Gender & Sexuality

Apa itu ‘Thirst Trap’: Ketika Selfie Amanda Zahra Jadi Kontroversi

‘Thirst trap’ adalah istilah yang kerap digunakan untuk mengobjektifikasi perempuan.

Avatar
  • October 26, 2022
  • 5 min read
  • 8070 Views
Apa itu ‘Thirst Trap’: Ketika Selfie Amanda Zahra Jadi Kontroversi

Familier dengan thirst trap? Istilah ini belakangan banyak dibicarakan warganet Indonesia. Semua bermula saat Amanda Zahra mengunggah foto selfie di akun Twitternya pada (17/10). Dalam foto tersebut, ia menggunakan kemeja dan celana pendek matching berwarna biru. Foto Amanda meraup banyak likes dan retweet.

Kemudian, Amanda kembali mengunggah foto selfie lagi pada (21/10). Quote tweet dan repliesnya dipenuhi oleh pujian cantik. Ia bahkan sampai disandingkan dengan karakter One Piece, Robin. “Cewek spek anime”.

 

 

Meski begitu, selfie Amanda juga banjir hujatan karena dianggap terlalu vulgar. Akun @serbasendiri mencuit pose yang Amanda lakukan layaknya pekerja seks yang sedang Open Booking Out (BO) Amanda sampai disarankan untuk pergi ke psikolog.

Sementara, mereka yang mendukung Amanda bilang, selfie itu harmless. Apalagi diunggah dengan intensi untuk thirst trap yang kemudian diverifikasi sendiri dalam cuitannya.

“Wdym validation girl I know I’m sexc

Baca Juga: Objektifikasi Seksual Perempuan: Kaset Lama yang Terus Diputar Media

Thirst Trap adalah Ketika Foto Diunggah untuk Tarik Perhatian

Dalam budaya bermedia sosial atau secara spesifik budaya selfie, istilah thirst trap telah digunakan dalam satu dekade terakhir. Dilansir dari The Cut, istilah itu pertama kali didefinisikan oleh Urban Dictionary pada 2011. Ini mengacu pada konten yang diunggah untuk menarik perhatian atau ‘thirst’ dalam konotasi seksual. Konten ini umumnya terdiri foto atau video yang disebarkan lewat media sosial, biasanya Twitter dan Instagram.

Trap sendiri menegaskan ada kesengajaan dari pengunggahnya untuk menjebak mereka yang punya frustasi seksual. Karena itu, teknik pengambilan gambar thirst trap kerap difokuskan pada bagian tubuh tertentu seperti belahan dada, otot perut, atau bokong.

Walaupun istilah thirst trap baru digunakan satu dekade ini, metodenya telah dipakai sejak 400 SM. Dalam Lithium Magazine dituliskan, metode thirst trap terlihat dari pahatan patung-patung telanjang yang dipamerkan di acara-acara publik untuk menarik perhatian.

Namun, apakah benar motivasi thirst trap selamanya hanya untuk menarik perhatian saja? Ternyata tidak. Graham Isador dalam tulisannya di Vice bilang, beberapa orang mengunggah konten thirst trap karena memang sengaja mencari likes dan komentar di media sosial. Thirst trap adalah cara mereka mencari validasi dan menumbuhkan rasa percaya diri. Apalagi buat mereka yang baru putus cinta.

Ada juga yang mengunggah thirst trap untuk dapat membantu personal branding mereka. Elias Theodorou, Professional MMA Fighter adalah salah satunya. Thirst trap jadi cara Theodorou untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Jauh dari definisi awalnya yang berkonotasi seksual, thirst trap ternyata banyak dilakukan perempuan untuk merangkul seksualitas mereka. Bahkan ini jadi cara mereka untuk mencintai diri tubuh mereka sendiri. Tubuh yang selama ini kerap dibenci perempuan karena standar publik.

Baca Juga: Media, Stop Objektifikasi dan Seksualisasi Anak Perempuan

Logika Misogini dalam Istilah Thirst Trap

Motivasi thirst trap memang beragam dan tak semua berkonotasi seksual. Namun, definisi dan pemahaman umum thirst trap di masyarakat sayangnya mengaburkan motivasi beragam dari pengunggahnya. Nahasnya, perempuan lebih sering jadi korban dalam hal ini. Itu tampak dari perbedaan tanggapan publik terhadap thirst trap yang diunggah laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki mengunggah thirst trap, mereka akan dipuji. Sebaliknya, perempuan justru akan mengalami slut-shaming.

Stephanie Leguichard dalam tulisannya di Ms., majalah daring yang dikelola NGO Feminist Majority Foundation menjelaskan soal ini. Dalam hematnya, perbedaan tanggapan hadir karena thirst trap melanggengkan logika misogini, di mana perempuan jadi objek seksual. Karena itu, tubuh perempuan tidak pernah netral, serta akan terus diobjektifikasi secara berlebihan oleh masyarakat.

Terlkait objektifikasi seksual ini, Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949) berkomentar, tubuh perempuan selalu dianggap provokatif bagi laki-laki. Itu dipandang sebagai tempat dosa dan tidak suci. Ketika perempuan dianggap menjadi sumber dosa, maka mereka bakal terus diposisikan sebagai target dan penggoda.  

Dengan demikian, istilah ini juga jadi contoh yang bagus tentang bagaimana budaya pemerkosaan dilestarikan melalui bahasa. Ketika thirst trap memakai logika misogini, perempuan yang menunjukkan tubuhnya secara otomatis dipandang sengaja mengundang respons seksual laki-laki.

Kesengajaan ini dalam budaya pemerkosaan dipandang sebagai konsen laki-laki untuk melecehkan perempuan. Akibatnya, perempuan pun rentan mengalami objektifikasi dan slut-shaming. Apalagi buat perempuan yang memutuskan tidak menjaga sikap dan tubuhnya sesuai dengan batasan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Setidaknya itu yang diungkapkan Kate Farrar, wakil presiden program kepemimpinan kampus di American Association of University Women dalam Time.

Hal yang kemudian disayangkan adalah baik laki-laki maupun perempuan punya peran sama dalam melanggengkannya. Studi yang Demos liris pada 2014 adalah salah satu contohnya. Dengan mendata cuitan yang menggunakan kata-kata “rape,” “whore,” dan “slut“, studi ini menemukan akun dengan nama laki-laki dan perempuan sama-sama punya peran besar dalam melanggengkan misogini online. Sekitar 12 persen tweet yang berisi kata “rape” dan 20 persen yang berisi “whore” atau “slut“, ancaman atau penghinaan langsung.

Baca juga: Kontroversi Zavilda TV dan 4 Pelajaran yang Bisa Kita Ambil

Paling mengejutkan adalah perempuan menggunakan kata-kata dengan intensi yang ofensif, seperti halnya laki-laki. Demos menemukan nama laki-laki menggunakan salah satu kata ini sebanyak 116.530 kali, sedangkan akun dengan nama perempuan melakukannya sebanyak 94.546 kali.

Pada akhirnya, perempuan akan terus dihakimi atas apa yang mereka lakukan. Siklus ini akan terus ada setidaknya selama logika misogini masih langgeng. Ironinya, kadang perempuan juga punya peran melanggengkan logika tersebut. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *