Transpuan di Bali Selama Pandemi: Hilang Pekerjaan, Minim Bantuan
Transpuan merasakan penerimaan sosial yang lebih tinggi di Bali, namun mereka tetap tidak tersentuh bantuan selama pandemi.
Sebelum pandemi virus corona (COVID-19), Tariska Indri, 47, tidak pernah mengalami masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Saya biasanya ngojek di sekitar Kuta. Income kotor saya per hari bisa mencapai maksimal Rp500.000. Biasanya, saya paling sedikit dapat Rp150.000 sampai Rp200.000 per hari,” kata transgender perempuan (transpuan) itu kepada Magdalene melalui telepon.
Selain sebagai pengemudi ojek, dia mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaannya sebagai petugas lapangan di sebuah perusahaan properti. Sayangnya, setelah pandemi COVID-19, perusahaannya merugi dan berhenti beraktivitas.
“Saya bekerja di perusahaan milik teman saya itu tanpa kontrak resmi, tetapi ada absensi lewat WhatsApp. Memang perusahaan ini merugi, tetapi tidak ada pernyataan bahwa saya dipecat atau dirumahkan. Sekadar istirahat dulu, mbak,” tambahnya.
Pendapatannya mulai menurun sejak Januari dan akibatnya, Tariska kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar tagihan.
“Penghasilan saya sekarang nol. Saya belum membayar sewa kos selama empat bulan. Kalaupun mau ngutang ke orang lain, mereka juga sedang kesusahan,” tuturnya.
“Untuk makan sehari-hari, kadang ada teman-teman yang mengajak saya makan bersama. Ketika mereka dapat sembako, mereka mengontak saya,” ujar Tariska, yang juga penggiat penanggulangan HIV-AIDS di Yayasan Gaya Dewata itu.
Pandemi corona juga memengaruhi pendapatan transpuan pekerja salon akibat pembatasan sosial. Yasmine, sekretaris komunitas Waria dan Gay Singaraja (Wargas) mengatakan meski salon diperbolehkan buka pada jam-jam tertentu, salon sepi pengunjung.
“Salon tetap boleh buka, tetapi dibatasi hanya dari jam 8 pagi hingga 4 sore saja. Sebelumnya, boleh buka sampai jam 9 malam. Tapi karena pandemi corona, banyak orang enggan datang ke salon,” kata Yasmine.
Bali menjadi tempat bagi banyak transpuan mengadu nasib karena masyarakatnya lebih menerima keberadaan mereka, menurut Utari, penyuluh lapangan yayasan Gaya Dewata untuk isu pencegahan HIV/AIDS.
“Saya lebih enjoy menjadi diri sendiri di Bali daripada di Pulau Jawa. Di Jawa, (masyarakatnya) boro-boro (bisa menerima) waria mangkal malam-malam. Kami yang kelihatan ngondek saja distigma (negatif),” kata Utari, yang berasal dari Lumajang, Jawa Timur.
“Saya pribadi kalau pulang kampung sebisa mungkin berpenampilan seperti laki-laki. Apalagi lingkungan saya adalah lingkungan yang fanatik (agama),” ujarnya.
“Tapi kalau di Jawa, meskipun lingkungannya tidak fanatik, transpuan tidak sebebas di Bali (untuk menjadi dirinya sendiri),” ia menambahkan.
Yasmine mengatakan, stigma negatif terhadap transpuan paling tidak di Kabupaten Buleleng nyaris tidak ada.
“Mungkin ada anak-anak muda yang meneriaki ‘bencong’, tetapi enggak ada yang, misalnya, melempari batu. Mayoritas transpuan di komunitas Wargas adalah penduduk setempat (Kabupaten Buleleng) yang sudah terbuka dengan keluarganya. Jadi, mereka justru mendapatkan support,” ujarnya.
“Setiap tahun, para transpuan dari komunitas kami diundang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng untuk menjadi guest star dalam acara lomba gerak jalan 17 kilometer dewasa putri dalam acara 17-an. Kami bukan peserta, tetapi selalu ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat,” kata Yasmine.
Dari sisi hak atas kesehatan, Tariska dari Yayasan Gaya Dewata mengungkapkan, transpuan di Bali nyaris tidak mengalami diskriminasi
Baca juga: Transpuan Bergulat dengan Donasi yang Menipis
“Di Denpasar dan Kuta boleh dibilang tidak ada lagi (diskriminasi) karena yayasan sudah sering mengadakan sosialiasi mengenai prinsip non diskriminasi terhadap transpuan,” kata Tariska.
Pelayanan kesehatan untuk transpuan selama pandemi COVID-19 masih berjalan meskipun sedikit terhambat.
“Selama pandemi, poliklinik voluntary counselling and testing (VCT) di puskesmas banyak yang nonaktif. Di rumah sakit swasta, poliklinik VCT tetap buka tetapi berbayar dan kebanyakan harus membuat perjanjian (sebelum datang),” tambahnya.
Pekerja seks terdampak
Seperti layaknya berbagai provinsi di Indonesia, Bali sedang menjalankan pembatasan sosial, yang berdampak pada aktivitas para pekerja seks. Meskipun demikian, nasib mereka tidak separah rekan-rekannya di tempat lain.
“Di Jakarta, transpuan yang berprofesi sebagai pekerja seks sering dikejar-kejar satpol PP. Di Bali, meskipun suasananya seperti lockdown, mereka masih bisa turun ke jalan,” kata Utari dari Yayasan Gaya Dewata.
“Benar bahwa ada razia yang dilakukan satpol PP dan pecalang, tetapi mereka masih punya rasa iba. Mereka memang melaksanakan tugas, tetapi mengimbau saja, enggak bertindak arogan,” katanya.
Salah satu pekerja seks yang memilih untuk tidak beraktivitas untuk sementara adalah Anisa. Perempuan berusia 43 tahun ini mengakui, sebelum pandemi COVID-19 menyerang, dia tak kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari meskipun pendapatannya tak menentu.
“Saya pernah dapat Rp500.000 sehari, tetapi pernah juga tidak dapat uang sama sekali. Sejak akhir Maret, saya tidak lagi mendapatkan penghasilan. Padahal saya masih harus bayar kos dan laundry,” ujarnya.
Kharisma, koordinator Komunitas Waria Cantik, Sehat, Cerdas, dan Berkepribadian (Warcan SCB) engatakan, di komunitasnya ada pekerja seks yang juga kehilangan pekerjaan.
“Anggota komunitas kami ada 25 orang dan 19 di antaranya tidak bekerja lagi. Sebagian dari mereka adalah pekerja seks. Memang ada imbauan dari pecalang agar kami tidak bekerja dulu karena pandemi Covid yang semakin parah,” tuturnya.
“Layla”, 28, mengatakan tetap bekerja karena dia adalah pencari nafkah utama keluarganya yang tinggal di Banyuwangi.
“Ketika mangkal di jalan sebelum ada pandemi corona, aku minimal bisa dapat Rp200.000 per malam. Kalau sedang ramai, bisa sampai Rp500.000,” kata Layla.
Namun, dia tak setiap hari bekerja. Apabila sudah merasa cukup banyak mendapatkan uang, dia bisa beristirahat selama beberapa hari.
“Tamu asing itu rata-rata membayar Rp1,5 juta. Kalau sudah dapat sebanyak itu, biasanya aku libur 3-5 hari,” katanya.
Dengan kondisi seperti sekarang ini, kliennya pun berkurang, dan susah tidak ada tamu asing sama sekali sejak Maret.
“Sekarang, kadang sehari dapat klien, lima hari kemudian tidak dapat sama sekali. Itu pun uangnya hanya cukup untuk makan,” ujarnya.
Baca juga: Transpuan Ubah Kerentanan Jadi Kekuatan di Tengah Pandemi
Layla menyadari adanya risiko penularan virus corona apabila tetap mencari klien, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain.
“Tabunganku sudah menipis selama dua bulan terakhir. Aku juga harus membayar sewa kos. Bapak, ibu, dan adikku yang paling kecil masih menjadi tanggunganku. Orang tuaku sudah tua dan aku tidak memperbolehkan mereka bekerja,” tuturnya.
Tak ada bantuan pemda
Tariska dan Layla mengatakan mereka belum pernah menerima bantuan berupa uang tunai maupun kebutuhan pokok dari pemerintah daerahnya masing-masing. Sebaliknya, mereka mengandalkan bantuan dari pengusaha.
“Saya sudah tiga kali dapat bantuan kebutuhan pokok dari para pengusaha berupa beras, minyak, mie instan, teh, dan telur. Kadang juga ditambah masker dan sabun,” kata Tariska.
Sementara itu, Layla mendapatkan bantuan dari sebuah bar di kawasan Seminyak dan sebuah komunitas.
“Mereka menyumbangkan beras sebanyak 1 kilogram, lima bungkus mie instan, satu liter minyak goreng, dan tiga butir telur,” katanya.
Pihak lain yang memberikan bantuan adalah Queer Language Club (QLC) Bali. Transpuan yang tergabung dalam Komunitas Warcan SCB dan Komunitas Wargas adalah sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan kebutuhan pokok dari hasil penggalangan dana yang dlakukan QLC Bali.
Venna Agniasari, inisiator dan koordinator penggalang dana QLC Bali mengatakan, komunitasnya sudah dua kali melakukan penggalangan dana.
“Pada tahap pertama, terkumpul kurang lebih Rp20 juta untuk kemudian kami belikan kebutuhan pokok dan dibagikan kepada 155 transpuan. Pada tahap kedua, kami mengumpulkan lebih dari Rp25 juta, sudah membeli kebutuhan pokok dan akan segera membagikannya,” kata Venna.
Penggalangan dana ini rencananya akan terus berlanjut, dengan berdiskusi bersama para transpuan mengenai bentuk bantuannya. Vena mengatakan, belum ada pemerintah daerah di Bali yang memberikan bantuan kepada transpuan.
“Saya belum pernah mendengar ada teman transpuan yang menerima bantuan dari pemerintah daerah. Dari berbagai sumber yang saya baca, kebanyakan bantuan itu untuk keluarga, bukan individu,” katanya.
Menurutnya, seharusnya pemerintah memperluas cakupan penerima bantuan.
“Teman-teman transpuan juga berperan dalam memajukan ekonomi Bali. Pemerintah daerah seharusnya bisa mengumpulkan data penerima bantuan dengan mendatangi rumah-rumah kos. Banyak transpuan berstatus pendatang dan mereka tidak tersentuh bantuan,” ujarnya.
Kharisma dari Komunitas Warcan SCB berharap agar para transpuan yang kehilangan pekerjaan memperoleh bantuan kebutuhan pokok dari Pemerintah Kota Denpasar .
“Transpuan di komunitas ini kebanyakan adalah pendatang dari luar kota Denpasar. Di sini semuanya serba mahal. Kalaupun tidak ada bantuan uang tunai, saya berharap agar setiap 15 hari sekali mereka mendapatkan bantuan berupa kebutuhan pokok,” katanya.