Culture Screen Raves

4 Catatan Penting ‘Burning Sun: Exposing the Secret of K-Pop Chats Groups’

Skandal terbesar dalam sejarah K-Pop yang tak seharusnya dimaafkan.

Avatar
  • May 24, 2024
  • 9 min read
  • 979 Views
4 Catatan Penting ‘Burning Sun: Exposing the Secret of K-Pop Chats Groups’

*Peringatan: Gambaran kekerasan seksual eksplisit. 

Kasus Burning Sun kembali jadi perbincangan hangat di media sosial usai film dokumenter Burning Sun: Exposing the Secret of K-Pop Chats Groups dirilis BBC, (20/5). Dengan mewawancarai narasumber penyintas, staf Burning Sun, dan dua perempuan jurnalis, media asal Inggris ini memaparkan hasil investigasi terhadap kasus yang digadang-gadang sebagai skandal terbesar dalam sejarah K-Pop. 

 

 

Kasus ini menyeret nama-nama besar di panggung hiburan K-pop, seperti Seungri (mantan personel Big Bang), Jung Joon-Young, dan Choi Jong-hoon (mantan gitaris FT Island). Kasus ini pecah pada 2016 ketika jurnalis Park Hyo-Sil melaporkan molka (pengambilan gambar atau foto tanpa konsen) Jung Joon-Young yang dilaporkan langsung oleh Kyung Mi -pacar Jung saat itu. 

Meski menghebohkan tapi karena minim bukti, Jung dibebaskan. Tiga tahun berselang, seorang anonim yang punya akses ke ponsel Jung memberikan data kepada jurnalis Kang Kyung-Hoon. Dari data tersebut ditemukan, Kang mendapat salinan grup chat KakaoTalk dari 2015 sampai 2016. Isinya penuh dengan pelecehan, perendahan, dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan bangga oleh pelaku.

Dari grup chat itu pula, skandal Burning Sun milik Seungri mulai terendus. Agar Burning Sun makin sukses, Seungri menjerat perempuan di bawah umur dan menawarkan jasa prostitusi ilegal kepada tamu VIP dan investor bisnisnya. Para perempuan ini umumnya diberikan Gamma-hydroxybutyrate (GHB), obat ilegal yang membuat korban tak sadarkan diri agar bisa diperkosa para tamu. 

Setelah kasus meledak, Jung, Choi dan Seungri diadili dan diberikan hukuman masing-masing selama 5 tahun, 2 tahun, dan 18 bulan penjara. Kini ketiganya sudah bebas. Fakta itulah yang membuat dokumenter ini semakin banyak dibicarakan.

Setidaknya ada empat poin yang berusaha digarisbawahi BBC dalam dokumenter itu: 

Baca Juga: 4 Pelajaran Penting dari Film ‘Gangubai Kathiawadi’ 

1. Jurnalis Perempuan yang Rentan 

Berbeda dari pemberitaan serupa tentang Burning Sun yang pernah dirilis sebelumnya, dokumenter BBC memfokuskan narasinya pada perjalanan investigasi dua perempuan jurnalis yang berjasa dalam mengangkat kasus ke publik. Mereka adalah Park Hyo-sil dan Kang Kyung-yoon. 

Kehidupan keduanya mengalami perubahan signifikan ketika ikut mengungkap kejahatan yang melibatkan sejumlah selebriti K-pop terkenal. Hyo-sil, jurnalis surat kabar berbasis di Seoul menjadi yang pertama dalam memberitakan kasus molka Joon-Young. 

Setelah berita eksklusif yang ia tulis viral, Hyo-sil mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) berulang yang bahkan masih ia alami hingga saat ini. Hyo-sil dibombardir dengan komentar-komentar kasar di media sosial. Dia juga menerima berbagai email berisi umpatan. Foto wajah dan tubuh Hyo-sil diunggah oleh orang-orang tak dikenal di internet. 

Ia juga sering mendapatkan ancaman pembunuhan yang membuatnya takut meninggalkan rumah. Intensitas KBGO pun semakin meningkat enam bulan kemudian. Ia mulai mendapatkan panggilan telepon pada dini hari dan terus berlanjut selama sekitar tiga hingga empat jam. 

Kalau ia tidak menjawab telepon, pelaku mulai mengirimkan gambar-gambar cabul. Kesehatan mental Hyo-sil yang kebetulan sedang hamil, jadi sangat terdampak. Ia stres berat hingga dua kali mengalami keguguran dan tidak bisa memiliki anak lagi. 

Sementara itu, Kang Kyung-yoon, jurnalis hiburan di SBS, salah satu stasiun penyiaran terbesar di Korea Selatan, telah menyelidiki sendiri beberapa selebriti K-pop. Kyung-yoon menyelesaikan apa yang telah dimulai Hyo-sil. 

Dalam keadaan hamil saat berita eksklusif dirilis, Kyung-yoon jadi korban cyber bullying dan cyber harassment oleh warganet dan fans idol–yang namanya tak ia sebut dalam kasus Burning Sun. Parade kekerasan pada ia dan anaknya terus berlangsung sampai tiga tahun lamanya.

Jo Elfving-Hwang, profesor masyarakat dan budaya Korea di Curtin University, Perth, Australia, menjelaskan soal ini pada BBC World Service. Kata dia, Hyo-sil dan Kyung-yoon mengalami kekerasan yang sama, di mana pembungkaman terhadap perempuan menjadi tujuan utama. 

Tak heran, dalam temuan International Centre for Journalists (ICFJ) dan University of Sheffield pada 2022 disebutkan, jurnalis perempuan lebih rentan alami kekerasan dibandingkan laki-laki. Secara global, hampir tiga perempat jurnalis perempuan yang disurvei, pernah mengalami KBGO saat bekerja. Kekerasan yang mereka alami dirancang untuk “mempermalukan, meremehkan, dan mendiskreditkan” diri, baik secara pribadi maupun profesional. 

Baca Juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang 

2. Hukum yang Tumpul dengan Sistem yang Didominasi Laki-laki 

Kasus Burning Sun jadi titik awal masyarakat mengkritisi standar hukum kekerasan seksual yang tidak sepadan dengan kejahatan dan dampak buat korbannya. Waan Choi dalam Tiger Times, surat kabar daring resmi Seoul International School menuliskan, pada 2020, standar hukuman untuk kasus kekerasan seksual adalah 3 hingga 30 tahun. Namun, hukuman pokoknya adalah 2 tahun 6 bulan hingga 5 tahun. 

Apabila perlu pidana yang diperberat karena tingkat kerugian pidana, maka hukuman ditetapkan jadi 4 sampai 7 tahun. Namun bila perlu dikurangi, pidananya ditetapkan 1 tahun 6 bulan sampai 3 tahun. Standar dasar hukuman sangat pendek dibandingkan negara lain bukan satu-satunya masalahnya, tetapi standar hukum ini juga mudah untuk dikurangi. 

Alasan pengurangan hukuman mencakup faktor hukuman khusus, termasuk pelaku yang tidak memiliki riwayat hukuman pidana, berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, atau menunjukkan penyesalan dan refleksi yang serius terhadap kejahatan tersebut. 

Ironisnya, pengurangan hukuman ini bisa lebih ekstrem lagi jika menyangkut orang-orang yang memiliki uang, pengaruh, dan ketenaran. Selama proses investigasi Burning Sun, tidak ada banyak langkah hukum yang diambil. Banyak pengamat mencurigai, hal itu disebabkan oleh kekuatan perusahaan YG Entertainment, serta status para selebritisnya. 

Orang-orang seperti Seungri memiliki keuntungan besar karena kekayaan dan popularitasnya. Jadi jika pengadilan menjatuhkan hukuman berat kepadanya, ia bisa dengan mudah dapat menyewa pengacara atau berupaya mencapai kesepakatan dengan para korban. 

Sementara, para korban cenderung menerima tawaran untuk mencapai kesepakatan. Sebab, hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan seks di Korea dihindari dan dianggap tabu. Terlebih, mereka juga sadar selebriti punya banyak metode untuk melarikan diri dari sistem tersebut. 

Selain itu, sistem peradilan di Korea Selatan sendiri memang telah “rusak”. Dalam laporan The Interpreter dijelaskan, bagaimana hukum yang didominasi oleh laki-laki dikorupsi secara sistemik. Alhasil, negara berkak bertindak di atas hukum, dan perempuanlah yang menanggung akibatnya. 

Sejumlah nama petinggi dalam sistem hukum Korea Selatan sudah berkali-kali terkena kasus. Salah satu yang pernah bikin heboh adalah Kim Hak-eui. Mantan Wakil Menteri Kehakiman ini terlibat dalam pemerkosaan dalam pesta seks di rumah pengusaha Yoon Jung-cheon. Dikutip dari Korea Times, kasus tersebut diselidiki dua kali pada 2013 dan 2014. Namun, penyelidikan dibatalkan meski ada bukti dan klaim jaksa soal Kim yang tidak dapat diidentifikasi. 

Panel independen di bawah Kementerian Kehakiman menyimpulkan, penyelidikan awal memiliki kelemahan. Kim sendiri didakwa atas tuduhan menerima 170 juta won (US$143.700) dan sekstorsi dalam bentuk suap dari kontraktor konstruksi. Lagi-lagi, investigasi tidak mengonfirmasi tuduhan pemerkosaan dalam sekstorsi tersebut. 

Kasus Burning Sun, kata jurnalis keuangan Ha Hyun-Ock kepada The Interpreter memperlihatkan, berbagai macam kejahatan bercampur, dan pengusutan terganjal pengaruh orang dengan kekuasaan. Dalam hal ini Burning Sun enggak cuma melibatkan perdagangan narkoba, prostitusi, kekerasan seksual, penghindaran pajak, tetapi juga tumpang tindih kolusi dengan polisi bahkan aktivitas mafia. 

Perempuan Korea Selatan sangat menyadari kegagalan sistem peradilan yang didominasi oleh laki-laki di semua tingkatan: Polisi, kejaksaan, dan peradilan. Tak heran, pasca-kasus Burning Sun naik, mereka sempat demo di depan Blue House sambil membawa poster bertuliskan “Kartel pemerkosaan”. 

Baca Juga: ‘Our Father’: Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan 

3. Fanatisme Buta Penggemar Idol K-Pop 

K-Pop dikenal lewat loyalitas dan dedikasi para penggemar. Kita telah banyak melihat bagaimana fans K-Pop aktif membangun gerakan aktivisme sosial digital sendiri. Berbagai kampanye, penggalangan dana, bahkan terbaru aksi pemboikotan dilakukan justru atas kecintaan mereka terhadap idol

Namun, loyalitas dan dedikasi penggemar tak selamanya positif. Lewat kasus Burning Sun, BBC menunjukkan fanatisme buta penggemar idol K-Pop. Mereka justru membela mati-matian para idolanya yang terlibat kasus. Bahkan mereka sampai melakukan kekerasan pada Hyo-sil dan Kyung-yoon. Sebagian penggemar K-Pop enggan mengakui, idola mereka benar-benar salah. Mereka masih meyakini tidak mungkin idola mereka yang “baik” itu mampu melakukan kekerasan begitu hebat. 

Ketika Seungri terlibat dalam kasus, beberapa penggemar aktif mencari bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Selama masa persidangan, penggemar berkali-kali menaikkan beberapa tagar seperti #ApologizeTo Seungri hingga trending topic. Ketika akhirnya sang idol didakwa pun, masih saja ada penggemar yang membelanya. Mereka menggambarkan Seungri sebagai anak “baik” yang salah pergaulan. 

Seungri bukan yang pertama. Ketika mantan anggota EXO Kris Wu ditahan oleh polisi Beijing pada 31 Juli karena diduga melakukan pemerkosaan anak di bawah umur, sejumlah penggemar menolak percaya bahwa idola mereka bersalah. 

Dikutip dari The Straits Times, beberapa penggemar Wu dilaporkan ingin mengeluarkannya dari penjara dan bersumpah untuk melepaskan kewarganegaraan Tiongkok. Ini dilakukan sebagai protes terhadap penangkapan tersebut. Ada pula yang menawarkan sumbangan uang jaminan. 

Yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang membela idol mati-matian justru adalah perempuan. Tak ada dukungan fans kepada para korban. Yang dipikirkan hanya reputasi idola mereka sendiri. Inilah mengapa dalam kasus idol K-Pop, laki-laki yang tersandung kasus pelecehan dan kekerasan seksual akan tetap punya karier terjamin. 

Penggemar bakal setia mendukung idola, seolah-olah kekerasan pelaku cuma persoalan sepele. Kontributor Vice menulis, fans berat JYJ sempat marah pada Yoochun saat tahu idolanya tersandung kasus kekerasan seksual. Namun, setelah Yoochun melanjutkan syuting untuk acara TV-nya, dia menyerah dan mulai menyukainya lagi. 

Ironis, pelaku bebas berkarier, sedangkan korban berada dalam pusaran trauma seumur hidup. 

4. Korea Selatan Tak Seindah di Drakor dan Semanis Oppamu 

Menonton Burning Sun: Exposing the Secret of K-Pop Chats Groups meninggalkan rasa pahit di lidah. Bukan karena penonton jadi tahu bagaimana para penjahatnya kini sudah bebas berkeliaran. Namun, dari pernyataan staf Burning Sun didapati, kasus ini tak membawa perubahan apa pun dalam masyarakat.

Masih banyak klub-klub malam seperti Burning Sun beroperasi di Seoul, tapi tak pernah terjamah hukum. Industri K-Pop sendiri tak bisa bebas dari pelecehan dan kekerasan seksual. Di masyarakat yang sangat misoginis ini, perempuan akan selalu jadi korban dari ketidakadilan bersifat sistemik. Molka, kejahatan yang menyeret Joon-Young, sudah jadi kejahatan seksual “biasa” di sana. 

Laporan BBC mengungkapkan laki-laki Korea memasang kamera mata-mata di kamar mandi umum, ruang ganti perempuan, toko, dan kereta bawah tanah untuk merekam para perempuan, dan mendistribusikan video tersebut secara online tanpa konsen. Dilaporkan ada lebih dari 30.000 kasus molka dilaporkan ke polisi Korea Selatan dalam rentang 2013–2018 dan 80 persen korbannya adalah perempuan. 

Ribuan nyawa perempuan terkena dampaknya, tetapi penuntutan soal molka dan hukuman setimpal buat pelaku sangat ringan. Ini tak lepas dari dominasi laki-laki di sistem peradilan di mana hanya ada 30 persen hakim dan 4 persen polisi perempuan.

Dalam laporan East Asia Forum, perempuan Korea Selatan juga lebih dari setengah korban pembunuhan yang dilaporkan negeri ini. Menurut Kantor Kejaksaan Agung Korea Selatan, 90 persen korban kekerasan pada 2019 adalah perempuan, peningkatan yang signifikan dari 71 persen pada 2000. 

Belum lagi kasus Nth Room yang sempat menghebohkan pada 2019 lalu. Ini termasuk kasus kekerasan seksual daring terbesar di Korea Selatan dengan estimasi jumlah pelakunya lebih dari 60.000 orang. Sejumlah orang bahkan menyebut kasus ini sebagai perbudakan daring. 

Inilah realitas masyarakat Korea Selatan. Ia tidak seindah penggambaran drama Korea alias drakor dan para laki-lakinya tidak sebaik dan semanis imej oppa yang kita kenal. 


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *