Setiap kali konser tiket tur Taylor Swift, musisi Amerika Serikat (AS) itu dijual, selalu ada “Bad Blood” atau perseteruan.
Penjualan tiket untuk tour Swift di Australia, tempat saya mengajar, misalnya, sejauh ini lebih mulus dibandingkan dengan di AS yang sudah macam bencana – sampai-sampai melahirkan tuntutan untuk memperkuat regulasi pertiketan di AS. Meski begitu, tetap saja ratusan ribu – bahkan mungkin jutaan – “Swifties” (sebutan untuk fans Swift) di Australia berpotensi gagal mengamankan tiket atau harus membayar ratusan atau ribuan dolar lebih mahal daripada harga aslinya.
Hal ini adalah buah dari keunikan industri tiket konser, yang turut diperkuat oleh Taylor Swift sendiri sebagai fenomena budaya.
Lebih dari satu juta orang dikabarkan mendaftar untuk mendapatkan kode presale (prapenjualan) dalam kurun 12 jam setelah tanggal konser di Australia diumumkan. Ketika tiket mulai dijual pada Hari Rabu, 28 Juni 2023, lebih dari empat juta orang dikabarkan mengantre.
Namun, hanya tersedia tak lebih dari 450.000 tiket untuk total lima pertunjukan Swift di Australia (tiga di Accor Stadium, Sydney dan dua di Melbourne Cricket Ground, Melbourne). Hitung-hitungannya sederhana. Mayoritas orang yang menginginkan tiket tak akan kebagian.
Akan tetapi, perhitungan secara ilmu ekonomi terkait skenario ini sedikit lebih rumit.
Baca juga: Manipulasi dan ‘Gaslight’ dalam ‘All Too Well’, Taylor Swift adalah Kita
Penawaran dan Permintaan
Umumnya ketikan permintaan melampaui pasokan, pemasok akan – dalam kepentingan mereka memaksimalkan keuntungan – melakukan dua hal: Meningkatkan suplai atau menaikkan harga.
Namun, dibandingkan dengan pasar sektor lainnya, penyelenggara konser memiliki lebih sedikit kapasitas untuk merespons sinyal-sinyal permintaan.
Untuk tur Taylor Swift di AS, sebanyak 17 konser ditambahkan dari rencana awal yang sejumlah 35 pertunjukkan. Namun, mengingat begitu kolosalnya tur Swift, dengan lebih dari 100 konser di 18 negara, pertambahan jumlah konser menjadi rumit secara logistik.
Tampaknya, hal inilah yang menyebabkan Brisbane tak kebagian jatah konser Swift. Meskipun manajemen stadion Lang Park di kota tersebut (kapasitas 52.500) dilaporkan telah mengamankan sejumlah tanggal demi tur tersebut, penyelenggara menganggapnya tidak praktis mengingat tur Australia “terjepit” antara tanggal di Jepang dan Singapura.
Bahkan tanpa masalah logistik seperti ini, dan dengan lokasi dan infrastruktur yang tersedia, mencocokkan penawaran dan permintan bukanlah ilmu pasti. Penyelenggara tentunya akan lebih memilih pertunjukkan yang tiketnya terjual habis dan ingin menghindari risiko mengadakan konser di auditorium yang separuhnya kosong.
Menetapkan Harga Tiket
Ketika permintaan melampaui penawaran, ekonom mengatakan cara untuk menekan permintaan dan mencapai keseimbangan pasar adalah dengan menaikkan harga.
Penyelenggara konser pun hingga batas tertentu melakukan hal ini dengan menetapkan kisaran harga tiket yang bervariasi.
Untuk sebagian besar tiket Sydney dan Melbourne, ada tujuh jenis tiket dengan rentang harga yang berbeda. Harganya mulai dari A$79,90 atau sekitar Rp800.000 (untuk kursi “baris belakang”) hingga A$379,90 atau sekitar Rp3,8 juta untuk kursi “A Reserve” di depan panggung. Ada juga paket VIP, mulai dari A$349,90 atau sekitar Rp3,5 juta (untuk tiket di bagian lain seharga A$159,90 atau setara Rp1,6 juta, plus merchandise) hingga A$1.250 atau setara Rp12,55 juta untuk paket “It’s Been A Long Time Coming” (yang berarti kursi “A Reserve” plus merchandise).
Penyelenggara bisa saja menaikkan harga-harga ini dan tiket masih akan terjual habis (menurut survei oleh perusahaan konsultan AS, 45 persen penggemar Swift adalah milenial dan hanya 11 persen Gen Z, yang berusia kurang dari 24 tahun).
Demografi Penggemar Taylor Swift di AS
Namun, artis umumnya enggan terlihat menguras uang para penggemarnya, dan fans mereka yang paling setia dan loyal belum tentu mereka yang mampu membayar paling banyak untuk membeli tiket yang mahal.
Baca juga: Review Album ‘Midnights’ Taylor Swift: Belajar Mencintai Sisi Gelap Kita
Harga Dinamis
Penjual tiket seperti Ticketmaster juga telah bereksperimen dengan memaksimalkan yang disebut “efisiensi pengalokasian” (dan juga keuntungan) melalui “dynamic pricing” – penetapan harga yang dinamis, yakni dengan mengenakan harga yang lebih mahal saat permintaan sedang tinggi. Ini mirip dengan bagaimana biaya tiket maskapai atau taksi daring Uber berfluktuasi sesuai dengan jumlah permintaan.
Namun, Ticketmaster mengatakan mereka hanya menggunakan harga dinamis jika artisnya sepakat – dan ada alasan bagus di balik hal ini.
Musisi rock Bruce Springsteen, misalnya, mengizinkan 11 persen tiket turnya pada 2023 untuk dijual dengan cara seperti ini. Munculnya berita terkait tiket “kursi platinum” yang dibanderol hingga US$4.000 (Rp60,59 juta) kemudian memancing kemarahan penggemar (walaupun Ticketmaster mengatakan harga rata-rata tiketnya adalah US$262 atau sekitar hampir Rp4 juta). Fanzine Backstreets, majalah besutan penggemar yang khusus membahas Springsteen, mengumumkan akan menutup operasinya setelah 43 tahun karena kecewa dengan harga tiket. Christopher Phillips, penerbit dan editor Fanzine Backstreets, menyatakan:
Konser-konser ini adalah pertunjukan yang kita nyaris tak mampu beli (tiketnya); yang banyak di antara pembaca kita tak mampu membeli; dan sebagai akibatnya, banyak pembaca kita yang kehilangan minat.
Penggemar Taylor Swift mungkin saja lebih toleran. Swift telah mengizinkan penggunaan dynamic pricing sejak paling tidak 2018. Namun, tak ada tiket yang dijual menggunakan skema ini untuk konser di Australia.
Baca juga: Di Balik Rebutan Tiket Coldplay: Ambil Cuti, Jastip, Sampai Ditipu Calo
Masuknya Calo
Akibat permintaan jauh melebihi penawaran dan keengganan artis untuk menetapkan harga semahal mungkin, peluang untuk menjual kembali tiket dengan harga lebih tinggi pun tercipta.
Ekonom menyebutnya sebagai “pasar sekunder”, dan melihatnya sebagai tanda bahwa produk atau layanan telah kekurangan pasokan atau harganya terlalu rendah (atau keduanya). Hal ini kerap disebut sebagai “ticket scalping” atau “ticket touting” (percaloan), dan dikecam sebagai tindakan yang oportunistik dan tak etis.
Setelah muncul laporan bahwa tiket yang ditawarkan secara eksklusif kepada pelanggan American Express dijual kembali seharga hingga A$3.000 atau sekitar Rp30 juta, pemerintah negara bagian Victoria menyatakan dua pertunjukan Swift di Melbourne sebagai “peristiwa besar” untuk kemudian memicu undang-undang yang melarang penjualan kembali tiket lebih dari 110 persen dari harga pembelian. (New South Wales memiliki undang-undang yang berlaku untuk semua tiket sejak 2018.)
Namun, kemunculan bot tiket, yang dapat membanjiri situs web penjualan tiket dengan jutaan permintaan, dan kehadiran pasar daring yang memungkinkan anonimitas penjual, membuat para calo semakin sulit dibendung. (Ticketmaster menyalahkan bot calo saat situs AS miliknya tak dapat dibuka pada bulan November.)
Upaya perusahaan tiket untuk memberantas calo termasuk dengan membatasi jumlah tiket yang dapat dibeli dalam satu waktu. Mereka juga mengharuskan pembeli untuk memverifikasi identitas mereka ketika membeli tiket dan menghadiri pertunjukkan. Perusahaan-perusahaan ini juga membuat platform “dari penggemar untuk penggemar” khusus untuk penjualan tangan kedua, mengakui bahwa ada alasan-alasan yang masuk akal kenapa penggemar ingin menjual kembali tiket yang sudah mereka beli.
Swifties yang ingin melepas tiket tur Australia mereka, misalnya, dapat menggunakan platform yang disediakan oleh Ticketek (perusahaan tiket asal Australia) – tapi harganya tak boleh lebih dari 110 persen harga awal tiket.
Sementara itu, band rock Rage Against the Machine berupaya memerangi calo dengan sistem harga dinamis mereka sendiri. Ini termasuk menahan 10 persen dari tiket pertunjukan, yang kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi tapi tetap di bawah harga calo. Keuntungan tambahannya disalurkan ke “organisasi amal dan/atau aktivisme”. Band tersebut berpendapat, cara ini berhasil mengurangi calo sebesar 85 persen dan mengumpulkan jutaan dolar untuk amal.
Di sisi lain, penyanyi AS, Maggie Rogers menggunakan cara analog, yaitu tidak menawarkan presale sama sekali dan langsung menjual tiket di loket.
Namun, strategi ini tidak akan membantu mengatasi hukum besi terkait penawaran dan permintaan para penggemar Taylor Swift. Mereka hanya bisa berharap “Karma” ada di pihak mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.