Akhir pekan lalu saya, tiga kakak sepupu, dan ibu saya pergi ke rumah kerabat kami di Kreo. Di perjalanan, salah satu kakak sepupu saya curhat terkait keponakan saya yang kini sudah menjadi siswa SMA tahun pertama. Ia berkata, teman dari anaknya sudah mulai bertanya tentang
skin care.
“Itu temennya si Mela tanya
skin care-nya apa.
Lah, si Mela malah balik tanya ke aku,
skin care itu apa,
sih, Mah? Aku juga bingung kenapa anak segede
gitu udah ngomongin soal ini,” ujar kakak sepupu saya sambil terkikik geli.
Wah, zaman sudah berubah, pikir saya. Sepuluh tahun lalu ketika masih SMA, masalah
skin care ini bukanlah perbincangan yang lumrah ditemukan di kalangan teman-teman saya. Ini mungkin juga salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan media sosial dan eksistensi
influencer-influencer kecantikan yang semakin menjamur.
Saya sebetulnya tidak mempermasalahkan anak-anak seumur keponakan saya mulai paham bagaimana merawat wajah mereka dengan alasan agar kulit bersih. Namun, yang problematik adalah jika mereka merasa harus ikut ke dalam tren ini agar bisa secantik dan seputih para
influencer, atau mungkin se-
glowing girl band Korea Selatan.
Baca juga: ‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal
Standar cantik yang diterjemahkan dengan kulit putih dan badan kurus bukan lagi isu baru di Indonesia. Hal ini langgeng karena representasi cantik di media lebih banyak didominasi oleh perempuan-perempuan berkulit putih, dan diperparah oleh industri kecantikan yang mendoktrin hal yang sama. Sehingga, masyarakat khususnya perempuan, jadi tidak percaya diri dengan warna kulit mereka.
Sementara soal badan kurus, saya punya cerita tak mengenakkan lantaran sejak kecil saya sering
dikata-katai gendut. Hal ini pun dialami oleh keponakan saya, Mela. Sedihnya, orang tua Mela (kakak sepupu saya), malah ikut-ikutan melabeli Mela dengan sebutan tak menyenangkan.
Saya jadi sedih bagaimana anak-anak perempuan dari generasi ke generasi harus tumbuh dengan rasa
insecure akan tubuh dan warna kulit mereka. Padahal, tidak ada yang salah dengan hal-hal tersebut, yang salah adalah standar kecantikan Indonesia dan juga dunia yang nggak masuk akal.
Pembentukan
standar kecantikan Indonesia yang mustahil ini sebetulnya sudah terbentuk dari masa-masa kolonial Belanda. Hal ini dijelaskan oleh Luh Ayu Saraswati, Profesor Kajian Wanita dari Universitas Hawaii, dan penulis “
Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia” mengatakan, di masa pra-penjajahan Belanda, putih tak melulu dilekatkan dengan ras, melainkan sekadar warna.
Baca juga: Mengapa Menjadi Cantik Penting di Media Sosial
Setelah itu muncullah kepercayaan, putih bukan cuma sekadar warna, tetapi juga dicitrakan lebih baik dan bersih ketimbang hitam. Hal ini pun berlanjut hingga masa kolonialisme Belanda, di mana gagasan terkait kecantikan itu bukan cuma kulit putih tetapi perempuan kulit putih berkebangsaan Eropa. Begitu juga yang terjadi ketika Indonesia dijajah Jepang, para penjajah Jepang pun memunculkan standar cantik versi mereka, yaitu orang berkulit lebih terang dan berkebangsaan Jepang.
Ketika Indonesia tidak lagi dijajah dan zaman semakin berubah, ternyata standar kecantikan Indonesia yang menganggap cantik itu putih, tetap langgeng dalam pemikiran masyarakat. Sebagian besar perempuan saat ini masih terjebak dalam standar kecantikan mustahil media, dan membuat mereka melakukan segala cara agar bisa masuk dalam standar tersebut. Usaha untuk bisa masuk dalam standar kecantikan saat ini semakin dipermudah juga dengan kehadiran
teknologi filter cantik di ponsel pintar kita. Tinggal klik ini dan itu, wajah kita pun bisa berubah sesuai dengan keinginan kita.
Memberikan Dampak yang Buruk pada Kesehatan Mental
Saya pernah berada di masa-masa ketika saya sangat membenci tubuh saya dan warna kulit saya. saya berpikir mengapa sih saya tidak seputih teman saya, atau setinggi teman saya, mengapa rambut saya pendek?
Pemikiran-pemikiran ini yang membuat rasa ketidak percayaan diri saya menurun dan bahkan saya pernah berada di
fase depresi karena omongan tante saya terkait dengan tubuh saya. Dari pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa standar kecantikan Indonesia yang mengatakan bahwa cantik itu putih sangat berdampak negatif pada perempuan dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Saya Feminis, Saya Menentang Narasi ‘Semua Perempuan Cantik’
Hal ini juga pastinya akan berdampak pada kesehatan mental anak-anak perempuan seusia keponakan saya yang belum paham bahwa omongan-omongan jahat soal tubuh dan kulit mereka itu bukanlah salah mereka, dan tak ada yang salah dengan diri mereka.
Untuk adik-adik perempuan di luar sana, saya cuma ingin berkata bahwa kulitmu itu sudah cantik, dan tak ada salahnya dengan bentuk tubuhmu yang mungkin lebih besar dari teman-teman seusiamu. Jika orang-orang berkata jahat soal tubuhmu, abaikan mereka, dan sayangilah dirimu sendiri.