Culture Screen Raves

‘Elemental: Forces of Nature’ Bukan Karya Terbaik Disney Pixar

‘Elemental’ boleh jadi angkat isu imigran, tapi kisah percintaan formulaik dan tokenisme LGBTQ+ bikin film ini jadi serba nanggung.

Avatar
  • June 28, 2023
  • 7 min read
  • 5487 Views
‘Elemental: Forces of Nature’ Bukan Karya Terbaik Disney Pixar

Selamat datang di Element City! Kota yang menawarkan segala kemudahan dan masa depan bagi semua penduduknya. Di kota ini jargon anti-diskriminasi mengemuka. Semua elemen mulai dari air, tanah, udara hingga api diterima. Mereka hidup berdampingan tanpa banyak kendala.

Terdengar begitu sempurna bukan? Tapi, sayang kesempurnaan ini hanya terlihat di permukaan saja. Gambaran indahnya toleransi akan langsung sirna jika kamu adalah bagian dari penduduk elemen api. Sebagai elemen yang bisa membakar dan menguapkan elemen lain hanya dengan sentuhan, api jadi musuh bersama di kota ini.

 

 

Predikat musuh bersama ini secara tidak langsung membuat para penduduk api jadi memisahkan diri dari elemen-elemen lain. Mereka tinggal di pinggiran kota. Jarang sekali melihat kehadiran mereka di pusat kota.

Terpisahnya penduduk elemen api dan elemen-elemen lainnya juga terjadi berkat doktrin para orang tua. Sedari kecil para orang tua penduduk elemen api mendikte anak-anak mereka bahwa elemen sebenarnya tidak bersatu. Inilah yang membuat generasi muda, salah satunya Ember Lumen (Leah Lewis) jadi enggan keluar dari “kota” kecil mereka dan membenci elemen lain terutama elemen air.

Kebencian yang dipupuk dari kecil ini namun berangsur berubah jadi cinta ketika dalam satu peristiwa Ember harus berhadapan dengan Wade, si elemen air. Kehadiran Wade membuat Ember menyadari ada hidup yang lebih menarik untuk dijalani dibandingkan dengan di pinggiran kota.

Ulasan Elemental: Forces of Nature
Sumber: IMDB

Baca Juga: Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan

Komedi Romantis yang Dibalut Isu Imigran

Pertemuan Ember, si elemen api dan Wade, si elemen air adalah bagian dari kisah cinta yang dibawakan Disney Pixar dalam film terbaru mereka Elemental: Forces of Nature. Dalam wawancara bersama CNN, Peter Sohn sutradara dari film ini menyatakan fondasi kisah cinta antara Ember dan Wade didasarkan oleh pengalamannya pribadi yang menikah dengan pasangan bukan orang Korea.

Pernikahan itu menimbulkan banyak persoalan di keluarganya karena ada gesekan budaya antara dua kultur yang berlawanan. Agar tak terdengar membosankan karena mirip kisah klasik Romeo dan Juliet, Sohn memutuskan untuk meramu pengalaman pribadinya ini dengan lensa yang lebih dalam. Ia menambahkan perspektif imigran, perspektif yang juga ia miliki karena ia sendiri adalah anak dari keluarga Korea Selatan untuk poros narasi protagonis utamanya, Ember.

Dengan dua perspektif ini, Sohn menghadirkan kompleksitas cinta beda elemen di filmnya. Sama seperti dirinya, Ember ia buat sebagai generasi kedua keluarga imigran. Ember lahir dan besar di Elemen City dengan kedua orang tuanya Bernie dan Cinder Lumen berasal dari Fireland, tanah asli elemen api.

Bernie dan Cinder meninggalkan Fireland dan pindah ke Element City untuk membangun masa depan baru karena badai memporak-porandakan rumah mereka. Setibanya di Element City, bayangan indah tentang kota yang bisa menjamin masa depan mereka justru sirna. Sejak pertama kali menjejakkan kaki ke kota itu, Bernie dan Cinder layaknya keluarga imigran di dunia nyata harus mengalami diskriminasi.

Baca Juga:  Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’

Mereka diusir dari berbagai blok apartemen. Satu-satunya tempat tinggal yang bisa mereka dapatkan hanya sebuah blok apartemen kumuh yang sudah lama terbengkalai. Dari tempat itu mereka berusaha menyambung hidup dengan membangun toko kelontong bernama Fireplace.

Layaknya anak keluarga imigran, Ember merasa punya tanggung jawab untuk meneruskan usaha toko kelontong keluarganya. Bertahun-tahun Ember melihat pengorbanan besar kedua orang tuanya dalam membangun hidup baru dari di kota impian. 

Ini yang membuat rasa tanggung jawab meneruskan Fireplace tertanam dalam alam bawah sadar Ember sedari kecil. Apalagi ini ditambah dengan fakta bahwa Ember sendiri adalah anak perempuan tunggal.

Awalnya Ember merasa tidak merasa terbebani dengan tanggung jawab ini. Toh buat dia ini sudah jadi takdirnya. Tetapi saat Wade dan keluarganya memberikan pujian terhadap kemampuan Ember membentuk kaca, ia mulai mempertanyakan ulang tujuan hidupnya.

Ember baru menyadari latar belakang sebagai imigran ternyata mampu membelenggu hidupnya. Ember tidak pernah diajarkan untuk bermimpi. Mimpi yang selama ini ia dambakan ternyata bukan mimpinya sendiri. Sebaliknya itu adalah mimpi yang telah didikte orang tuanya sendiri.

Pendiktean atas mimpinya membuat Ember jadi percaya bahwa satu-satunya cara untuk bisa membalas segala pengorbanan kedua orang adalah menjadi apa yang mereka harapan. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus jadi anak baik-baik dan membalas jasa orang tuanya.

Pada akhirnya, bermimpi buat anak keluarga imigran adalah kemewahan. Kemewahan yang tidak bisa dipahami oleh Wade yang datang dari keluarga berkecukupan dan suportif. Latar belakang yang membuatnya bahwa percaya setiap anak punya pilihan untuk bermimpi dan pada prosesnya jadi sumber masalah utama dari kisah cinta di antara keduanya.

Review indonesia Elemental: Forces of Nature
Sumber: IMDB

Elemen yang Diberi Gender

Perjalanan Ember dalam menyadari mimpi dan berjuang untuk meraihnya memang jadi poin plus buat Elemental: Forces of Nature. Ini membuatnya jadi lebih relate dengan penonton dan jadi bahan refleksi. Dua hal yang sudah jadi formula klasik yang hampir selalu ditawarkan Pixar dalam film-filmnya.

Sayangnya poin plus ini tidak serta-merta membuat film kedua besutan Sohn ini sempurna. Masih ada beberapa kritikan yang perlu digaris bawahi di dalamnya. Sebagai film yang bercerita tentang kehidupan para elemen, film ini cenderung memakai sistem gender biner dalam menghidupkan karakternya.

Elemen yang tidak bergender justru diidentifikasi hanya lewat dua spektrum identitas gender saja. Laki-laki dan perempuan. Kisah cinta dan ketertarikan romantis antar elemen juga selalu fokus pada dua identitas gender ini saja. Kisah cinta Ember dan Wade dan ketertarikan Clod dengan Ember adalah buktinya.

Selain itu, dari banyaknya elemen yang bergender hanya ada satu karakter yang diidentifikasi sebagai nonbiner. Dia adalah Lake, saudara Wade yang memakai kata ganti atau pronoun they/them.

Kehadirannya pun tidak begitu signifikan. Berbeda dengan karakter lain, Lake tidak diberikan porsi dialog sama sekali. Ia cuma muncul sekali saat dikenalkan oleh Wade. Hal ini tentu saja membuat karakter Lake banyak tidak disadari oleh penontonnya. 

Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi Juga Kaburkan Sejarah

Perlakukan pada karakter-karakter ini menambah rekor buruk Disney soal representasi LGBTQIA+. Dilansir dari Los Angeles Times, sebagai studio animasi yang menaungi Pixar sejak 2006 Disney terkenal dengan pola klasiknya. Pola yang menjadikan karakter LGBTQIA+ sebagai karakter minor atau latar saja, sehingga membuatnya hanya sebagai bagian dari tokenisme belaka.

Dalam pemantauan The Gay and Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD) sejak 2012 hingga 2019 misalnya Walt Disney Studios memiliki sejarah inklusi LGBTQIA+ yang paling lemah dibandingkan dengan semua studio film besar lainnya. Dikatakan lemah karena karakter LGBTQIA+ sering kali hanya dijadikan karakter minor atau hubungan mereka hanya muncul sekilas saja. 

Hal ini sebelumnya terbukti lewat karakter polisi cyclops bernama Specter pada Onward (2020) dan momen antara Alisha Hawthorne dan pasanganya dalam Lightyear (2022).

Rekor buruk ini celakanya juga diperparah dengan kecenderungan Disney yang masih mempertahankan nilai keluarga tradisional heteroseksual dalam film-filmnya. Di Elemental misalnya setiap keluarga dalam Element City selalu digambarkan sebagai keluarga nuklir. Keluarga yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak. Format tunggal keluarga dalam film ini pun memberikan sinyal bagi penontonnya bahwa keluarga nuklir adalah satu-satunya format keluarga yang “normal” dan diterima. 

Elemental: Forces of Nature
Sumber: IMDB

Hal ini pun menggarisbawahi skandal Disney pada 2022. Dikutip dari Variety, karyawan studio animasi Pixar dalam surat mereka bilang bahwa para eksekutif perusahaan Disney memang tidak punya keberpihakan pada individu dengan ragam identitas dan orientasi seksual. 

Mereka memilih berada di dua sisi, dalam hal ini tetap mendukung rancangan undang-undang (RUU) Don’t Say Gay. RUU yang melarang dan memidanakan tenaga pengajar yang memberikan pelajaran tentang orientasi seksual atau identitas gender sekolah. Seraya menyumbangkan 5 juta Dollar kepada Human Rights Campaign dan organisasi hak-hak LGBTQIA+ lainnya.

Ketidakberpihakan ini pun tercermin dari bagaimana para eksekutif Disney yang sengaja memangkas hampir setiap momen kasih sayang di antara individu dengan keragaman identitas gender dan orientasi seksual. 

Dalam Elemental hal setidaknya ini terlihat dari keengganan studio untuk mengeksplorasi hubungan romantis antara Lake dan Ghibli. Keduanya sebagai bagian dari kelompok LGBTQIA+ lagi-lagi hanya dijadikan latar saja. Hal ini pun sangat disayangkan. 

Keluar bertepatan dengan Pride Month sudah selayaknya representasi dari individu dengan ragam identitas gender dan orientasi seksual mendapatkan porsi yang seharusnya. Ini agar jargon perusahaan yang inklusif tidak jadi tokenisme atau bahkan cuma sekadar lip service untuk mendulang uang dari kelompok yang bahkan enggan mereka representasikan dengan baik.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *