Politics & Society

Tak Apa Menjadi Bukan Siapa-Siapa

Mungkin saya menjadi lebih baik dengan menjadi seorang figuran pada cerita orang lain.

Avatar
  • December 19, 2019
  • 5 min read
  • 1779 Views
Tak Apa Menjadi Bukan Siapa-Siapa

Siapa sangka dimsum ayam bisa memberi dampak yang substansial pada sudut pandang saya sebagai manusia dan juga laki-laki. Saat dimsum ayam panas dengan saus pedas yang encer memasuki mulut saya, saya kemudian sadar bahwa tidak apa-apa jika kita tidak menjadi siapa-siapa.

Waktu itu saya menahan air mata untuk tidak berjatuhan. Saya tidak ingin orang-orang melihat sisi saya yang lemah ini. Saya harus terlihat kuat, atau setidaknya, begitu yang dikatakan oleh orang tua saya. Namun uluran tisu yang diberikan senior saya memecah dinding yang selama ini saya buat. Kata-katanya menusuk hati saya, dan akhirnya membuat saya menjadi manusia kembali. Sambil menepuk pundak saya secara perlahan, mereka memberi saya kehangatan dan tempat aman bagi saya.

 

 

Keluarin aja, Mips, jangan ditahan biar tenang semuanya.”

Sebenarnya itu kalimat yang sederhana. Sesederhana perkataan, “Ayo makan dulu.” Namun entah mengapa momen itu menjadi belati yang menusuk hati. Ini semua mungkin karena saya baru saja lulus dan belum ada kejelasan pasti tentang kehidupan. Sehingga saya merasa ekspektasi orang sekitar sedang mencekik saya secara perlahan. Sampai akhirnya saya terjerumus dengan pikiran-pikiran saya sendiri.

Maksud saya, siapa sih hari gini yang tidak dibebani oleh ekspektasi? Saya yang anaknya sok asik dan mencari pembenaran atas pemikiran yang saya pikirkan, mulai mencari alasan logis kenapa ekspektasi untuk menjadi “siapa” selalu membebani saya. Menurut Jeffrey Arnett, peneliti dan profesor psikologi di Universitas Clark, Massachusetts, mereka yang berumur 18 sampai 29 tahun ada dalam kelompok emerging adulthood. Demografi yang sangat spesifik ini memiliki karakteristik yang teramat menyedihkan namun menarik untuk diangkat sebagai objek penelitian. Ya, mereka adalah kita. Orang-orang yang setengah mati ingin menjadi mandiri dan berani menjelajahi kehidupan.

Dengan kata lain, mereka yang termasuk dalam populasi ini adalah mereka yang terpaksa meninggalkan posisi bergantung pada orang lain seperti saat masa kanak-kanak, namun belum siap untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya sebagai orang dewasa. Alhasil mereka harus siap mencoba berbagai macam pilihan dalam kehidupan.

Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?

Terdengar sangat familier sekali bukan? Ya, tentu saja. Soalnya kita berusaha sebisa mungkin untuk menjadi mandiri. Atau terlihat mandiri. Walaupun dalam hati kita masih ingin gegoleran di kasur tanpa harus memikirkan apa pun. Tapi nyatanya, kita merasakan keresahan dalam berbagai hal kehidupan. Seperti, Kapan punya pacar? Kapan bisa dapat pekerjaan yang stabil? Atau kapan jadi kaya agar bisa kasih makan kucing kesayangan dengan Royal Canin? Ketidaksiapan dan keterpaksaan itulah yang seakan-akan membuat kita seperti didorong ke lubang tanpa dasar.

Ditambah lagi, banyak dari anggota kelompok emerging adulthood memiliki sedikit atau sama sekali tidak punya support system yang baik. Namun mereka dibebani oleh ekspektasi yang besar dari lingkungan sekitar dan dirinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Benbenishty and Schiff (2009), yang kemudian disadur oleh Yafit Sulamani-Aidan (2016) dalam artikel berjudul Future Expectations as a Source of Resilience among Young People Leaving Care, menyatakan, ekspektasi masa depan membuat para emerging adulthood merasa tertekan, termasuk ketika dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru. Hal ini tentu saja disebabkan atas tidak adanya bekal yang cukup secara mental dan sistem pendukung sosial yang baik.

Artikel yang sama juga menitikberatkan bagaimana seorang emerging adulthood mencoba untuk menavigasi ekspektasi dan kehidupannya dengan berbagai cara. Untuk saya, salah satu coping mechanism saya adalah dengan main games dan trolling orang di grup obrolan yang saya ikuti.

Atau sebut saja, Mas Andre, teman sepermainan saya, yang mempunyai coping mechanism dengan mengikuti aplikasi kencan dan anonim seperti Tinder, OkCupid, dan Whisper untuk mencari tambatan hati (atau teman bobo semalam).

Mereka yang memiliki dan dibebani oleh ekspektasi tinggi, biasanya memiliki kelemahan dalam prestasi akademik dan kesehatan mental. Sedangkan mereka yang mempunyai pemikiran optimis tentang masa depan menghasilkan opini positif terhadap ekspektasi masa depan.

Baca juga: Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Lalu saya jadi berpikir, ya kan, tentang bagaimana pemikiran optimis dibentuk bagi emerging adulthood ini. Dengan harapan saya ingin mempunyai sudut pandang positif yang akan menghasilkan dampak baik terhadap masa depan saya.

Ternyata dalam penelitian lain yang juga disadur oleh Yafit, pandangan optimis itu lahir dari adanya sistem pendukung dan akses untuk pengembangan diri. Lagi-lagi intinya adalah memiliki sistem pendukung yang baik. Dengan kata lain, seharusnya ekspektasi ada diiringi dengan sistem pendukung yang baik dalam segi sosial maupun fasilitas.

Nyatanya dari berbagai banyak riset yang mencoba mencari pembenaran atas hipotesis tentang kehidupan, saya menyimpulkan bahwa tak ada orang yang siap menghadapi hidup. Bahkan walaupun memiliki sistem dukungan yang baik, ekspektasi tetaplah ekspektasi yang mencekik jika hanya untuk memenuhi harapan masyarakat. Dan bagi orang seperti saya yang terlalu gemar berpikir hingga menjadi toksik, ekspektasi bisa menjadi racun yang bisa membunuh diri saya secara perlahan. Padahal, ekspektasi lahir karena adanya harapan dan harapan timbul karena adanya keinginan untuk menjadi lebih baik.

Lantas apakah saya tidak ingin menjadi lebih baik?

Tentu saja saya ingin menjadi orang yang lebih baik lagi. Tapi mungkin bukan dengan memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitar saya yang menginginkan saya menjadi siapa-siapa.

Mungkin saya akan lebih baik dengan menjadi seorang figuran pada cerita orang lain. Orang yang hanya sekadar lewat untuk memberi tahu si pemeran utama jalan mana yang benar. Mungkin dengan seperti itu saya akan menjadi lebih bahagia dan lebih baik. Tak ada yang tahu, karena hidup bukan perihal salah dan benar. Tapi menurut saya hidup adalah perihal memaknai dan mengapresiasi diri sendiri.

Bersenang-senanglah, kawan. Menjadi bukan siapa-siapa kadang lebih menyenangkan daripada menjadi siapa-siapa!



#waveforequality


Avatar
About Author

Miftaahul J

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *