urutan ke-10 dari 18 program kampanye Prabowo-Gibran. Bukti lain, kata pria yang juga peneliti Indonesia Popular Survey itu, Prabowo tak benar-benar memahami akar masalah perempuan di Indonesia meliputi apa saja.

“Contohnya di debat kemarin, ditanya soal perlindungan perempuan dari catcalling, kekerasan seksual, dan apresiasi care work, jawabannya balik lagi ke masalah mau kasih makan dan susu gratis untuk ibu hamil dan anak,” tukasnya.

Prabowo dalam pelbagai kesempatan, memang selalu menekankan langkah preventif untuk mengurangi kekerasan dengan membangun ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Problemnya, dalam urusan ketahanan keluarga, beban terbanyak ditujukan pada perempuan, padahal urusan membangun ketahanan adalah kewajiban lelaki maupun perempuan.

Tak usah tanyakan soal kelanjutan aturan turunan UU TPKS, karena bisa jadi jawaban Prabowo akan berputar-putar di makan dan susu gratis. Alih-alih menegakkan hukum, mengajari perspektif gender pada aparat penegak hukum (APH), dan mungkin mengedukasi dirinya akan pengetahuan soal gender. Bisa saja dimulai dengan tidak mengulang menyebut frasa-frasa diskriminatif dan penuh stigma macam “kaum wanita” atau “kaum ibu-ibu”, Pak Prabowo.

Kekuasaan Seumur Hidup sampai Bosan?

Yang tak kalah berbahaya justru bagian ini. Dr. Ian Wilson yang terafiliasi dengan think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute sekaligus Dosen Universitas Murdoch, Australia Barat menjelaskan dua skenario terburuk jika Prabowo memimpin Tanah Air. Dalam artikel bertajuk “An Election to End All Election” (2023) di Fulcrum dijelaskan, kemungkinan pertama bisa jadi takkan ada lagi Pemilu demokratis setelah Prabowo memimpin.

Wilson menulis lebih lanjut, berada di spektrum politik Indonesia yang beraliran kanan nasionalis, Partai Gerindra selalu menolak apa yang mereka klaim sebagai arah reformasi pasca-Reformasi yang bersifat liberal-demokratis. Gerindra menganjurkan kembalinya sistem berdasarkan UUD 1945 yang asli. Ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara kurun 1999-2002 yang mendukung Pemilu demokratis, perlindungan HAM, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun).

Sikap Prabowo dan Gerindra lebih dari sekadar retoris, kata Wilson. Pada akhir 2014, setelah kalah dalam pencalonannya sebagai presiden dari Jokowi, Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai yang mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan, meskipun untuk sementara, situasi sebelum 2005 yang memungkinkan penunjukan kepala daerah, termasuk gubernur oleh DPR. Kudeta legislatif itu dibatalkan lewat dekrit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Pemilu langsung tetap ada.

Sebenarnya indikator soal ini sudah tampak dari banyaknya regulasi yang ditabrak oleh Prabowo. Bahkan untuk pencalonan Gibran sebagai cawapres, ada konstitusi yang ditabrak lewat keputusan Mahkamah Konstitusi, yang diketuai saudara ipar Jokowi. Sehingga, ada pengecualian buat Gibran yang berusia 36 tahun bisa mengajukan diri di Pemilu, aturan aslinya mensyaratkan usia minimum 40 tahun.

Tak cuma itu, wujud pelanggaran regulasi dan pemahaman yang separo-separo juga tercermin dari keberpihakan Jokowi pada kampanye Prabowo-Gibran. Dalam artikel Magdalene sebelumnya dikatakan, sederet protes guru besar dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, sampai Universitas Gadjah Mada sama-sama mengritik hal itu. Dalam keterangannya, Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto bilang, protes akademisi kampus itu sebenarnya teguran yang sangat keras. Jokowi telah menggunakan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan kekuasaan keluarga. Bahkan Presiden terang-terangan ikut berkampanye. Kata Sulistyowati, Presiden tak bisa ditoleransi lagi. Ia juga membajak UU sepotong-potong.

Skenario kedua, kata Wilson, takkan ada oposisi yang bisa menjadi watchdog atas kekuasaannya. Dulu Prabowo pernah menyampaikan niatnya untuk memasukkan “semua pihak” tanpa kecuali dalam pemerintahannya di masa depan, andai terpilih sebagai Presiden RI. Langkah ini, ujar Wilson, bakal seperti model berbasis musyawarah yang ujung-ujungnya cuma memperkuat kekuasaannya saja tanpa perlawanan.

Orang bilang, Pemilu kali ini kita dihadapkan pada dilema moral dan kecemasan lawas, sehingga mantra the lesser evil atau memilih kandidat dengan risiko kejahatan terkecil, muncul kembali. Setidaknya, semoga apa yang sering disuarakan penganut “yang penting bukan 02” menemukan alasan rasionalnya lewat artikel ini.

Magdalene meluncurkan series spesial edisi Pemilu 2024 tentang skenario dan catatan kritis pasangan capres dan cawapres. Artikel-artikel ini diproduksi dengan tujuan sebagai medium pendidikan politik untuk memilih dengan bijak, alih-alih mengajak pembaca untuk golput.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *