‘Our Father’: Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan
Film ‘Our Father’ mengajak penontonnya dalam kengerian pemerkosaan medis yang dilakukan seorang dokter infertilitas di Indiana dan efeknya pada anak-anak kandungnya
Peringatan: Ada spoiler
Apa rasanya menonton film dokumenter dari Blumhouse, rumah produksi yang sukses menggarap berbagai horror thriller, dari Get Out (2017), The Invisible Man (2020), hingga Insidious (2010)? Jawabannya bisa dilihat dari riuhnya media sosial atas film Our Father (2022). Mayoritas sepakat mengungkapkan betapa “mengerikannya” film Netflix tersebut.
Kengerian dalam film dokumenter ini dibangun melalui cerita perempuan bernama Jacoba Ballard. Sebagai satu-satunya anggota keluarga yang memiliki rambut pirang dan bermata biru terang dalam keluarga berambut dan bermata coklat, ia tumbuh dewasa dengan kegundahan atas identitas dirinya.
Kegundahannya ini pun ia tanyakan kepada orang tua. Ternyata, jawaban orang tua Ballard cukup mengejutkan. Ia adalah anak hasil dari donor sperma yang dilakukan orang tuanya pada 1980-an. Pada usia 30-an, Ballard pun menghubungi Cline, dokter yang merawat masalah fertilitas ibunya untuk menanyakan kemungkinan saudara tirinya. Namun sayang, Cline tidak banyak membantu karena ia mengaku semua catatan medis pasiennya pada tahun tersebut sudah dibakar habis.
Tidak puas dengan jawaban Cline, Ballard lalu membeli perangkat tes DNA dan menggunakan 23andMe, situs web layanan pengujian genetik. Hasil yang ia dapatkan begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, Ballard kemungkinan memiliki tujuh saudara tiri biologis dan semuanya tinggal tidak jauh dari kediamannya. Pada momen inilah, rasa ingin tahu Ballard berubah menjadi mimpi buruk.
Baca Juga: 4 Pelajaran Penting dari Film ‘Gangubai Kathiawadi’
Ketika Agama Jadi Justifikasi Kekerasan Seksual
Pada 1970 hingga 80-an, bidang fertilitas dan inseminasi buatan masih relatif baru. Karenanya, jumlah donor sperma yang tersedia masih sedikit dengan absennya bank sperma. Dokter pun kala itu harus mencari donor spermanya sendiri. Melihat minimnya akses pasien dan jumlah pas-pasan dokter fertilitas, maka banyak perempuan berbondong-bondong berkonsultasi pada dokter yang sama.
Dalam hal ini, Donald Cline menjadi salah satu dokter infertilitas yang paling banyak dirujuk dan didatangi oleh perempuan yang kesulitan memiliki keturunan. Mereka datang dengan dijanjikan oleh Cline bahwa donor sperma yang ia gunakan masing-masing tidak lebih dari tiga kali. Hal ini dilakukan untuk membatasi masalah kekerabatan dan penyakit genetik.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang
Sayangnya, janji yang ia katakan hanyalah kebohongan. Cline justru menggunakan spermanya sendiri tanpa persetujuan pasien. Ia bermasturbasi di kantor, tepat di sebelah ruang praktiknya, dan menaruh sperma sendiri di dalam tabung sperma yang nantinya ia gunakan untuk para pasien.
Selama menjalani praktik inseminasi buatan pada 1970 hingga 1980-an, tindakannya ini tidak pernah terendus orang lain bahkan oleh koleganya sendiri. Ia melakukannya dengan rapi dan penuh kehati-hatian sampai akhirnya dibongkar anaknya sendiri, Jacoba Ballard. Thanks to technology.
Terungkapnya tindakan Cline lantas membuat Jacoba dan saudara kandungnya yang lain melakukan investigasi lanjutan. Sejauh ini, Our Father menarasikan bahwa motif di balik tindakan Cline lantaran ideologi yang lahir dari afiliasinya dengan sekte agama Kristen ekstremis bernama “Quiverfull”. Quiverfull mendorong pengikutnya untuk bereproduksi sebanyak mungkin guna memenuhi mandat Tuhan.
Dengan banyaknya keturunan yang dimiliki seseorang, maka ada jaminan akan menduduki banyak posisi kekuasaan dan mampu membimbing umat manusia. Melalui narasi yang dibuat mencekam ala film horor, Our Father mengelaborasi bagaimana pemahaman agama yang dipegang erat oleh Cline membentuknya menjadi monster tanpa perasaan.
Dalam hal ini, Our Father menelusuri ketertarikan mendalam Cline pada ucapan-ucapan agama Kristen dan ayat tertentu yang menjadi fondasinya dalam bertindak. Dalam satu adegan misalnya, Our Father memperlihatkan bagaimana Cline berusaha menjustifikasi tindakannya dengan ayat Yeremia 1:5 yang berbunyi:
“Sebelum aku membentukmu di dalam rahim ibumu, aku mengenalmu.”
Ayat ini begitu ia sukai karena tidak hanya menggambarkan tujuan hidupnya sebagai manusia, tetapi juga menekankan bagaimana setiap bayi yang lahir ke dunia bukanlah kesalahan.
Film Our Father Angkat Suara Korban sebagai Poros Narasinya
Berbeda dari film dokumenter kriminal lainnya yang lebih cenderung mengangkat cerita-cerita sensasional dari tindakan pelaku kejahatan (tidak jarang justru berujung pada glorifikasi kejahatan tersangka), Our Father mengetengahkan sudut pandang korban sebagai poros. Sutradara dan produser Our Father, Lucie Jourdan dalam wawancaranya bersama Netflix, memang sengaja memberi kesempatan kepada penonton untuk “duduk bersama para korban”. Kesempatan ini ia lakukan agar penonton bisa merasakan segala rasa sakit dan pahitnya kenyataan yang harus ditanggung oleh para korban selama mencari keadilan.
Hal ini jelas terlihat sepanjang film, Cline sebagai pelaku tidak pernah diberikan sorotan untuk sekadar berbicara secara khusus. Semua suara Cline yang ditampilkan berasal dari rekaman korban. Sehingga perspektif film ini jelas terlihat dan tentunya membuat penonton menjadi lebih memahami kasus kekerasan seksual melalui perspektif korban.
Sepanjang film, anak-anak Cline dibiarkan bercerita tentang berbagai usaha yang mereka melakukan untuk menjerat Cline dengan hukum yang berlaku. Namun, layaknya para korban kekerasan seksual pada umumnya, proses pencarian keadilan ini meninggalkan rasa sesak yang tak kunjung hilang. Pasalnya, segala proses hukum yang berusaha dilakukan selalu saja tersandung masalah yang bersifat sistematis. Tentang bagaimana negara dan masyarakat secara nyata masih menjadi perpanjangan tangan patriarki yang enggan peduli pada korban.
Baca Juga: Dokumenter ‘You & I’ dan Masa Tua yang Tak Terelakkan
Mulai dari proses hukum yang lamban, perlindungan hukum yang tidak menyeluruh, jaksa yang bias, hingga penjatuhan hukuman yang tidak setimpal menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi anak-anak Cline. Ia sendiri bahkan tidak dijatuhkan hukuman atas pemerkosaan medis yang ia lakukan. Alasannya, Cline tidak secara harfiah melakukan penetrasi alat kelaminnya pada para korban.
Tidak digugatnya Cline dengan pemerkosaan juga tidak lepas dari bagaimana proses peradilan telah “dikorupsi”. Jaksa membiarkan pengacara Cline membacakan pernyataan orang-orang gereja yang dekat dengan Cline. Dalam pernyataan itu Cline yang merupakan pilar komunitas dan penatua gerejanya digambarkan sebagai seseorang yang baik, beriman, dan sangat berdedikasi pada lingkungan gerejanya. Pembacaan pernyataan ini tidak bisa dimungkiri berpengaruh pada pengambilan keputusan jaksa. Sebagai gantinya, Cline pun hanya didakwa menghalangi proses peradilan karena mengancam para korban dan diminta membayar denda sebesar 500 US dollar.
Baca Juga: ‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan
Hukuman ini jelas membungkam para korban dan menjauhkan mereka dari keadilan. Seluruh narasi pun akhirnya berubah. Kasus ini tidak lagi mengenai seorang dokter fertilitas yang melakukan pemerkosaan medis berulang terhadap puluhan perempuan atau tentang bahaya yang ditimbulkan dari pemerkosaan medis yang tidak memiliki kejelasan payung hukum.
Namun, kasus ini menjadi seorang bernama Cline yang berbohong kepada pemerintah bagian Indiana dengan menutupi tindakannya mengancam para korban.
Dengan demikian, melalui sentuhan horor yang dielaborasi dengan ekstrimisme beragama dan pengangkatan suara korban, Our Father akhirnya berhasil membawakan misinya. Misi tentang membawakan film dokumenter kriminal di mana korban tidak lagi hanya bagaimana dalam film-film hanya dipandang sebagai angka atau objek pemanis dalam cerita sensasional pelaku kejahatan. Namun, mereka adalah manusia bernyawa yang butuh mendapatkan keadilan dan perhatian yang lebih dari negara maupun masyarakat.