Issues

Kontroversi Zavilda TV dan 4 Pelajaran yang Bisa Kita Ambil

Konten pemaksaan jilbab Zavilda TV membuat kita belajar, dari toleransi agama hingga otoritas tubuh perempuan.

Avatar
  • August 31, 2022
  • 8 min read
  • 610 Views
Kontroversi Zavilda TV dan 4 Pelajaran yang Bisa Kita Ambil

“Ungu” duduk sendirian di bangku jalan Malioboro, Yogyakarta malam itu. Tak lama, perempuan bercadar dari kanal Youtube Zavilda TV menghampirinya. “Boleh izin tutup auratnya enggak, Kak,“ tanya kru Zavilda TV.

Sang perempuan yang ditanya spontan menolak, tak nyaman, dan sempat berdiri menjauhi Zavilda TV. Namun, Zavilda TV tampaknya tak patah arang, ia menceramahi Ungu dengan dalil dan pelajaran agama, kebaikan Tuhan, tak lupa dibumbui stigma perempuan berpakaian terbuka.

 

 

Zavilda TV tak peduli apa agama yang dianut oleh Ungu. Ia bahkan memojokkan Ungu, seolah dirinya adalah pendosa berat karena ogah menutup auratnya. “Allah akan menerima hamba-hamba-Nya sependosa apa pun. Allah udah baik banget sama Mbak. Mbak udah jahat banget, udah ingkar, udah berdosa banyak banget sama kaya saya pendosa.”

Adegan itu bisa kita lihat dalam video bertajuk “Cewe S3xy Mirip Via Vallen Pakai Hijab & Cadar, Kok Nangis?” di Youtube Zavilda TV, yang sempat dibagikan ulang lewat Twitter oleg akun @littlevixen, (26/8).

Banyak warganet mengecam tindakan Zavilda yang terlewat batas, apalagi jika semua ini dilakukan demi viralitas belaka. Ini mengingat konten-konten di Youtubenya yang ternyata

sebelas dua belas. Ajakan untuk memblokir akunnya pun jadi kian massif, termasuk ajakan dari Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis feminis muslim.

Viralnya kasus Zavilda ini kemudian jadi pembelajaran kita semua. Setidaknya ada empat pembelajaran yang bisa kita petik bersama dan jadi bahan refleksi.

Sumber: Youtube Zavilda TV

 

Baca Juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

1. Agama Ada untuk Menebarkan Kasih Sayang, Bukan Teror

Saat nama Zavilda jadi buah bibir, hampir semua orang jengah dengan perilaku yang mudah menghakimi orang lain. Ia selalu memosisikan dirinya sebagai “si paling suci” dan “si paling bertobat” ketika berbicara dengan lawan bicaranya, sembari memaksa perempuan berjilbab.

Tak lupa ia bubuhkan caption dengan ukuran cukup besar berwarna kuning yang berbunyi, “Astagfirullah lebih terbiasa sexy”. Dari sini, ia tampak mengukuhkan posisi lawan bicaranya sebagai seseorang yang paling berdosa dan butuh diluruskan.

Terlepas dari apakah yang ia lakukan settingan (dia akhirnya membuat video klarifikasi pada 30 Agustus lalu), apa yang telah Zavilda lakukan jelas adalah kesalahan fatal yang sayangnya masih banyak dinormalisasi.

Fenomena mabuk agama adalah jadi penjelasan di balik tindakannya ini. Musdah Mulia, profesor fikih Islam dalam wawancaranya bersama Magdalene pada 2020 bilang, terlalu banyak orang di masyarakat kita yang menempatkan diri sebagai Tuhan. Banyak Muslim di Indonesia mudah menghakimi dan memosisikan dirinya yang paling benar beragama, sehingga layak menasihati bahkan “memaksa” orang lain untuk sepemaham dengannya.

Dalam konteks Zavilda yang mengklaim dirinya content creator cum pendakwah, ia merasa punya otoritas untuk menyetir perjalanan spiritualitas seseorang. Apalagi dengan doktrin-doktrin tentang bagaimana seorang Muslim menasihati Muslim lainnya untuk berbuat kebaikan.

Zavilda lupa, beragama adalah perjalanan spiritualitas yang bersifat eksklusif. Artinya, ia hadir dalam relasi dua arah antara satu individu dengan Tuhannya, sehingga hanya bisa dilakukan oleh individu terkait. Karena itu, pengetahuan beragama seseorang juga sifatnya unik. Tak bisa disamakan oleh satu dengan lainnya.

Ia juga tak sadar, dengan membuat konten memaksa sesorang menutup aurat, ia telah mengukuhkan paradigma agama dalam tubuh masyarakat. Bahwasanya agama itu secara esensi tak didasari atas rasa takut. Padahal menurut Musdah, agama itu ada untuk membawa ketentraman karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemberi. Seharusnya sifat-sifat Tuhan inilah yang ditanamkan terlebih dahulu dalam diri kita, sehingga takkan ada stigma dan prasangka.

“Hanya Tuhan yang berhak menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, beriman atau tidak. Sebelum kita mencurigai orang lain, kita harus terlebih dahulu menerima mereka apa adanya,” ucap Musdah.

Baca Juga: Berjilbab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

2. Objektifikasi Perempuan, Kaset Lama yang Diputar Ulang

Satu hal yang tak lepas dari perbincangan konten Zavilda adalah bagaimana ia selalu mengobjektifikasi tubuh perempuan sebagai barang “dagangan”. Dengan menampilkan thumbnail yang fokus pada tubuh molek perempuan yang tak berjilbab dan dibumbui kata “sexy”, Zavilda bersama suaminya, orang di balik thumbnail ini, telah memperlakukan perempuan sebagai komoditas atau objek tanpa memerhatikan kepribadian, agensi, atau martabat mereka.

Walau belakangan Zavilda mengakui ia menanyakan persetujuan atas perempuan yang ia paksa gunakan jilbab ini, tak bisa dimungkiri perempuan direduksi hanya lewat ketubuhan mereka saja. Simone de Beauvoir, feminis terkemuka dalam bukunya The Second Sex (1949) pernah menjelaskan objektivitas terhadap tubuh perempuan lahir, karena tubuh perempuan dipandang secara bersamaan sebagai tempat dosa dan kebajikan.

 Melalui seksisme, perempuan dalam masyarakat patriarkal diposisikan sebagai penjaga gerbang seksualitas dan penjaga moralitas masyarakat, sehingga mereka pula yang bertanggung jawab untuk membatasi ekspresi seksual. Bagaimana masyarakat mendikte perempuan dalam berpakaian dan bersikap benar adalah cara untuk memastikan perempuan dalam kontrol maskulin.

Pernyataan dari Beauvoir pun senada dengan temuan penelitian What drives female objectification? An investigation of appearance-based interpersonal perceptions and the objectification of women (2019). Penelitian yang melibatkan 1.679 orang ini menemukan bahwa individu yang memiliki sikap seksis lebih cenderung memiliki persepsi kalau perempuan adalah kelompok dengan kapasitas mental dan status moral yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Akibatnya, objektifikasi bahkan seksualisasi terhadap perempuan tak terhindari bahkan dijustifikasi. Zavilda layaknya content creator media sosial lain seperti akun-akun kampus mahasiswa cantik adalah bukti bagaimana perempuan, apalagi yang dianggap tak bisa jaga “moralitas”nya diperlakukan semena-mena. Ini jadi budaya yang mengakar dan pada gilirannya menciptakan ketimpangan gender yang lebih luas lagi dalam tubuh masyarakat.

Baca Juga: Larangan Berjilbab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah

3. Toleransi Beragama dan Pola Pikir Biner

“Sebelumnya mau nanya, Kak. Agamanya apa ya?” tanya Zavilda dalam cuplikan videonya. Perempuan sebut saja Biru yang sedang duduk bersama pacarnya kemudian menjawab ia adalah non-muslim.

Buat orang yang cukup empatik, jawaban Biru jadi pertanda  kita tak punya hak untuk memaksanya memakai jilbab, atribut agama Islam. Namun, Zavilda justru melakukan sebaliknya. Ia berkali-kali berusaha “mengajak”, Biru untuk memakai jilbab. Alasan toleransi katanya.

Sikap Zavilda ini tentu jadi perdebatan. Zavilda nampaknya kesulitan memahami apa arti sesungguhnya dari toleransi beragama. Sebaliknya, ia menjadikannya celah untuk membentuk persepsi penonton, Islam adalah sebaik-baiknya agama yang ada di Bumi.

Perlu diingat toleransi beragama mengacu pada suatu sikap menghormati dan menghargai kelompok-kelompok agama lain dengan melarang diskriminasi. Sikap toleransi beragama ini bahkan telah telah jelas tercatat dalam surat Al-Kafirun ayat ke-6 yang berbunyi lakum dīnukum wa liya dīn.

Artinya: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Dari surat ini, Zavilda yang seorang Muslim sudah sepatutnya mengetahui hal ini dan tidak memaksakan atribut agamanya pada orang lain yang berbeda keyakinan. Apalagi menyebarkan agenda tentang Islam sebagai satu-satunya agama yang layak dianut oleh manusia.

Hal yang tak kalah penting dibahas dari aksi “toleransi”nya ini adalah keenganan Biru mengucap apa sebenarnya agama yang ia anut. Setelah kita tahu video Zavilda adalah settingan yang melibatkan script, jelas sekali terlihat ada hegemoni agama dalam masyarakat Indonesia.

Penggunaan istilah non-Muslim jelas memperlihatkan pola pikir masyarakat Indonesia tentang kepercayaan yang diakui secara sosial budaya yang bersifat biner. Bahwasanya di Indonesia hanya ada agama Islam dan agama selain Islam. Islam diakui sebagai agama mayoritas dan jadi identitas unik negara ini.

Sementara, agama selain Islam seperti Hindu, Katolik, Kristen, Budha, Konghucu, dan lain-lain dianggap liyan yang tak memiliki identitas jelas yang melekat. Ini jelas bisa jadi masalah. Dilansir dari artikel fahmina institute, pola pikir biner ini bisa mengarahkan orang pada fanatisme beragama yang bisa mempersempit cara bersikap kita terkait perbedaan.

Pun, ini mampu menciptakan pemikiran fundamentalis sampai akhirnya mengakibatkan aksi anarkisme atau ekstremis berlandaskan agama. Maka kita butuh paham kita sedang dalam ambang krisis toleransi agama dan butuh memperbaiki pola pikir biner kita tentang kepercayaan.

4. Otoritas Tubuh Perempuan yang Direbut Paksa

Hal terakhir yang patut dijadikan pembelajaran dari kasus Zavilda ini adalah tentang otoritas tubuh perempuan yang direbut. Gabriella Devi Benedicta dalam penelitiannya bertajuk Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh (2011) menjelaskan setiap tubuh yang ada adalah milik individu bukan milik kelompok atau orang lain. Maka yang berhak untuk mengaturnya adalah diri kita sendiri. Namun sayangnya, tubuh perempuan seringkali dijadikan objek dan dikekang.

Pasalnya, perempuan dijadikan lokus bagi terjadinya kontestasi kekuasaan. Dalam kontestasi tersebut, perempuan dijadikan objek hegemoni dan kontrol ideologi berkepala dua, patriarki dan kapitalisme.

Penggunaan tubuh perempuan yang diwujudkan dalam penggunaan dalam video-video Zavilda ini masuk dalam persoalan ‘ekonomi-politik tubuh’ (political-economy of the body). Tubuh perempuan tidak berjilbab dan sengaja ditampilkan seksi dipakai sebagai thumbnail oleh Zavilda dan suaminya untuk kepentingan modal dalam aktivitas ekonomi industri.

Karena itu, video-video dari Zavilda memberikan kita pelajaran tentang pentingnya perempuan sadar akan hak otonomi atas tubuh mereka sendiri. Perempuan bisa membalikkan keadaan dengan menyadari mereka adalah agen aktif atas dirinya sendiri yang mampu mengonstruksi makna seksualitasnya, termasuk tubuhnya. Menolak untuk diobjektifikasi, menolak untuk terlibat dalam konten-konten yang mengandalkan komodifikasi tubuh perempuan bisa jadi langkah awal meraih otonomi tubuh perempuan.

Seperti yang ditulis Benedicta, perempuan berhak mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri tanpa harus dicampuri kekuasaan-kekuasaan lain di luar tubuhnya.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *