December 5, 2025
Issues Opini

Setop Jadi Penonton yang Membiarkan, Apalagi Ikut Menyulut Bara 

Dari ruang kelas hingga linimasa, budaya menonton dan menormalisasi kekerasan masih subur. Yang kita butuhkan bukan amuk massa, tapi keberanian ikut campur dengan cara yang beradab.

  • October 31, 2025
  • 4 min read
  • 473 Views
Setop Jadi Penonton yang Membiarkan, Apalagi Ikut Menyulut Bara 

Minggu lalu saya pulang kampung untuk takziah. Pak Ustaz meninggal. Di ruang tamu yang sesak oleh doa, ingatan saya melayang pada satu kejadian lama. Malam itu, anak-anak desa menyamar jadi pocong sepulang pengajian, seorang anak perempuan pingsan karenanya, dan grup warga mendadak ramai oleh amarah dan prasangka. 

Yang paling saya ingat bukan kekacauannya, melainkan cara almarhum meredakan “drama” tersebut. Ia menenangkan para orang tua yang sudah naik darah, memanggil kepala dusun, lalu mengajak warga duduk bersama. Tak ada yang dimarahi apalagi dipermalukan. Tidak ada video yang bocor ke grup. Permainan berhenti sebelum sempat berubah jadi tontonan. 

Kini, ketika Pak Ustaz tiada, saya baru benar-benar paham: Betapa rapuh ketertiban kalau hanya bertumpu pada satu orang. Yang pergi memang sosoknya, tapi yang seharusnya tinggal adalah caranya—cara untuk hadir, menengahi, dan menghentikan sebelum luka meluas. Cara itu saya sebut ikut campur yang beradab. 

Dan seperti segala hal yang baik, ia selalu punya musuh: penonton yang diam, dan pengikut arus yang ikut menyulut. 

Baca juga: Diam juga Kekerasan: Pengalaman Saya Jadi Pelaku dan ‘Bystander’ Perundungan

Akar yang Suburkan Perundungan 

Keberhasilan kecil malam itu menyoroti kegagalan besar kita sebagai publik: Relasi kuasa yang kian brutal, panggung yang makin luas, dan tepuk tangan penonton yang berubah jadi bensin sosial. 

Berita perundungan di sekolah, pesantren, dan kampus datang silih berganti. Ada yang berujung di meja hukum, sebagian lain viral sesaat lalu hilang arah. Linimasa mengamuk, lalu tenang seketika. Dalam jeda itu, pelaku mendapat panggung baru: Mata yang menonton, jempol yang menekan “like”. 

Padahal, nyawa manusia bukan statistik. Kehilangan bukan sesuatu untuk dihitung, tapi dicegah. Di balik kematian seorang anak akibat perundungan, ada duka yang tak tercatat: ekonomi kesedihan yang tak punya mata uang. Duka seorang ibu tak bisa “dibayar” oleh negara, publik, atau pelaku. Nilainya tak tertakar. 

Perundungan tidak lahir dari anak “nakal” semata. Ia tumbuh dari kuasa orang dewasa yang dipertontonkan tanpa koreksi. Bentakan disebut pendidikan, mempermalukan terasa wajar, body shaming jadi bahan tawa, dan memarahi warga di depan publik dianggap ketegasan. Anak-anak menonton, meniru, dan belajar satu bahasa: yang kuat boleh menghinakan. 

Dari lorong sekolah, pola itu berpindah ke linimasa. Ejekan jadi konten. Tontonan jadi trend. 

Kerangka feminis membantu membaca pola ini. Patriarki menormalisasi dominasi, membuat penghinaan tampak seperti “pendidikan.” Seperti ditulis Sara Ahmed dalam Complaint! (2021), keluhan korban kerap terpantul di dinding birokrasi. Prosesnya panjang, korban lelah, isu membeku. Di sela kebisuan itu, penonton bersorak, pelaku makin berani. 

Diam bagi saya adalah tanda setuju. Jika mengacu pada catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) 2024 menunjukkan ada 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, 31 persennya berupa perundungan. Angka itu cukup untuk mengatakan satu hal: Setop jadi penonton. 

Baca juga: ‘Bullying’ dalam Film ‘Jumbo’: Antara Fiksi dan Realitas

Ikut Campur yang Beradab: Dari Penonton ke Jembatan 

Ikut campur yang beradab artinya menghentikan tontonan di detik pertama. Satu kalimat cukup: “Stop, ini kelewatan.” Lalu ponsel diturunkan. Amankan korban, tenangkan, jauhkan dari kerumunan. Jangan mengorek kronologi di depan umum. Setelah suasana reda, bantu arahkan ke jalur pemulihan—wali kelas, Bimbingan Konseling, satgas kampus, atau layanan rujukan. Prinsipnya sama: menutup panggung, bukan memviralkan. 

Di ruang digital, adabnya juga serupa. Admin menutup komentar ketika candaan berubah jadi hinaan. Moderator mematikan siaran begitu obrolan menyasar tubuh orang. Teman sebaya cukup kirim pesan pribadi: “Aku nggak nyaman baca ini, kita sudahi ya.” Kita tidak butuh persekusi, tapi peredam. 

Jika penonton berhenti membiarkan dan pengikut berhenti menyulut, banyak perundungan akan selesai di titik awal—sebagai kesalahan yang disadari dan diperbaiki, bukan drama panjang yang merusak martabat semua pihak. 

Lorong hari ini bukan cuma koridor sekolah, tapi juga grup alumni, forum organisasi, hingga live stream. Ketika kasus kekerasan mencuat, jangan biarkan ruang kosong menunggu aparat. Warga bisa jaga warga. Admin menutup komentar, teman sebaya mendinginkan suasana, lalu menemani proses laporan. 

Generasi muda, terutama Gen Z, bisa jadi penjaga sebaya. Kita harus berhenti jadi penonton, mulai jadi jembatan agar tak ada yang menanggung aib sendirian. Ikut campur yang beradab bukan amuk massa, bukan persekusi. Ia kebiasaan baru: menolak doxing, menolak viral demi aib, dan menegakkan martabat lewat empati. 

Saya memilih menyimpan cara almarhum Pak Ustaz hadir, bukan sebagai figur, tapi sebagai metode. Kita tak perlu menunggu sosok karismatik untuk menegakkan adab. Cukup satu orang yang berani menghentikan tontonan: di lorong sekolah, di grup angkatan, di live yang kebablasan. 

Pilihannya sederhana: Ikut campur, atau ikut serta. Saya memilih ikut campur dengan adab, dan cinta. 

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.