Sulitnya Mengakses Musik Jepang di Era Streaming Digital
Di zaman streaming begini, kenapa musik J-Pop masih saja sulit diakses penggemarnya di luar negeri?
Sebagai seorang yang merupakan penggemar berat budaya populer Jepang, tak hanya menggemari anime dan manga, aku dulu juga terobsesi dengan idol Jepang. Sejak SMA hingga kuliah semester 5, aku adalah Hyphens. Sebutan penggemar grup idola laki-laki Jepang, KAT-TUN yang beranggotakan enam laki-laki (Kamenashi Kazuya, Akanishi Jin, Taguchi Junnosuke, Tanaka Koki, Ueda Tatsuya, and Nakamaru Yuichi) yang debut di bawah naungan agensi legendaris Jepang, Johnny & Associates.
Aku tak pernah menyangka menjadi penggemar idola Jepang membawa lika-likunya sendiri. Sering sekali aku iri dengan teman-temanku yang suka idol K-Pop atau boyband Barat seperti One Direction. Pasalnya, teman-temanku ini tak pernah merasakan susahnya menikmati lagu, video musik, hingga konser idola mereka. Fans K-Pop atau boyband Barat bisa langsung menonton video musik idolanya di YouTube secara gratis. Mau mendengarkan lagu pun mereka bisa mendengarkannya lewat radio atau membeli CD di toko CD lokal yang melisensi album-album idola mereka di Indonesia.
Sedangkan aku harus merogoh kocek yang dalam hanya untuk menikmati lagu-lagu idolaku secara legal. Dalam hal ini aku mau tak mau harus memesan langsung single atau album KAT-TUN dari Jepang. Misalnya saja pada 2013, aku menghabiskan uang sekitar Rp.285.000 (belum termasuk ongkir) hanya untuk membeli mini album KAT-TUN, 楔– kusabi. Mini album ini hanya berisi 7 lagu dan 1 DVD berisi video musik serta kertas lirik, tanpa photobook atau photocard seperti idol K-Pop. Untuk menonton konser pun aku harus menghabiskan uang sekitar Rp.790.000. Uang yang sangat banyak hanya untuk bisa menonton konser dalam format DVD.
Baca Juga: Kawaii Subkultur Jepang yang Membelenggu tapi Membebaskan
Lalu bagaimana kalau sedang tidak ada uang? Kalau tidak ada uang, aku dan teman-teman penggemar idola Jepang kere lainnya harus mau betah duduk berjam-jam di depan komputer, mencari berbagai link download lagu, video musik, atau konser di internet. Tak jarang, komputer kami eror terkena malware karena terlalu banyak mengunjungi situs “terlarang” demi mendownload konten fangirling-an.
Kukira segala kesulitan yang aku temui selama menjadi Hyphens 8 tahun lalu sudah tak pernah dialami para penggemar idola Jepang atau musik J-Pop pada umumnya. Nyatanya, fakta lapangan tak jauh berbeda berubah. Misalnya ketika dorama BL Jepang Kieta Hatsukoi (2021) mendunia, aku berusaha mencari opening dan ending song dorama ini di Spotify dan Apple Musik. Hasilnya NIHIL!
Satu-satunya akses legal yang bisa kudapatkan adalah video musik yang diunggah di YouTube. Aku kemudian kepo mencari lagu-lagu Jepang lain beserta dengan penyanyi atau idol Jepang kesukaanku dulu. Hasilnya? Banyak dari mereka musiknya tak pernah dirilis Spotify atau Apple Music. Jika pun ada, musik mereka tidak bisa diakses karena dibatasi wilayah regional Jepang. あああ面倒くさい!Menyebalkan sekali!
Pengalamanku ini pun membawaku pada sebuah pertanyaan besar? Kenapa sampai sekarang musik Jepang masih susah sekali diakses di luar Jepang lewat kanal streaming?
Baca Juga: Menjadi Perempuan dalam Skena Musik
Regulasi Pemerintah dan Loyalitas Konsumen
Kita telah memasuki era streaming musik dengan pertumbuhan pesat pengguna berbagai kanal legal untuk streaming lagu hingga video musik tersedia secara gratis maupun berbayar. This trend is already conquering the world, except Japan. Ya, di Jepang pembelian musik dalam bentuk fisik masih jadi primadona.
Dilansir dari Quartz, secara global, 39 persen dari semua penjualan musik adalah CD fisik dan vinyls, tetapi di Jepang, angka ini dua kali lipat besarnya. Asosiasi Industri Rekaman Jepang (RIAJ) pada 2018 misalnya melaporkan jumlah penjualan musik dalam bentuk fisik di Jepang mencapai 80 persen dan pada 2019 saat pandemi melanda dunia, penjualan musik dalam bentuk fisik masih tetap tinggi, yaitu sebesar 70 persen.
Penjualan fisik ini tak lepas dari fakta bagaimana Jepang memiliki jumlah toko musik tertinggi di dunia dengan kurang lebih sebanyak 6000 toko. Sementara Amerika, negara dengan pasar musik terbesar nomor satu dunia hanya memiliki kurang lebih 1000 toko. Data ini saja sudah menunjukkan betapa uniknya industri musik di Jepang, di mana penjualan musik dalam bentuk fisik telah membantu menjadikan Jepang sebagai pasar musik terbesar kedua di dunia.
Penjualan musik dalam bentuk fisik ini pun tak pernah bisa lepas dari faktor internal sosial budaya dan politik di Jepang. Pertama, tingginya pembelian CD di Jepang terkait erat dengan regulasi pemerintah Jepang bernama saihan. Dilansir dari artikel Billboard Pro, saihan adalah regulasi pemerintah Jepang yang memungkinkan label menetapkan harga eceran untuk CD dan produk fisik lainnya. Regulasi ini diperkenalkan pada 1953 sebagai pengecualian hukum anti-monopoli, saihan (berarti “dijual kembali”) memastikan ketersediaan materi berhak cipta dengan mengurangi persaingan harga di antara gerai ritel.
Akibatnya, sebagian besar album CD dijual seharga 2.000 hingga 3.000 yen atau bahkan hingga 80 persen lebih tinggi daripada harga jual CD di Amerika Serikat. Dengan demikian, regulasi ini menjamin margin keuntungan 25 hingga 30 persen per unit untuk label Jepang. Hal ini jelas sangat berbeda dengan keuntungan yang didapat label Jepang melalui layanan streaming musik berbayar yang biaya berlangganan bulanan layanan streaming rata-rata hanya sekitar 1.000 yen.
“Selama ada permintaan fisik, wajar bagi perusahaan yang mencari keuntungan untuk tidak meninggalkan cara lama ini,” kata Masanori Ohori, pejabat eksekutif dari label Toy’s Factory yang berbasis di Tokyo pada Billboard Pro.
Baca Juga: Manfaat Dengar Musik Saat Pandemi
Selain dari regulasi pemerintah dan bagaimana label Jepang diuntungkan karenanya, alasan terbesar obsesi pembelian musik fisik Jepang yang bertahan lama adalah loyalitas konsumen. Penggemar musik di Jepang menunjukkan komitmen mereka kepada artis yang mereka sukai dengan membeli dan mengumpulkan produk fisik seperti CD atau vinyls. Ini adalah bentuk cinta mereka terhadap idola mereka.
Dengan perilaku konsumen seperti ini, agensi Jepang pun mengakomodir perilaku ini dengan merilis beberapa versi CD dari rilisan terbaru idola mereka dengan pengalaman langka yang berusaha ditawarkan. Mulai dari mendapatkan merchandise eksklusif yang ditandatangani langsung oleh idol, kesempatan memenangkan tiket konser, atau melakukan handshake dan foto bersama idola.
Tak hanya itu, beberapa label rekaman atau agensi membuat undian di mana setiap pembelian 1 CD maka penggemar dapat memilih anggota dari grup idola yang akan menyandang predikat terpopuler. Hal ini terjadi pada 2014. Dilaporkan dalam portal berita Sora News, ada seorang laki-laki Jepang yang membelanjakan sekitar 300.000 ribu dollar Amerika untuk membeli CD rilisan terbaru AKB48. Tujuannya? Agar idolanya, Juri Takahashi bisa mengamankan posisinya di Top 48.
Hal terakhir tak kalah penting dari obsesi pembelian musik fisik di Jepang adalah karena kendala yang dimiliki layanan musik streaming. Dalam Inc dijelaskan untuk bisa masuk ke dalam pasar musik Jepang, maka layanan musik streaming harus bekerja sama dengan label dalam negeri di Jepang. Hal ini dilakukan agar layanan musik streaming bisa mendapatkan lisensi karya para musisi terkait.
Ini jelas jadi permasalahan besar mengingat label besar di Jepang hanya berjumlah 36 persen saja, sehingga layanan musik streaming jelas banyak membutuhkan waktu dan uang untuk menandatangani kontrak dengan mereka satu persatu. Belum lagi, musisi indie Jepang menolak bekerja sama dengan mereka karena pendapatan dari penjualan CD dan tiket konser yang mereka sudah cukup besar.
Pendapatan streaming label Jepang boleh jadi naik (pada 2018 RIAJ melaporkan kenaikan pendapatan sebesar 27 persen pada 2018). Akan tetapi, kita tak dapat bisa memungkiri bahwa penjualan musik fisik masih merajai pasar musik Jepang sampai waktu tak ditentukan.
“Hubungan antara musik digital dan fisik di Jepang akan berubah secara perlahan. Tapi, kami tidak berpikir penjualan fisik di Jepang akan turun [semua] sekaligus seperti di AS,” ungkap Tatsuro Yagawa, juru bicara dari Tower Record dalam wawancaranya bersama Billboard Pro.