‘The Half of It’: Bukan Kisah Cinta yang Diidamkan Semua Orang
‘The Half of It’ film yang menyentuh tentang pergulatan seorang remaja perempuan dengan seksualitasnya.
Maeve Wiley dalam serial Sex Education dan Ellie Chu dalam film The Half of It (keduanya ditayangkan Netflix) sama-sama merupakan karakter remaja perempuan yang berotak brilian. Di saat teman-teman sebayanya sibuk berpesta dan berkencan, Wiley sudah berkutat dengan filsafat klasik dan teori eksistensialisme, demikian juga dengan Chu.
Keduanya sama-sama kehilangan figur orang tua: Wiley ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil, sementara Chu harus mengurusi ayahnya yang seolah kehilangan gairah hidup setelah kematian sang ibu. Baik Wiley dan Chu mengais rezeki dari mengerjakan tugas sekolah teman-temannya yang tak secerdas dan serajin mereka.
Meski beberapa kisah Wiley mirip dengan kegelisahan saya, tapi karakternya yang pemberontak dan tidak punya ketakutan untuk menjadi dirinya sendiri kurang relatable buat saya. Dalam kehidupan nyata, ada norma sosial, kungkungan keluarga, dan aturan agama yang sering membelenggu jati diri kita. Hal ini yang membuat saya sulit terwakili oleh karakter Wiley.
Kesenjangan itu berhasil diisi oleh The Half of It, yang menampilkan bagaimana Chu sebisa mungkin menyembunyikan identitasnya karena takut akan penghakiman sosial. Ia merupakan minoritas ganda: Perempuan, keluarga imigran, miskin, dan lesbian. Perisakan kerap diterimanya, setiap hari diteriaki Chugga chugga Chu Chu oleh cowok-cowok resek di sekolahnya.
Jika Wiley selalu tampil eksentrik dengan rambut pink, jaket kulit, dan rok pendek, penampilan Chu sangat vanila (dan sedikit stereotipikal lesbian) dengan celana jin, kaos, kemeja, dan jaket.
Baca juga: Kenapa ‘Portrait of a Lady on Fire’ Tak Akan Tayang di Indonesia
The Half of It sendiri mengisahkan kehidupan Chu (Leah Lewis), anak SMA di kota kecil bernama Squahamish. Kehidupan percintaan tidaklah penting bagi Chu, sampai ia dimintai tolong teman sekolah sekaligus tetangganya, Paul Munsky (Daniel Diemer), yang jatuh cinta pada siswi paling populer di sekolah, Aster Flores (Alexxis Lemire). Munsky menawari Chu proyek untuk menjadi joki surat cinta bagi Flores.
Awalnya Chu menolak permintaan Munsky, namun karena ia membutuhkan uang untuk membayar tunggakan tagihan listrik, ia pun mengiyakan tawaran Musky dengan menaikkan tarifnya sekali menulis surat. Ada alasan lain: Chu sebetulnya juga jatuh hati kepada Flores, yang satu kelompok ekskul musik dengannya dan memiliki minat yang sama soal buku dan film.
Menarik melihat chemistry yang terbangun antara Chu, si anak pintar yang lempeng, dan Munsky, tipikal atlet yang rada bloon. Karakter-karakter para remaja ini tampak tiga dimensi, termasuk Flores yang memiliki kerapuhan meski dia pintar, cantik, dan punya pacar ganteng (tapi super narsis).
Squahamish digambarkan sebagai desa dengan masyarakat yang religius dan rajin ke gereja, sedangkan Chu yang tidak percaya pada Tuhan hanya ke gereja karena bertugas sebagai pemain piano. Soal agama pula yang menimbulkan konflik di antara Munsky dan Chu kemudian.
Baca juga: ‘Miss Americana’ Tampilkan Sisi Gelap Kehidupan Taylor Swift
Saya lantas membayangkan berada di posisi Chu, betapa sulitnya bagi mereka dengan seksualitas berbeda bahkan untuk menjadi dirinya sendiri. Ketakutan Chu akan dianggap sebagai pendosa dan hina oleh semua orang mungkin sudah jadi pergumulannya sejak lama. Hal itu pula yang menjadikan Chu lebih memilih menjadi ateis ketimbang hidup dalam rasa bersalah setiap waktu.
Sayangnya, klimaks film terlalu klise dan didramatisasi. Bagaimana momen lamaran terhadap Flores oleh pacarnya di dalam kebaktian di gereja dipotong teriakan Chu dari tempat piano di balkon. Untungnya pernyataan Chu cukup penting sehingga adegan ini dimaafkan:
“Love is messy, horrible, selfish, and bold. it’s not finding your perfect half. it’s trying, reaching, faiing, being willing to ruin your good painting for the chance of a great one.”
Benar sekali. Selama ini kita selalu mendefinisikan cinta sebatas hal-hal indah seperti kesabaran, kebaikan, dan penerimaan. Bagi mereka yang “berbeda” seperti Chu, mencintai seseorang tidak semudah dan sesederhana itu.
Jalan terjal antara pergumulan dengan identitas dirinya dan ketakutan akan penghakiman menjadi hal sulit yang harus dilalui. Banyak orang yang harus melewati fase buruk terlebih dahulu untuk berani mencintai seseorang. Tapi seperti yang dikatakan Chu, love is selfish. Terkadang untuk mencintai, kita harus belajar menjadi egois dan tidak melulu memikirkan hukum sosial normatif, atau ekspektasi orang lain yang terus mendikte kita agar tidak menjadi diri sendiri.