December 7, 2025
Issues Opini

Jangan Tunggu Anak Mati Dulu Baru Kita Bicara Moral

Kasus perundungan terhadap Timothy Anugerah Saputra bukan hanya alarm bagi dunia pendidikan, tetapi juga cermin retaknya kesadaran moral kita sebagai masyarakat

  • October 22, 2025
  • 5 min read
  • 682 Views
Jangan Tunggu Anak Mati Dulu Baru Kita Bicara Moral

Nama Timothy Anugerah Saputra mendadak memenuhi lini masa. Seorang mahasiswa yang diduga mengakhiri hidupnya pada 15 Oktober 2025 lalu karena perundungan yang tak kunjung berhenti. Setelah kepergiannya, komentar-komentar terus berdatangan dan sayangnya, tak semua menunjukkan empati. Bahkan sebagian berupa candaan yang menyakitkan, seolah rasa hormat pun kini menjadi barang langka, bahkan bagi yang telah tiada.

Tragedi ini bukan yang pertama. Tapi setiap kali hal seperti ini terjadi, kita tetap terkejut. Seolah lupa bahwa perundungan di sekolah adalah luka lama yang belum sembuh, hanya tertutup rapat dan diabaikan. Kita selalu bertanya, “Kenapa ini bisa terjadi?” meski jawabannya tak pernah benar-benar kita cari.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 3.800 lebih kasus perundungan sepanjang 2023, dan hampir separuhnya terjadi di sekolah. Riset Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2022 bahkan menyebutkan satu dari tiga siswa berpotensi mengalami kekerasan verbal, fisik, atau digital. Tapi ini bukan semata soal angka. Di balik statistik itu ada anak-anak yang pulang sekolah dengan tubuh utuh tapi hati koyak. Yang bangun setiap pagi dengan rasa takut karena harus kembali ke tempat yang semestinya merupakan ruang untuk bertumbuh.

Baca juga: Belajar Tanpa Kekerasan: Membongkar Stereotip dalam Buku Anak SD

Kalau moral hanya diajarkan, bukan dihidupkan

Kita tumbuh dengan pelajaran PPKn, nilai-nilai Pancasila, dan pendidikan karakter. Tapi sejak kecil pula kita belajar dari apa yang dibiasakan dan dibiarkan. Dari candaan yang mengejek bentuk tubuh, logat bicara, warna kulit, hingga latar belakang keluarga. Semua dianggap wajar. Dianggap hiburan.

Tak semua anak bisa membedakan mana canda, mana hinaan. Bahkan orang dewasa pun sering gagal melihat batasnya. Kita sering membela kekejaman dengan kalimat, “Itu cuma bercanda.” Padahal, bagi sebagian orang, itulah hari pertama mereka kehilangan harga diri.

Setiap orang punya batas yang berbeda. Mungkin satu orang bisa menertawakan dirinya sendiri, tapi yang lain tidak. Maka saat kita tanpa sadar menyakiti seseorang lewat olok-olok, permintaan maaf dan kesediaan untuk tidak mengulanginya adalah hal paling dasar yang seharusnya dilakukan.

Sekolah bisa mengajarkan nilai-nilai baik. Tapi apakah nilai itu akan tumbuh atau justru layu, sangat ditentukan oleh rumah dan lingkungan. Kelas hanya sebagian kecil dari dunia anak. Ia belajar moral lebih banyak dari apa yang dilihat di rumah, di jalan, di media sosial, di keseharian.

Kesalahan kita adalah menyerahkan seluruh tanggung jawab moral kepada sekolah. Padahal, moral bukan soal hafalan. Ia tumbuh dari teladan, dari kebiasaan sehari-hari. Anak-anak menyerap dari tindakan, bukan hanya nasihat. Mereka tahu mana yang tulus dan mana yang basa-basi.

Orang dewasa bisa dengan mudah menegur anak yang mengganggu temannya yang menangis. Tapi jika anak yang jadi korban tidak menangis, tidak melapor, hanya diam—apa yang dilakukan? Kebanyakan akan mengabaikannya. Karena dalam masyarakat kita, sesuatu baru dianggap masalah kalau sudah ada darah, luka, atau kematian.

Kadang, orang yang berani menyebut bibit persoalan sejak awal justru dianggap pembuat masalah. Kita lebih sibuk menjaga reputasi lembaga ketimbang memastikan tak ada anak yang merasa terancam. Kita takut pada rusaknya citra, tapi abai pada retaknya jiwa seorang anak.

Baca juga: ‘Bullying’ dalam Film ‘Jumbo’: Antara Fiksi dan Realitas

Budaya yang menormalkan kekerasan tak akan melahirkan anak yang baik

Saya pernah jadi korban perundungan. Tapi saya juga harus mengakui, saya pernah menjadi pelaku. Di sekolah dasar, saya ikut-ikutan teman mengejek anak lain. Saya tak tahu itu menyakitkan. Saya pikir itu lucu. Hingga kemudian saya menyadari, bertahun-tahun setelahnya, bahwa saya telah menyakiti orang lain. Kesadaran itu datang bukan karena pelajaran di kelas, tapi karena nurani saya tak tenang.

Anak-anak tidak selalu tahu apa yang mereka lakukan. Mereka meniru, bukan merenung. Mereka menyerap nilai dari orang dewasa di sekitarnya. Maka, saat anak menjadikan kekurangan temannya sebagai bahan lelucon, itu bukan sepenuhnya salah mereka. Yang keliru adalah orang dewasa yang tak membimbing mereka memahami, yang justru menormalkan kekerasan sebagai bentuk kedekatan.

Hukuman tanpa penjelasan juga bukan solusi. Ia hanya membuat anak patuh karena takut, bukan karena paham. Kita butuh lebih dari sekadar peraturan. Kita butuh ruang yang aman, di mana anak bisa bertanya, bisa salah, bisa belajar ulang—tanpa merasa akan dijatuhi hukuman atau ditertawakan.

Kini, perundungan tidak hanya terjadi di lorong sekolah. Ia hadir lewat komentar di media sosial, chat anonim, bahkan hasil editan yang disebar diam-diam. Bentuknya berubah, tapi dampaknya sama: menyakitkan. Bedanya, hari ini luka itu bisa viral dan menetap lebih lama.

Kita hidup dalam budaya yang menjadikan olok-olok sebagai bukti keakraban. Kita diajarkan bahwa kuat adalah bisa menertawakan diri sendiri. Yang tidak kuat, disebut baper. Padahal, kekuatan sejati adalah berani berkata “cukup” ketika tahu sesuatu itu salah.

Dan saat tragedi seperti ini terjadi, kita buru-buru menunjuk pelaku. Tapi jarang ada yang bertanya, siapa yang ikut tertawa? Siapa yang tahu tapi diam? Kadang, kejahatan bukan soal siapa yang melakukan kekerasan, tapi siapa saja yang memilih tidak peduli.

Kita bilang ingin anak-anak tumbuh jadi pribadi yang baik. Tapi kita lupa memastikan apakah lingkungan tempat mereka tumbuh memungkinkan kebaikan itu bertahan. Kalau rumah tidak aman, sekolah hanya menilai nilai, dan masyarakat terus menutup mata, dari mana anak-anak belajar empati?

Kematian Timothy, dan banyak anak lain yang tak sempat bersuara, seharusnya menjadi tamparan keras. Tapi jika kita hanya bersedih sebentar lalu lupa, kita sedang membiarkan tragedi berikutnya terjadi. Dan saat itu datang, kita akan kembali bertanya, “Kenapa ini bisa terjadi?” Padahal jawabannya sudah ada sejak lama.

Moral bukan sekadar mata pelajaran. Ia bukan nilai ujian. Ia adalah keputusan harian yang harus kita buat, apakah mau menjaga atau membiarkan. Mau melawan, atau ikut menertawakan korban dari balik layar.

Jangan tunggu anak-anak mati dulu baru kita bicara soal moral. Karena saat itu, semua sudah terlambat.

About Author

Freya Kalyca Handayono

Penulis yang senang mengangkat isu-isu struktural dan sosial melalui ciri khasnya yang kritis dan reflektif. Gemar belajar dan aktif menulis sejak remaja.