Surat Cinta untuk Prajurit LGBT
Prajurit TNI yang LGBT dipecat dan dipidana padahal hubungan sesama jenis bukanlah tindak kriminal.
Kepada Kapten Kes IC, Kapten Inf IB, Pratu H, Serda Z, Praka E, Lettu Arm A, Serda X, Sertu P, Prada B, Prada AK, Letda DS, Letkol dr BD, dan rekan sekalian yang tak mungkin saya sebut satu per satu.
Pertama-tama, perkenankanlah saya menyampaikan rasa persaudaraan kepada kalian. Kita memang tidak pernah bertemu dan mengenal pribadi, tapi kisah kalian adalah bagian dari perjalanan kita bersama guna memperoleh pengakuan dan penerimaan di dalam masyarakat.
Surat ini saya tulis sebagai bentuk dukungan kepada kalian, sebab apa yang terjadi pada kalian adalah ketidakadilan. Seperti kisah rakyat Si Tanduk Panjang dari tanah Batak, jati diri dan peran kalian tidak diakui, kemudian dibuang dan diabaikan.
Kalian diajukan ke Pengadilan Militer dengan dakwaan yang sangat kabur dan sumir. Kalian dihadapkan pada tuduhan tindak pidana, yaitu: “Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,” atau “Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan,” dengan berdasarkan Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Padahal, menurut aturan positif hukum pidana kita yang masih berlaku selama ini, tindakan berhubungan sesama jenis bukanlah tindak pidana atau kriminal, terlebih bila dilakukan oleh orang dewasa dan atas dasar suka-sama-suka. Pasal 281 KUHP juga tidak menyebut apa pun tentang perbuatan pidana atas mereka yang adalah LGBTQ+.
Baca juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia
Tanpa memperoleh pendampingan dan pembelaan hukum yang berarti, kalian diputus bersalah, ditahan (umumnya maksimal selama 10 bulan), dan dijatuhi hukuman berupa: “Pemberhentian dengan tidak hormat dari dinas TNI.”
Anehnya pula, di dalam pertimbangan oditur dan hakim militer kerap disebutkan bahwa “perbuatan berhubungan sesama jenis atau sering disebut LGBT adalah merupakan perilaku menyimpang yang dapat menular kepada orang lain yang sering bertemu atau berinteraksi secara langsung,” atau juga “perbuatan ini dapat menular kepada prajurit TNI lainnya sehingga akan merusak citra dan nama baik kesatuan terdakwa pada khususnya dan TNI pada umumnya.”
Di beberapa kasus lain, kalian malah dicap “mempunyai kelainan seksual egodistonik (menyukai sesama jenis) yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.” Pernyataan-pernyataan demikian adalah jelas anggapan yang sangat keliru, tidak ilmiah, tidak berdasarkan hukum, dan cermin dari institusi yang homofobik dan anti-keberagaman.
Sayangnya, kasus kalian dijadikan contoh dari apa yang disebut “fenomena LGBT” di dalam TNI. Malah, kasus kalian ditelan mentah-mentah oleh banyak media nasional tanpa pikir panjang guna “membersihkan” TNI dari unsur-unsur yang tidak diinginkan, seakan-akan perburuan penyihir (witch hunt) di abad ke-21.
Bukan hal yang baru sebetulnya. Sudah ada beberapa kasus serupa sejak 2009. Di dalam beberapa kasus lain, karena tertekan sebagai LGBT+, prajurit melakukan desersi atau meninggalkan kesatuan tanpa izin, sehingga berakhir dengan penahanan (umumnya sekitar 12 bulan atau lebih), dan dipecat dengan tidak hormat. Selama ini, kasus-kasus tersebut tidak diberitakan umum, karena mungkin dianggap aib bagi institusi. Namun jumlah kasus menjadi melonjak sepanjang 2020 ini seiring dengan maraknya kampanye anti-LGBT+ di dalam masyarakat kita.
Hal ini sungguh mengherankan, sebab yang terjadi atas kalian adalah murni diskriminasi, bertentangan dengan UUD 1945 Bab XA dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di negara-negara Eropa, Israel, Chile, Brazil, Afrika Selatan, dan banyak negara lain, tidak ada perlakuan diskriminasi atas dasar orientasi seksual seseorang. Terlebih, tidak ada larangan bagi mereka yang LGBTQ+ untuk masuk menjadi anggota militer dan kepolisian.
Beberapa orang ada yang bertanya, “Sudah tahu LGBTQ+, mengapa mereka malah bergabung dengan TNI dan Polri?”
Mungkin tanpa disadari, pertanyaan itu sendiri adalah cermin bias dan bersifat menghakimi. Apakah bela negara adalah hak istimewa (privilese) hanya bagi mereka yang hetero, tapi tertutup bagi LGBTQ+? Apakah diperbolehkan melakukan diskriminasi atas dasar orientasi seksual seseorang? Apakah orientasi seksual seseorang akan menghambat perannya dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota TNI dan Kepolisian?
Baca juga: Diskriminasi LGBT di Dunia Kerja: Tidak Melela Pun Dicerca
Contoh keberhasilan di negara lain
Di dalam kenyataannya, ada banyak contoh bahwa orientasi seksual seseorang bukanlah hambatan dalam menjalankan tugas dan kewajiban militer (dan kepolisian) mereka dengan sempurna.
Ada Leonard Matlovich, seorang sersan Angkatan Udara Amerika Serikat, veteran Perang Vietnam, dan peraih penghargaan militer Bronze Star Medal dan Purple Heart. Ada Margarethe Cammermeyer, seorang kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat, yang kisahnya sudah diangkat ke layar lebar, Serving in Silence (1995). Ada pula Xavier Jugelé, seorang polisi kota Paris sejak 2010, yang meninggal pada saat menjalankan tugasnya karena tertembak oleh teroris pada 2017. Ia adalah juga seorang penggiat hak-hak kelompok LGBTQ+. Di Belanda, diperkirakan sekitar 8 persen anggota militer adalah gay atau lesbian—yang artinya, sama seperti persentase di dalam populasi umumnya.
Di beberapa negara-negara lain pula, sudah ada pernyataan maaf resmi dari pemerintah bagi warga negaranya yang mengalami diskriminasi atas orientasi seksual mereka. Pada 2007, Menteri Pertahanan Inggris menyatakan permohonan maaf atas tindakan diskriminasi yang terjadi di dalam tubuh Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara negara itu kepada anggotanya yang dihukum dan dipecat karena orientasi seksual mereka.
Pada 2017, Perdana Menteri Kanada meminta maaf atas tindakan diskriminasi yang terjadi di dalam tubuh pegawai negeri dan militer negara itu, kepada anggotanya yang dihukum dan dipecat karena orientasi seksual mereka. Hingga 2019, sebanyak 400 surat permohonan maaf dikirim satu per satu kepada para korban dan penyintas dari tindakan diskriminasi tersebut.
Di beberapa negara-negara lain, sudah ada pernyataan maaf resmi dari pemerintah bagi anggota militer yang mengalami diskriminasi atas orientasi seksual mereka.
Juga, pada pertengahan September lalu, Menteri Pertahanan Jerman menyatakan permohonan maaf atas tindakan diskriminasi yang dialami anggota militer karena orientasi seksual mereka dan untuk itu dilakukan program rehabilitasi (pemulihan).
Memang mungkin masih jauh kita bisa berharap hal serupa terjadi di tanah air kita. Pun, masih banyak kasus ketidakadilan lain yang menimpa sesama warga negara kita yang terpinggirkan, yang juga belum terselesaikan. Meski demikian, surat ini juga bermaksud menawarkan harapan. Bahwa suatu saat kalian akan memperoleh keadilan dan pengakuan yang selayaknya. Kisah kalian menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang untuk memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang terjadi sekarang ini.
Seperti kisah Si Tanduk Panjang yang memperoleh bantuan dan penerimaan dari kakak perempuannya sejak dibuangnya, kiranya juga perlu saya sampaikan bahwa gerakan perempuan Indonesia menerima keberagaman dan memberikan dukungan kesetaraan bagi kita semua.
Tetap semangat dan berkarya!
Teriring peluk sayang,
Teja Janabijana