Election 2024 Issues Opini

Netralitas Jokowi, Protes Guru Besar, dan Pemilu Rasa Orba?

Jokowi harus berhenti ‘cawe-cawe’ dengan tak menunjukkan keberpihakannya pada Prabowo-Gibran. Jika ini dibiarkan, legitimasi Pemilu bisa dipertanyakan.

Avatar
  • February 7, 2024
  • 4 min read
  • 529 Views
Netralitas Jokowi, Protes Guru Besar, dan Pemilu Rasa Orba?

Adagium Jawa “Esuk tempe sore dele” (pagi tempe sore kedelai) saya kira pas untuk mendeskripsikan inkonsistensi Presiden Joko Widodo belakangan. Berkali-kali, ia mengimbau bawahannya untuk bersikap netral selama Pemilu. Bahkan sepekan sebelum Hari-H, ia mengulang imbauan itu dalam keterangan video yang diunggah di kanal YouTube Sekretariat Presiden, (7/2).

“Saya ingin menegaskan kembali bahwa ASN, TNI/Polri termasuk BIN harus netral, dan menjaga kedaulatan rakyat,” kata Jokowi.

 

 

Warga berhak manyun. Lha wong sebelum koar-koar tentang netralitas, Jokowi sudah menunjukkan sejumlah kode bahwa ia sendiri tak bisa netral. Contohnya saat ia mengunjungi warga di Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, (8/1) untuk bagi-bagi bantuan sosial (bansos), dikutip dari JPNN Indonesia. Alih-alih mencopot spanduk calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo dan Gibran, Jokowi tenang membiarkan saja spanduk itu mejeng. Kenyataan berbeda ditemui di Bali, waktu spanduk Ganjar-Mahfud sengaja diturunkankan.

Baca juga: Sirkus dalam Debat Terakhir Cawapres 2024: Luber Gimik, Minim Misi dan Solusi Nyata

Ada kesan pembiaran itu seolah Menteri Pertahanan dan anak sulungnya tengah mendompleng kegiatan RI-1. Belum lagi pernyataan kontroversial dia pada (24/1) bahwa Presiden boleh berkampanye dan dijamin dengan UU. Kamu tentu boleh sepakat atau tidak. Namun, saya kira para guru besar dan akademisi-akademisi di Indonesia banyak sepakat dengan itu. Buktinya, liputan BBC Indonesia menyatakan, sederet protes guru besar dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, sampai Universitas Gadjah Mada sama-sama mengritik hal itu.

Dalam salah satu komentar di BBC Indonesia, Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto bilang, protes akademisi kampus itu sebenarnya teguran yang sangat keras. Jokowi telah menggunakan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan kekuasaan keluarga. Bahkan Presiden terang-terangan ikut berkampanye. Kata Sulistyowati, Presiden tak bisa ditoleransi lagi. Ia juga membajak UU sepotong-potong.

Baca juga: Panduan Membaca Kritis Janji Capres-cawapres untuk Pemilih Pemula

Bagaimana UU Mengatur Netralitas Presiden

Ketentuan mengenai kampanye Presiden dan Wakil Presiden sebenarnya sudah ada di UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum pada Bagian Kedelapan Pasal 299 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye”.

Namun, Jokowi tak membaca dengan detail bahwa ada syarat dan ketentuan berlaku. Dalam Pasal 304 disebutkan:

(1) Dalam melaksanakan kampanye, Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.

(2) Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;

b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan, prinsip keadilan;

c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi radio daerah milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan

d. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dari sini saja sudah jelas, jika Jokowi memang ingin tak netral dengan memihak kampanye salah satu paslon, maka haram buatnya memanfaatkan fasilitas negara. Aktivitas bansos tempo hari itu jika dicermati sebenarnya adalah aktivitas negara dengan fasilitas negara. Sehingga, tak layak jika ada kesan kampanye terselubung lewat spanduk Prabowo-Gibran yang urung dicopot.

Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden harus mengajukan cuti terlebih dahulu apabila ingin mengikuti proses kampanye salah satu paslon. Hal itu tertuang dalam Pasal 281 ayat (1). Dengan demikian, Presiden Jokowi dapat mengikuti sebuah proses kampanye walaupun dirinya (Presiden Jokowi) tidak terdaftar secara resmi sebagai juru kampanye dari salah satu kubu.

Baca juga: 5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi

Sikap Jokowi adalah Preseden Buruk untuk Demokrasi

Meski sudah diatur sedemikian rupa, ada pasal yang mengatur soal larangan-larangan dalam kampanye, seperti yang tertuang dalam Pasal 282 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Di antaranya:

“Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa kampanye”.

Lebih lanjut Pasal 283 juga menyebutkan:

(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Berdasarkan isi pasal di atas, semakin terang benderang bahwa Jokowi telah melanggarnya. Sikap netral yang seharusnya diperlihatkan oleh Jokowi tak ditemukan saat ia sengaja mengundang Prabowo Subianto bicara empat mata dengannya. Hal ini tak ayal menimbulkan pertanyaan besar serta kecurigaan publik.

Buat saya sendiri, Jokowi perlu berhenti cawe-cawe dan menjadi teladan yang baik agar demokrasi di Indonesia tak semakin retak dan pecah. Sebab, jika sikap Jokowi ini dibiarkan, maka legitimasi dari hasil Pemilu 2024 bisa saja diragukan. Akan timbul berbagai kecurigaan atau spekulasi dari masyarakat bahwa Pemilu kali ini memang sudah di-setting karena putra Presiden ikut dalam kontestasi. Minimal jangan membiarkan nuansa Pemilu ini terasa seperti Pemilu zaman Orde Baru di mana siapa pun calonnya, kita sudah tahu siapa pemenangnya.

Jhodie Faja Agustian bisa dihubungi di [email protected]


Avatar
About Author

Jhodie Faja Agustian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *