December 5, 2025
Issues Politics & Society

Yang Hilang dari Tradisi Pengabdian Santri Bangun Pesantren

Saya ngobrol dengan beberapa santri soal pengalaman membantu pembangunan ponpes. Kerap dianggap pengabdian, tapi tradisi ini menyimpan risiko tersembunyi.

  • October 16, 2025
  • 4 min read
  • 847 Views
Yang Hilang dari Tradisi Pengabdian Santri Bangun Pesantren

Pada (29/9), Musala Pondok Pesantren Al Khonizy di Sidoarjo ambruk, menewaskan 51 santri dan melukai ratusan lainnya. Tragedi ini langsung menyorot dua isu utama: Tradisi gotong royong dan pengabdian santri yang menjadi bagian dari budaya pesantren, serta perdebatan soal keselamatan dan pengawasan di lingkungan pesantren. 

Tak lama usai ambruknya pesantren, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengusulkan pelatihan konstruksi bagi santri di seluruh Indonesia untuk meminimalkan risiko kecelakaan. Menteri PU Dody Hanggodo menekankan pelatihan ini bertujuan menyeimbangkan tradisi gotong royong dengan standar keselamatan, sekaligus memperbaiki kualitas infrastruktur pesantren. 

Masalahnya, kasus Al Khonizy menunjukkan tradisi pengabdian dan gotong royong ini justru bisa berubah jadi ancaman buat para santri. 

Kasus Al Khonizy menunjukkan tradisi pengabdian dan gotong royong yang selama ini menjadi kebanggaan pesantren justru bisa berubah menjadi ancaman bagi para santri. Asbabur Riyasy, santri Pondok Al-Iman di Ponorogo yang terlibat dalam pembangunan aula di pesantrennya, berbagi pengalaman. 

“Sekitar tahun 2014 kayaknya seinget gue, aula itu roboh setahun setelah dibangun. Untungnya emang lagi kosong, tapi lucunya pengurus pesantren tanggapannya biasa aja, cuman dibersihin doang dan kita santri kaya diajarin buat ikhlas padahal kita yang udah cape bangun itu aula,” kenangnya kepada Magdalene (9/9). 

Baca Juga: Tragedi Ponpes Al Khoziny: Kegagalan Struktur atau Kekerasan Struktural? 

Alasan Santri Terlibat Gotong Royong 

Riyasy menjelaskan, keterlibatan santri dalam pembangunan biasanya berawal dari rasa penasaran dan inisiatif sendiri, bukan paksaan pengurus. “Kalau gue dulu enggak disuruh, tapi pengen sendiri, penasaran aja. Awalnya ngeliatin doang, terus dipanggil, ‘ayo bantu’. Lama-lama ikut ngangkat bambu, nyangkul bikin fondasi. Sampai jam satu malam masih nyangkul, ternyata gue doang yang masih kerja. Cape, tapi waktu itu seru aja sih,” ujarnya. 

Santri tingkat muda fokus belajar kitab dengan tugas ringan, sedangkan santri senior lebih leluasa ikut kegiatan fisik seperti mengurus empang, kandang sapi, atau membuat kompos dan biogas. Bagi mereka, ini adalah simulasi hidup bermasyarakat sekaligus wujud timbal balik atas ilmu yang diterima. 

“Biaya pesantren gue cuman Rp 300 ribu aja per bulan, tapi santri dapet banyak. Dari tempat tidur, makanan, ilmu, sampe keterampilan. Jadi ada perasaan pengen balas budi lewat yang kita bisa,” tambah Riyasy. 

Namun, tradisi ini rentan disalahgunakan. Banyak orang tua korban tragedi Al Khonizy menolak jalur hukum demi “berkah kyai”. Ini menunjukkan celah eksploitasi relasi kuasa. 

“Banyak oknum di pesantren yang cuma pengen untung sendiri, enggak mikirin orang lain. Praktik ‘berkah kyai’ bikin orang susah bedain mana tindakan mengajari, mana membodohi,” kritik Riyasy. 

Abdul Mukhtar, mantan santri Pondok Pesantren Gontor, menegaskan pengabdian harus konstruktif. “Santri seharusnya cuma bantu kerja teknis yang butuh banyak orang, didampingi tukang bangunan. Idealnya, santri dilibatkan dalam perencanaan blueprint pembangunan. Tapi sekarang santri cuma mengerjakan yang disuruh tanpa dibekali keterampilan. Tradisi ini harus dievaluasi, terutama pengurus pesantrennya,” jelasnya (10/9). 

Secara historis, pesantren adalah kyai dan masjid, tempat santri mencari ilmu sambil mengusahakan kebutuhan sendiri. “Kyai bahkan sampai menjual harta benda buat santri makan. Makanya keterikatan santri dengan kyai sangat kuat, dan pengabdian dijalankan berdasarkan rasa timbal balik. Tapi sekarang pesantren lebih modern, bisa dapat pendanaan dari berbagai pihak, jadi kyai enggak harus berkorban kaya zaman dulu, tapi kultur pengabdiannya tetap berjalan,” tambah Abdul. 

Baca juga: Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo: Ratusan Santri Jadi Korban, Pemerintah Janji Evaluasi Bangunan Pesantren

Isu Keselamatan Dipinggirkan dari Tradisi ini 

Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Masruchah, bilang, pengabdian santri enggak seharusnya disamakan dengan kerja fisik atau hukuman.  

“Santri enggak dididik untuk menjadi ahli bangunan. Dalam pesantren enggak ada pelajaran mengecor atau membangun rumah. Jadi kalau santri dilibatkan dalam pembangunan fisik, apalagi sebagai hukuman, itu sudah enggak tepat,” ujarnya kepada Magdalene (9/9). 

Pengabdian yang benar, kata Masruchah, muncul dari kesadaran pribadi santri, bukan kewajiban yang dibalut relasi kuasa. 

“Biasanya santri merasa menjadi bagian dari keluarga kyai. Namun kalau sampai disuruh membangun atau mengecor, itu sudah keluar dari konteks pengabdian,” jelasnya. 

Banyak orang tua korban Al Khonizy menolak jalur hukum demi “berkah kyai”, memperlihatkan bahaya kekeliruan ini. “Banyak orang tua pasrah menganggap kematian anak mereka sebagai takdir demi berkah kyai, padahal ada jalur hukum untuk keadilan,” terang Masruchah. 

“Anak punya hak untuk merasa aman. Pengasuh pesantren harus menjadi pelindung, bukan menempatkan mereka dalam situasi berbahaya seperti membangun gedung bertingkat,” tambahnya. 

Ia mendesak Kementerian Agama melakukan evaluasi menyeluruh melalui regulasi tegas dan perubahan kultur internal pesantren, agar tradisi pengabdian tetap positif tanpa membahayakan anak-anak. 

“Pesantren harus kembali ke substansinya: tempat belajar, bukan tempat bekerja paksa. Hak rasa aman santri adalah bagian dari pendidikan,” tutupnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.