Tatung Pontianak: Ritual Spiritual yang Rangkul Perbedaan
Meski tak ada parade khusus Tatung di Cap Go Meh Pontianak 2025, eksistensi mereka tetap menjadi simbol inklusi dan keberagaman.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Cap Go Meh 2025 di Pontianak, Kalimantan Barat kembali meniadakan parade Tatung. Alasannya, panitia ingin menonjolkan ciri khas kota yang lekat dengan atraksi Naga Bersinar. Sebanyak 39 replika naga panjang beraneka warna dengan kerlap-kerlip lampu, bakal diarak pada (12/2) malam, dikutip dari Instagram resmi @capgomehpontianak.
Meski begitu, Magdalene berkesempatan melihat langsung atraksi Tatung dalam ritual pencucian jalan dan sembahyang di sejumlah kelenteng Pontianak. Salah satunya dilakukan kelompok Tatung dari Lima Seni Batu Emas. Pada (11/2), sepuluh tatung dari kelompok ini menyambangi Kelenteng Kwan Tie Bio, Kelenteng Ma Zhu, dan Kham Tian Tai Ti.
“Tujuannya adalah memohon izin pada dewa-dewa agar diberikan kelancaran di puncak perayaan Cap Go Meh atau hari-15 Imlek. Selain itu juga untuk membersihkan diri dari roh jahat dan aura negatif,” tutur Joni, 42, penasihat Lima Seni Batu Emas.

Saat sembahyang, para Tatung—sebagian mengecat wajahnya hitam dan merah—mengenakan baju jubah merah, kuning, dan putih dengan sulaman khas Tionghoa. Mereka menyalakan hio lalu duduk khidmat sebelum memasuki kondisi trans (trance) alias tidak sadarkan diri.
Tak berselang lama, satu per satu mulai dirasuki arwah leluhur dan dewa-dewa. Mereka melompat, berputar, dan menghentakkan kaki dengan ritme tertentu. Diiringi lonceng atau cambuk dari suhu atau pendeta yang mendampingi gerak-geriknya, Tatung memberikan jimat berisi mantra keberuntungan, perlindungan dari roh jahat, atau penyembuhan yang sebelumnya telah diberkati.
Selain itu, Tatung dari Lima Seni Batu Emas juga menunjukkan kebolehannya mengiris tangan, leher, lidah dengan mandau, pisau, atau gergaji. Sebagian lainnya menginjakkan kaki di atas benda tajam yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tak ada darah mengucur, mereka kebal senjata.
Melukai diri dengan benda-benda tajam dalam tradisi Tionghoa adalah simbol keberanian dan spiritualitas tingkat tinggi. Cara ini juga dianggap sebagai jalan menuju keseimbangan dengan mengusir energi negatif yang kerap mengusik komunitas.
Kita memang takkan melihat atraksi Tatung yang menusuk wajahnya dengan paku tajam hingga tembus ke bagian pipi atau lidah seperti di Singkawang. Kita juga tak menyaksikan aksi ekstrem ala Dangki (童乩) atau Wufu Dangki (五福童乩) ala Taiwan yang menggunakan pedang besar, trisula, dan cambuk besi hingga berdarah-darah sebagai tanda kesucian dan berkah.
“Tapi yang terpenting ritual ini tak kehilangan esensinya. Kami ingin menunjukkan sisi humanis Tatung di Pontianak,” ungkap Joni lagi.

Baca juga: Memori Etnis Tionghoa Aceh: 20 Tahun Tsunami di Aceh
Tatung, Perkawinan Budaya, dan Keberagaman
Tatung bisa dimaknai sebagai “orang yang kerasukan roh”. “Dalam Taoisme, Tatung berfungsi sebagai medium antara dunia manusia dan roh leluhur. “Tatung juga sering kali diminta untuk menyembuhkan penyakit,” ucap Joni. Pernyataan Joni ada benarnya. Sejarah penyembuhan penyakit oleh Tatung ratusan tahun lalu dimulai ketika kemiskinan masih membelenggu warga Tionghoa sejak era kolonialisme, sehingga tenaga medis jadi tak bisa diakses.
Liputan Kompas (2020) mengurai, penyembuhan penyakit itu bermula saat kawasan Monterado dilanda wabah, sehingga harus dilakukan penyucian kota atau tolak bala. Ritual ini dilakukan dengan mengarak tatung Tionghoa dan Dayak hingga wabah di kota musnah. Tradisinya bertahan ratusan tahun saban perayaan Cap Go Meh, khususnya di Singkawang.
Di Pontianak, mirip seperti Singkawang, menurut Dr. Haris Sunarto, Antropolog Budaya dari Universitas Indonesia, Tatung dipengaruhi Buddhisme dan animisme Dayak sejak medio 1700-an. Budha tampak dalam doa-doa yang dipanjatkan, sedangkan animisme diwakili dengan penggunaan sesajen dan roh penjaga yang merasuki Tatung, dikutip dari “Tatung: Mistisisme dan Akulturasi dalam Budaya Tionghoa di Kalimantan Barat” (2020). Liputan Kompas juga menyebut akulturasi atau perkawinan budaya juga terjadi lewat perkawinan Tionghoa-Dayak, bahkan dengan etnis Melayu di Pontianak.

Akulturasi lain juga sebenarnya tergambar dari busana yang Tatung kenakan. Mereka mengenakan kepala berbulu burung Enggang, manik-manik khas Dayak, hingga mandau. Beberapa Tatung juga menari seperti orang Dayak sebelum memasuki kondisi trans. Ini semua mencerminkan penghormatan akan tradisi lokal dan perayaan akan keberagaman.
Perayaan akan keberagaman ini juga tampak dari maraknya partisipasi orang-orang di luar komunitas Non-Tionghoa. Rifah, 30, warga Pontianak sengaja menyaksikan atraksi dan sembahyang Tatung di Kelenteng Kwan Tie Bio pada (11/2). Ia bilang, menonton Tatung adalah hiburan sekaligus tanda toleransi dia terhadap masyarakat Tionghoa.
“Enggak sengaja lewat depan kelenteng dan lihat Tatung. Saya rutin menonton aksi mereka setiap Cap Go Meh,” ujarnya sembari memvideokan aksi Tatung.
Joni sendiri menyebut, toleransi tergambar dari dukungan umat Muslim yang mengamankan tempat parkir, logistik, dan menjaga keamanan selama rangkaian ritual berlangsung di kelenteng-kelenteng. “Ini semua menandakan kalau tradisi Tatung adalah milik kita semua, warga Pontianak. Semua harmonis,” tandas Joni.
Bahkan, salah satu Tatung, Jony—punya nama yang mirip dengan Joni, penasihat kelompok—menjelaskan, Tatung tak cuma berasal dari warga Tionghoa tapi juga Dayak, Melayu, Muslim, Kristen, Budha. Roh-roh yang merasuki Tatung pun tak melulu dari kepercayaan Budha atau Taoisme. Ada juga roh panglima perang Melayu beragama Muslim.
“Saya pernah kerasukan roh Daeng Muslim, dan harus melaksanakan salat serta berpuasa,” ungkap pria berusia 46 tahun itu pada Magdalene.

Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia
Tatung Perempuan juga Diakui
Saat Tatung beraksi di kelenteng kemarin, tampak juga sejumlah perempuan di sana. Ini adalah pemandangan relatif baru yang muncul sejak dua dekade terakhir di Pontianak. Meski tak ada data resmi jumlah Tatung di kota tersebut, tapi diperkirakan angkanya merangkak naik. Di kelompok Lima Seni Batu Emas, jumlah Tatung perempuan ada lima dari total sepuluh orang. Keberadaan perempuan mendobrak stigma bahwa Tatung haruslah lelaki yang maskulin dan punya kekuatan fisik dan spiritual. Perempuan pun bisa terlibat.
Kami mengobrol dengan Elis, 42, salah satu Tatung perempuan yang baru berpartisipasi di Cap Go Meh Pontianak tahun ini. Ia bercerita, dorongan batin menjadi Tatung memang diturunkan dan ia telah mengetahui sejak usianya 18 tahun. Namun, pekerjaannya sebagai penerjemah Bahasa Mandarin membuat ia tak bisa terlibat penuh lantaran harus berpindah-pindah negara dari China, Malaysia, hingga Taiwan.
“Lagipula saat itu saya masih belum bisa menerima dengan takdir (dipilih leluhur jadi Tatung). Enggak bisa menolak kalau enggak mau kena bala. Barulah saat saya bisa membantu menyembuhkan Ibu yang sakit, tekad jadi Tatung semakin tak terbendung,” kata dia.

Saat punya kesempatan mudik dari tempat kerjanya di Sulawesi Tengah, Elis lantas mengikuti ritual Tatung dengan persiapan fisik dan mental yang matang. Tak ada bedanya dengan Tatung lelaki seperti Jony, Elis juga harus berpuasa selama 3-4 hari, dari puasa putih (cuma makan nasi dan air putih) dan menjadi vegetarian (tidak mengonsumsi daging). Lalu pagi hari sebelum sembahyang dimulai pada (11/2), ia mandi kembang untuk penyucian diri dan meditasi.
Menurut Dr. Wang Mei Yun, akademisi dan peneliti budaya Tionghoa di Universitas Tanjungpura, keterlibatan perempuan dalam tradisi Tatung mencerminkan perubahan sosial masyarakat Pontianak yang jadi jauh lebih toleran.
Dalam risetnya bertajuk “Gender dan Tradisi Tatung: Perubahan Sosial di Masyarakat Tionghoa Indonesia” (2020) disebutkan, “Tradisi Tatung yang semula didominasi laki-laki kini mulai menerima partisipasi perempuan. Ini adalah simbol dari keberanian perempuan untuk menegaskan peran mereka dalam melestarikan budaya.”
Perubahan ini tak cuma di Pontianak tapi juga di sejumlah kota lain termasuk Singkawang dan Semarang. Dalam riset yang diterbitkan di Jurnal Budaya Tionghoa Indonesia itu, Dr. Wang bilang, ini adalah upaya komunitas Tionghoa untuk mempertahankan tradisi dengan lebih terbuka dan inklusif terhadap perempuan.
Magdalene meluncurkan series liputan tentang Cap Go Meh 2025 di Pontianak. Simak artikel lainnya di laman ini.
