Tobat Ekologis: Cara Baru Melihat Bencana dan Hubungan Kita dengan Alam
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh setelah hujan lebat sejak Senin (24/11/2025) bukan cuma menyisakan kerusakan besar, tapi juga memunculkan kembali perbincangan soal hubungan manusia dengan alam. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anies Baswedan, ikut menanggapi situasi ini lewat sebuah catatan reflektif yang ia unggah di akun X pribadinya, @aniesbaswedan, pada Jumat (28/11/2025).
Dalam unggahan yang dikutip oleh Tribun News melalui artikel berjudul Banjir di Sumut, Sumbar, dan Aceh: Mengenal Tobat Ekologis yang Kembali Disinggung Anies Baswedan, Anies menyampaikan kegelisahannya melihat rangkaian bencana yang terjadi hampir bersamaan. Ia mengutip Surat Ar-Rum ayat 41, yang menekankan bahwa kerusakan di darat dan laut muncul akibat ulah manusia sendiri—sebuah peringatan moral tentang relasi tak seimbang antara manusia dan lingkungan.
Anies kemudian menyoroti pentingnya tobat ekologis, sebuah konsep yang ia anggap relevan sebagai ajakan untuk kembali memperbaiki perilaku manusia terhadap alam. Bukan sekadar istilah religius, tobat ekologis di sini lebih dekat dengan kesadaran kolektif: mengakui kerusakan yang terjadi, lalu mengubah cara hidup agar lebih berpihak pada keberlanjutan.
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi, gagasan tobat ekologis ini terasa makin mendesak. Konsep ini membuka ruang refleksi: kalau kerusakan lingkungan sebagian besar berakar dari pilihan dan kebiasaan manusia, maka perubahan kecil sehari-hari juga bisa jadi langkah awal untuk memulihkan bumi. Dari sinilah kita bisa mulai melihat bentuk konkret tobat ekologis—tindakan sederhana tapi berdampak—yang bisa dilakukan siapa saja.
Baca Juga: Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)
Apa Itu Pertobatan Ekologis?
Dikutip dari Kompas, Apa Itu Tobat Ekologis? Makna Ungkapan yang Dikutip Cak Imin dalam Debat Cawapres, istilah pertobatan ekologis dikenal luas lewat Laudato Si’, ensiklik dari Paus Fransiskus, yang menyerukan tanggung jawab moral manusia untuk merawat bumi sebagai “rumah bersama”.
Secara sederhana, pertobatan ekologis mengajak kita berhenti sejenak dan tanya pada diri sendiri: “Apakah gaya hidup kita sekarang sudah selaras dengan alam, atau malah merusaknya?” Ide ini enggak cuma soal idealisme—tapi tentang perubahan nyata dalam cara kita hidup.
Intinya, pertobatan ekologis mencakup:
Kesadaran bahwa bumi bukan objek yang bisa kita eksploitasi sepenuhnya; alam adalah bagian dari kehidupan bersama.
Mengembangkan rasa hormat, empati, dan tanggung jawab terhadap alam—secara etis, spiritual, maupun emosional.
Mengubah kebiasaan sehari-hari ke arah yang lebih ramah lingkungan: misalnya kurangi konsumsi berlebihan, pilih produk lokal atau berkelanjutan, hemat energi, dan lebih peduli terhadap keberlangsungan alam.
Komitmen jangka panjang untuk menjaga bumi demi generasi mendatang—bukan sekadar tindakan sekali waktu.
Dikutip dari Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Pertobatan Ekologis Perspektif Ensilik Laudato SI ART. 216-218 dalam Menanggapi Persoalan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Sanggau, dalam konteks global krisis lingkungan, pertobatan ekologis muncul sebagai respons terhadap kerusakan alam yang nyata—seperti deforestasi, polusi, dan perubahan iklim.
Karena itu, langkah kecil sehari-hari seperti membawa tas kain saat belanja, menekan penggunaan barang sekali pakai, mematikan lampu kalau tak dipakai, atau pilih makanan ramah lingkungan—semua itu bisa jadi bagian dari pertobatan ekologis. Kesederhanaan itu bisa bermakna besar.
Dikutip dari ejurnal.stipas.ac.id, Gereja sebagai Agen Transformasi Ekologis: Studi tentang Peran Gereja dalam Menjaga Lingkungan Hidup berdasarkan Laudato Si’, di sisi spiritual, pertobatan ekologis bisa berarti menghargai alam bukan sebagai “sumber daya” semata, tapi sebagai bagian dari kehidupan kita—hubungan yang sakral antara manusia dan alam.
Banyak literatur yang menekankan bahwa melalui pertobatan ekologis, manusia diajak untuk melihat ciptaan lain sebagai saudara dan bagian dari komunitas hidup yang saling bergantung.
Akhirnya, pertobatan ekologis mewakili transformasi cara pandang dan gaya hidup—bahwa bumi bukan warisan turun-temurun semata, melainkan amanah bagi kita dan generasi mendatang untuk dirawat bersama.
Baca Juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera
Elemen Utama dalam Pertobatan Ekologis
Pertobatan ekologis bukan sekadar gaya hidup “hijau” kekinian—melainkan transformasi mendalam: bagaimana kita memandang alam, merasakan keterikatan dengan bumi, dan bertindak untuk menjaga bumi. Tiga elemen berikut saling berhubungan; kalau satu diabaikan, keseimbangan bisa terganggu.
- Perubahan Cara Pandang terhadap Alam
Salah satu fondasi utama pertobatan ekologis adalah mengubah perspektif: dari melihat alam sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, ke melihat alam sebagai mitra hidup—bagian dari komunitas bersama yang harus dihormati.
Dalam tulisan ilmiah dari journal.stipar-ende.ac.id, yang berjudul Relevansi Makna Gagasan Ekologi Integral dalam Ensiklik Laudato Si’ bagi Pertobatan Ekologis, dijelaskan bahwa pertobatan ekologis menekankan nilai inheren dari semua ciptaan, solidaritas ekologis, dan kebutuhan untuk memandang alam sebagai rumah bersama, bukan sekadar objek.
Pandangan ini kemudian mendorong perilaku yang lebih bertanggung jawab: tidak semata mengambil dari alam, tetapi juga mempertimbangkan dampak tindakan kita terhadap keseimbangan ekosistem—seperti sikap menghormati makhluk hidup lain, menjaga habitat, dan menghindari eksploitasi berlebihan.
- Transformasi Gaya Hidup
Kesadaran saja tidak cukup, tindakan sehari-hari harus merefleksikan perubahan itu. Transformasi gaya hidup jadi bagian penting dari pertobatan ekologis—dan ini bisa dilakukan secara sederhana namun konsisten.
Konsumsi dan Limbah
Misalnya: mengurangi konsumsi plastik sekali pakai, memilih produk yang lebih ramah lingkungan, menggunakan kembali barang daripada beli baru terus, serta mendukung produk lokal/bahan berkelanjutan. Organisasi lingkungan seperti WWF-Indonesia menekankan pentingnya mengurangi sampah plastik sebagai bagian dari gaya hidup ekologis.
Energi & Kebiasaan Ramah Lingkungan
Penggunaan energi dan sumber daya sehari-hari juga bisa diubah: misalnya menggunakan lampu hemat energi, mengurangi listrik/secara efisien, memilih transportasi publik atau berjalan/bersepeda ketika memungkinkan, serta mempertimbangkan opsi energi terbarukan kalau tersedia.
Ini sesuai dengan rekomendasi dalam panduan sehari-hari dari WALHI dalam artikel mereka yang berjudul Langkah-langkah Efektif Menghadapi Perubahan Iklim di Kehidupan Sehari-hari.
Dengan cara ini, kita ikut mengurangi beban ekologis—bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk skala komunitas dan ekosistem lebih luas.
- Relasi Spiritual & Moral antara Manusia dan Alam
Pertobatan ekologis juga menyentuh aspek emosional, etis, dan spiritual: bahwa manusia dan alam itu terhubung. Kita bukan entitas terpisah yang bisa memanfaatkan bumi tanpa konsekuensi.
Dalam artikel opini Kompas berjudul Pertobatan Ekologis dan Peran Sastra, disebut bahwa krisis lingkungan dan penderitaan akibat kerusakan alam memperlihatkan bahwa kehidupan ini saling terkait—apa yang terjadi pada alam, akan kembali mempengaruhi kita.
Makna spiritual dan moral ini penting karena mendorong kita untuk menjaga bumi bukan hanya demi manfaat pribadi, tetapi juga sebagai tanggung jawab kolektif dan bentuk penghargaan pada kehidupan secara luas—termasuk generasi mendatang.
Baca Juga: ‘Warga Sudah Peringatkan tapi Tak Didengar’: Banjir Sumatera Kini Telan Ratusan Korban
Bentuk-Bentuk Tobat Ekologis yang Bisa Dilakukan
Pendekatan ekologis enggak selalu soal hal besar seperti tanam pohon rame-rame atau bikin rumah panel surya. Banyak aksi kecil tapi konsisten yang tetap berdampak besar ke planet. Berikut beberapa hal nyata yang bisa kita lakukan—mudah dilakukan oleh siapa saja.
- Mengurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Plastik sekali pakai (kantong belanja, sedotan, botol sekali pakai, kemasan sekali pakai) adalah salah satu penyebab terbesar polusi lingkungan. Langkah kecil yang bisa dilakukan:
- Bawa tote bag sendiri saat belanja.
- Gunakan botol minum isi ulang.
- Hindari sedotan dan kemasan sekali pakai.
- Pilih produk dengan kemasan minimal atau kemasan yang bisa didaur ulang.
Kebiasaan kecil ini kalau dilakukan ramai-ramai bisa bantu kurangi beban sampah plastik.
- Menghemat Energi di Rumah
Energi yang kita pakai sehari-hari—listrik, pendingin ruangan, pengisi daya—sering kali berasal dari sumber yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Dengan hemat energi, kita ikut membantu mengurangi beban iklim planet.
Langkah praktiknya:
- Matikan lampu dan perangkat elektronik saat tidak digunakan.
- Cabut charger saat selesai digunakan.
- Gunakan lampu LED hemat energi.
- Jika memungkinkan, kurangi penggunaan AC atau atur suhu dengan bijak.
Dengan mengurangi konsumsi energi, kita membantu kurangi emisi karbon—sekalian bikin tagihan listrik lebih ramah kantong.
- Mengelola Sampah dengan Bijak
Mengelola sampah dengan benar—misalnya memilah sampah, mengompos sampah organik, dan mengurangi sampah sekali pakai—adalah bagian penting dari pertobatan ekologis. Hal konkret yang bisa dilakukan:
- Pisahkan sampah organik dan non-organik.
- Kompos sisa makanan organik.
- Gunakan kembali atau daur ulang sampah anorganik.
- Hindari penggunaan barang sekali pakai.
Dengan pemilahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, kita bisa bantu kurangi banjir sampah ke TPA dan mencegah pencemaran lingkungan.
- Mengurangi Ketergantungan pada Plastik sebagai Bagian dari Gaya Hidup
Bukan cuma sampah—plastik juga berkontribusi pada krisis iklim. Artinya, mengurangi penggunaan plastik bukan sekadar gaya hidup “hijau”, tapi tindakan politik-ekologis dan etis: kita menolak sistem konsumsi yang merusak alam dan manusia.
- Dukung Program & Komunitas yang Mengurangi Sampah
Kalau kamu merasa aksi individu tidak cukup, kamu bisa ikut mendukung atau bergabung dengan komunitas yang mendorong perubahan sistemik—seperti kampanye anti plastik, program daur ulang, atau gerakan gaya hidup berkelanjutan. Misalnya inisiatif Plastic Smart Cities dari WWF-Indonesia, yang membantu kota menangani sampah lebih sistematis.
Dukungan kolektif seperti ini memperkuat gerakan ekologis—dan memberi impact yang lebih besar daripada usaha sendiri-sendiri.
















