Program Susu Gratis Prabowo-Gibran Perburuk Krisis Iklim, Kok Bisa?
Selain berisiko menyedot anggaran, program susu yang tidak dilaksanakan secara hati-hati justru bisa memperparah iklim.
Presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka punya program andalan. Adalah program makan dan susu gratis yang konon menyedot anggaran hingga Rp71 triliun. Sayangnya, kendati anggaran sudah diketok, belum ada kejelasan hingga saat ini seputar detail program pemberian susu. Padahal program susu gratis diprediksi membutuhkan impor 2,15 juta ekor sapi perah.
Konsumsi susu memang baik untuk nutrisi masyarakat Indonesia. Pengembangan peternakan sapi perah pun berpeluang meningkatkan perekonomian peternak.
Namun, impor 2,15 juta ekor sapi jelas bukan angka yang sedikit. Selain berisiko menyedot anggaran, program susu yang tidak dilaksanakan secara hati-hati justru bisa menciptakan mudarat yang lebih besar dari manfaatnya.
Baca juga: Cek Fakta: Program Makan Siang dan Susu Gratis Ada di 76 Negara, Betulkah?
Mudarat Emisi Akibat Program Susu
Sapi perah di peternakan jelas membutuhkan pakan untuk tetap hidup dan memproduksi susu. Di Indonesia, peternak acap memberi pakan rumput, limbah pertanian seperti jerami padi dan sisa panen sayuran untuk sapi perah mereka.
Ada juga pakan jadi hasil produksi industri pakan. Produk ini berasal dari campuran jagung, bungkil kedelai, dedak, dan limbah pengolahan pangan misalnya ampas tahu, ampas singkong, ampas kecap, dan sebagainya.
Sayangnya, sistem pencernaan sapi tidak menyerap nutrisi pakan ini secara sempurna. Sisa-sisa pakan yang tak tercerna kemudian dimakan oleh mikroba dalam perut sapi, sehingga menghasilkan gas metana. Gas tersebut keluar saat sapi beserdawa, maupun melalui kotorannya.
Metana adalah gas rumah kaca yang paling berbahaya karena paling efektif memerangkap panas dibandingkan karbon dioksida (CO2). Walhasil, jika emisi gas metana semakin banyak, suhu Bumi bisa memanas lebih cepat.
Risiko kenaikan emisi gas metana seharusnya menjadi perhatian, bahkan sebelum pemerintah merencanakan impor sapi perah besar-besaran. Apalagi, Indonesia juga masih kelimpungan mengatasi emisi metana dari sektor sampah serta pembakaran bahan bakar fosil.
Di Indonesia, sektor peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca sebanyak 30.6 ribu gigagram setara CO2 (CO2e) pada 2022. Sebagian besar emisi peternakan berasal dari gas metana (CH4), diikuti oleh dinitrogen oksida (N2O). Emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan telah meningkat sebesar 50 persen dibandingkan 2000.
Selain itu, impor jutaan ekor sapi perah akan memerlukan lahan yang sangat luas untuk produksi pakan dan pengolahan kotoran ternak. Untuk memenuhi kebutuhan pakan 2,15 juta ekor sapi, Indonesia akan membutuhkan lahan sekitar 322.500 hektare. Angka tersebut berasal dari angka kebutuhan lahan sekitar 0.15 hektare per sapi perah untuk memproduksi kebutuhan rumput mereka sebanyak 30 kg per hari.
Apabila kurang dari itu, peternak perlu mengandalkan bahan pakan selain rumput yang berisiko menurunkan produksi susu sapi.
Baca juga: Sirkus dalam Debat Terakhir Cawapres 2024: Luber Gimik, Minim Misi dan Solusi Nyata
Risiko Pencemaran dari Peternakan
Selain memperparah pemanasan Bumi, maraknya sapi juga berpotensi menambah pencemaran. Pada 2019, pemerintah menyatakan peternakan sapi perah di Lembang sebagai salah satu penyumbang polusi di sungai Citarum, Jawa Barat.
Polusi akibat penumpukan kotoran ternak juga terjadi di negara lain, misalnya Cina. Pada 2016, pembangunan peternakan sapi perah dengan kapasitas 10 ribu ekor sapi menuai protes warga sekitar yang mengeluhkan polusi kotoran dan udara.
Polusi nitrogen pun turut menjadi masalah lingkungan utama di Eropa karena mengancam kualitas air dan udara. Pada 2022, Uni Eropa menyepakati batas maksimal polusi nitrogen, terutama di sektor pertanian dan peternakan.
Batasan tersebut mau tak mau bakal memangkas jumlah sapi perah di Belanda yang saat ini menjadi negara penghasil polusi nitrogen tertinggi di Eropa. Ini membuat Belanda harus mengurangi 40 persen populasi sapi perahnya .
Strategi yang Tepat
Indonesia tak boleh menyepelekan risiko polusi dan emisi dari program susu gratis. Peningkatan emisi dari sektor ini bisa menghalangi komitmen Indonesia untuk meredam emisi sektor peternakan sebanyak 32-43 persen pada 2030. Indonesia juga menandatangani Global Methane Pledge (GMP) 2021 untuk mengurangi emisi metana sebesar 30 persen pada akhir 2030.
Karena itulah, pemerintah sebaiknya mengaji ulang kelayakan program susu gratis. Apalagi, susu bukanlah sumber nutrisi yang umum: Hanya menyumbang 1,5 gram dari total 80 gram konsumsi protein harian per kapita secara nasional. Studi ilmuwan lintas negara pada 2021 justru menyarankan Indonesia melakukan diversifikasi pangan, salah satunya melalui pengembangan ikan dan makanan laut lainnya.
Namun, apabila pemerintah menginginkan program susu gratis tetap dilanjutkan, Indonesia setidaknya perlu melaksanakan beberapa strategi untuk mengurangi dampak lingkungannya.
Baca juga: Mengenal “Tobat Ekologi”, Istilah yang Dilempar Cak Imin Saat Debat Cawapres
1. Peningkatan produktivitas
Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah peningkatan produktivitas sapi yang ada melalui perbaikan pakan dan genetika sapi perah.
Saat ini, produksi susu sapi Indonesia hanya 1.653 kg per ekor per tahun. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata produksi susu sapi perah di Thailand (4,432 kg/ekor/tahun), dan Vietnam (3,621 kg/ekor/tahun).
Jika strategi peningkatan produktivitas ini dilaksanakan, pemerintah dapat meninggalkan fokus program peningkatan populasi sapi perah sebagai strategi utama meningkatkan produksi susu sapi nasional.
2. Pengendalian emisi metana
Strategi lainnya adalah pengendalian emisi metana melalui penggunaan pakan tanaman hijauan dan biji-bijian dengan nilai kecernaan yang lebih tinggi.
Pemerintah juga dapat memperbanyak penelitian seputar potensi pakan yang dapat meredam emisi metana dari sapi perah. Penelitian seputar hal tersebut sampai saat ini masih sangat terbatas di Indonesia. Pemerintah perlu mengalokasikan dana, mendukung investasi, dan kerja sama internasional untuk menambah riset dan pengembangan pakan sapi perah.
Selama studi teknis dan keekonomian berlangsung, pemerintah dapat memperbanyak pasokan produk suplemen sapi yang mengandung bahan aktif seperti tannin, saponin, dan 3-nitrooxypropanol (3-NOP) untuk mengurangi jumlah mikroba yang pembentuk gas metana dalam sistem pencernaan sapi. Selama ini, suplai produk suplemen tersebut masih sangat sedikit.
Pemerintah juga perlu meringankan beban ekonomi peternak untuk memberikan pakan tambahan. Pada umumnya, peternak akan ragu untuk memberikan pakan jenis baru pada ternaknya apabila biaya pakan meningkat dan ketiadaan jaminan produksi susu meningkat setelahnya.
3. Pemanfaatan kotoran sapi
Strategi berikutnya adalah pemanfaatan kotoran sapi perah untuk produksi biogas, kompos, dan pupuk. Sejauh ini, masih sedikit peternakan yang melaksanakan program biogas karena keterbatasan lahan dan kemampuan peternak dalam memelihara reaktor biogas. Pemanfaatan untuk kompos dan pupuk juga terhalang kendala teknis seperti ketersediaan tenaga kerja, akses lahan dan pasar.
Pemerintah perlu menyokong program biogas bersamaan dengan pelaksanaan program susu gratis. Biogas bisa menyokong ketahanan energi di kawasan peternakan, sekaligus mengurangi ketergantungan pupuk kimia di daerah pertanian. Strategi ini juga dapat mengurangi pencemaran amonia ke tanah maupun air, sekaligus meredam emisi metana ke atmosfer.
Titis Apdini, PhD Candidate of Animal Production Systems, Wageningen University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.