Culture Screen Raves

‘I am What I am’: Perempuan Aromantis Aseksual yang Dianggap Barang Rusak

Film I am What I am bak angin segar karena memperkenalkan karakter perempuan aromantis aseksual yang terkekang oleh ekspektasi publik.

Avatar
  • June 21, 2024
  • 9 min read
  • 1658 Views
‘I am What I am’: Perempuan Aromantis Aseksual yang Dianggap Barang Rusak

Kasumi Sobata bukanlah sosok ambisus. Sebaliknya, hidup Sobata tampak membosankan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia masih tinggal di rumah orang tua, lengkap bersama nenek, adik perempuan, dan suami adiknya. Ia juga tetap bertahan dengan pekerjaan bergaji pas-pasan: Operator call center. 

Di saat teman-temannya sibuk pacaran dan menikah, Sobata justru enggak memperlihatkan minat pada hubungan romantis. Ia lebih menyukai kesendirian menyantap makan malam sepulang kerja di warung-warung ramen. Di waktu luang atau akhir pekan, ia memilih menghabiskan waktu jalan-jalan bersama teman. 

 

 

Hidup macam ini sudah lebih dari cukup buat Sobata. Sayang, masyarakat punya pandangan berbeda terhadap perempuan sepertinya. Sejak lahir, takdir perempuan sudah digariskan untuk menjadi milik orang lain. Mereka harus punya pasangan, menikah, dan punya anak agar sempurna. 

Sobata sendiri tak pernah pacaran dan selalu bereaksi keras tiap dituntut menikah. Karena itulah ia dianggap aneh dan berbeda. Ini membuat ibunya khawatir bukan main. Sehingga, ibu pun menjebak Sobata dalam omiai (お見合い) atau perjodohan dengan laki-laki pemilik kedai ramen, Kogure Sho. 

Pada titik ini, konflik batin Sobata mulai terjadi. Apakah ia harus menyerah pada ekspektasi masyarakat untuk menjalin hubungan romantis lalu menikah? Atau ia harus melawan dengan cara sendiri, yaitu merangkul identitasnya tanpa takut lagi dihakimi? 

Baca Juga: 8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan 

Karakter Perempuan Utama Aseksual Aromantis

Pernah mendengar aromantis aseksual (aro ace)? Aro ace masuk dalam spektrum aseksual. Mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai aro ace hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali ketertarikan romantis dan seksual pada gender apa pun. 

Di media, representasi aro ace sangat langka. Gay & Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD), organisasi pemantau media swadaya masyarakat Amerika Serikat pada 2022 menyebutkan, representasinya tidak hanya buruk tapi hampir tidak ada sama sekali di media. Dari 637 karakter yang GLAAD kaji di serial TV, film, dan serial streaming, cuma ada dua karakter yang digambarkan sebagai aro ace. 

Baru pada pertengahan 2023 lalu, Heartstopper musim kedua mendatangkan angin segar dengan memperkenalkan karakter Isaac sebagai aro ace. Keberadaannya dirayakan khayalak banyak karena mampu menggambarkan dengan akurasi yang cukup baik tentang perasaan individu aro ace yang terjebak dalam dunia penuh percintaan. 

Sayang, karena merupakan karakter pendukung, Isaac tak punya banyak jatah layar. Isaac juga bukan seseorang yang terlahir perempuan (assigned female at birth/AFAB). Sehingga, diskriminasi terkait identitasnya sebagai aro ace, enggak bisa dieksplorasi lebih lanjut. Di sinilah mengapa kehadiran karakter Sobata dalam film I am What I am (そばかす/sobakatsu) jadi penting. 

Sobata terlahir perempuan dan ia adalah aro ace. Sejak menit awal film, sutradara Shinya Tamada sengaja menggambarkan aseksualitas Sobata dalam adegan-adegan sederhana. Dalam perjamuan makan malam, Sobata tampak asing di antara teman-teman kantornya yang sibuk memperbincangkan soal gebetan, kencan, dan pacaran. 

Ia kelimpungan saat ditanya soal hubungan romantis. Ia juga bingung ketika ditanyai soal tipe ideal. Bagiamana mungkin, wong jatuh cinta saja ia tak pernah. Satu-satunya percakapan yang membuatnya nyaman dalam momen itu, ketika salah satu temannya membincangkan Tom Cruise. 

Review film I am What I am
Foto: IMDb

Keterasingan Sobata dari lingkungan sekitar tak muncul sekali saja. Di adegan berkemah, Sobata juga merasa tersisihkan dari perbincangan para kenalan baru dan teman satu sekolahnya dulu, Maho Yonaga. Mereka sibuk berbincang soal mantan kekasih dan Sobata hanya bisa menatap linglung sambil menyeruput mi-nya. Sungguh, ia tak mengerti satu pun apa yang mereka bincangkan. Apa itu perasaan suka? Perasaan jatuh cinta? Cemburu dan marah? 

Penggambaran aseksualitas Sobata semakin kental terlihat ketika ibu memaksa untuk cepat-cepat menikah dan mengelabuinya dalam omiai. Kogure Sho yang jadi pasangan perjodohannya kala itu, sama canggungnya dengan Sobata. Ia bilang untuk saat ini hubungan romantis apalagi menikah bukan prioritas utama. Untuk pertama kali dalam 30 tahun hidupnya, Sobata merasa tak sendiri. 

Namun tak disangka, saat keduanya mulai menjalin hubungan platonik, Sho justru jatuh cinta dan menyatakan cinta pada Sobata. Sobata tentu saja kaget, ia kira Sho sama seperti dirinya. Sobata lalu menolak dengan halus pernyataan cinta Sho bahkan melela di depannya untuk bisa membuatnya mengerti tanpa melukainya. Namun bukan pengertian yang ia dapati, Sobata justru dihadiahi penghakiman beserta kemarahan. 

Sho tidak percaya kalau Sobata aseksual. Ia menuduh Sobata memang tidak ingin menjalin hubungan romantis dengan Sho karena suatu hal. Tidak mungkin ada orang yang tidak punya ketertarikan seksual atau romantis. Bukankah itu normal? 

Kemarahan Sho buat Sobata frustasi. Ia berusaha menjelaskan hingga mengemis agar mereka bisa terus berteman. Tapi apa daya, Sobata di mata Sho dan di masyarakat luas adalah alien. Mungkin lebih parahnya lagi barang rusak yang perlu diperbaiki. 

Pengalamannya bersama Sho membekas pada diri Sobata. Apalagi pasca-hancurnya hubungan dengan Sho, sang ibu tetap bersikeras mencarikannya jodoh. Adik perempuannya sendiri yang ia sangka paling mengerti sekali pun, menuduh Sobata lesbian. Sobata semakin yakin, mau sampai kapan pun, masyarakat akan terus memaksanya menikah, jadi istri dan ibu. 

Apa yang dialami Sobata adalah pertarungan sengit yang kerap dialami individu aseksual terutama aro ace. Angela Chen dalam bukunya Ace: What Asexuality Reveals About Desire, Society, and the Meaning of Sex (2021) bilang, invalidasi terhadap identitas aseksual terjadi karena masyarakat kita sangat memegang teguh gagasan compulsory sexuality. Ini adalah ide yang menekankan bahwa setiap orang normal adalah seksual. 

Tidak menginginkan seks (yang disetujui secara sosial) adalah tidak wajar dan salah. Pun, orang yang tidak peduli dengan seksualitas, kehilangan pengalaman yang sangat penting dalam hidup mereka. Compulsory sexuality membuat masyarakat percaya, setiap orang pasti punya hasrat dan ketertarikan seksual.

Karena itu, menikah, punya hubungan romantis, bahkan kasual dianggap alamiah dimiliki dan diinginkan oleh manusia. Chen melanjutkan compulsory sexuality bisa kita lihat contohnya lewat ketakutan masyarakat terhadap sexless population yang disensasionalisasi dan digembar-gemborkan media sebagai resesi seks. 

Dalam beberapa tahun belakang, media gemar memakai istilah resesi seks untuk menggarisbawahi kecenderungan orang muda zaman sekarang yang memutuskan menunda atau tak berhubungan seks. Media menggambarkan kecenderungan ini sebagai sesuatu yang salah dan akan berakibat fatal pada berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti perkembangan ekonomi. Istilah ini tak ayal menggarisbawahi ketakutan dan penghakiman masyarakat terhadap individu aseksual (acephobia). 

Buat aseksual yang juga aromantis, diskriminasi terhadap identitas ini semakin berlapis. Filsuf asal Arizona Elizabeth Brake menyebutnya sebagai amatonormativitas. Dalam bukunya “Minimizing Marriage: Marriage, Morality, and the Law” (2012), amatonormativitas diartikan sebagai konstruksi sosial tentang hubungan cinta yang sentral, eksklusif (monogami), dan asmara jangka panjang yang dianggap normal bagi manusia. 

Normalitas ini membuat pernikahan menjadi tujuan yang dimiliki bersama secara universal, sehingga wajib diutamakan dibandingkan jenis hubungan lain. Dalam banyak kasus, amatonormativitas akan lebih berdampak bagi perempuan karena mereka baru dianggap normal kalau sudah menikah dan punya keturunan. Maka tak heran, Sobata sebagai aro ace harus memikul beban ekspektasi masyarakat. Ia dipaksa menjadi sesuatu yang bukan dirinya dan berkali-kali dihakimi serta dipertanyakan identitasnya.

Baca Juga: Review ‘Suzume’: Surat Cinta Makoto Shinkai untuk Rakyat Jepang 

Pentingnya Relasi Platonis buat Individu Aro Ace 

Aro ace bukan barang rusak. Mereka tidak perlu diperbaiki. Kendati mereka sedikit atau tidak punya ketertarikan seksual maupun romantis, bukan berati tidak bisa mencintai apalagi merasakan cinta. Masyarakat yang dimabuk romansa terkadang lupa, cinta hadir dalam ragam bentuknya. Ia tidak tunggal dan tidak teruntuk manusia saja. Kita misalnya bisa mencintai hewan peliharan sebesar kita mencintai manusia. 

Aro ace bukan barang rusak. Mereka tidak perlu diperbaiki. Kendati mereka sedikit atau tidak punya ketertarikan seksual maupun romantis, bukan berati tidak bisa mencintai apalagi merasakan cinta. Masyarakat yang dimabuk romansa terkadang lupa, cinta hadir dalam ragam bentuknya. Ia tidak tunggal dan tidak teruntuk manusia saja. Kita misalnya bisa mencintai hewan peliharan sebesar kita mencintai manusia. 

Tak cuma itu. Masyarakat yang sibuk mendikte bagaimana menjadi manusia normal dengan find the only one, membuat kita kerap kali luput untuk menghargai cinta platonis. Bentuk cinta yang tidak melibatkan ketertarikan romantis atau seksual ini menjadikan kesetiaan, kejujuran, kasih, dan saling pengertian sebagai fondasinya. Kedalaman dan keterikatan emosi yang hadir dalam cinta ini justru relatif dalam, terkadang melampaui relasi romantis.

Buat aro ace, cinta platonis berharga sehingga persahabatan jadi suatu unsur penting dalam hidup mereka yang tak boleh disia-siakan. Berharganya nilai persahabatan terlihat jelas dalam kehidupan Sobata. Di kehidupan yang tak pernah dipusingkan oleh percintaan, Sobata hidup untuk dirinya sendiri, keluarga, dan teman-temannya. 

Selepas pulang bekerja dan di akhir pekan, selain bersama keluarga atau me time, Sobata selalu terlihat menghabiskan waktu bersama teman-teman. Persahabatan adalah oksigen buat Sobata. Mereka yang membuat Sobata hidup. Mereka juga jadi sumber inspirasi dan kepercayaan dirinya. Bersama teman-temannya, ia terlihat paling bahagia.

Dalam I am What I am, berharganya persahabatan bagi aro ace tercermin dalam hubungan Sobata dan Yonaga. Hadir kembali setelah bertahun-tahun putus kontak, Yonaga membuat Sobata mencicipi banyak hal pertamanya di dunia. 

Bersamanya pula, Sobata mulai berani merangkul diri sendiri. Dalam satu adegan penting film saat Sobata punya proyek membuat digital picture card untuk anak-anak muridnya, Yonaga mengritisi cerita Cinderella yang hendak Sobata bawa. Buat Yonaga, cerita Cinderella terlihat sangat male gaze. Kenapa pula seorang perempuan dinikahi hanya karena kecantikannya? Lalu kenapa Cinderella juga begitu terobsesi dengan pernikahan? 

Dari kritikan Yonaga, Sobata baru menyadari bagaimana indoktrinasi soal kewajiban perempuan untuk menikah, tertanam kuat di masyarakat hingga dilanggengkan lewat dongeng anak-anak. Menyadari hal ini, Sobata berpikir untuk mengubah versi Cinderellanya. Cinderella yang ia buat secara tidak langsung adalah prosesnya melela. Ia mengubah alur cerita dan dialog-dialog Cinderella. Alih-alih menampilkan Cinderella yang putus asa ingin bertemu pangeran dan hidup bahagia dengan menikahi anak putra mahkota itu, Cinderella versi Sobata justru memberontak. 

Baca Juga: Surat Cinta Buat Doraemon, Karakter Kartun Revolusioner

Cinderella versinya sedari awal merasa bingung kenapa para perempuan di sekitarnya, terobsesi datang ke pesta dansa hanya untuk menarik perhatian sang pangeran. Bukankah kehidupan lebih besar dan bermakna dari mengejar cinta laki-laki? Maka ketika sang pangeran menyuntingnya sekali pun, Cinderella menolak lamarannya. 

Tidak semua kebahagiaan di dunia ini hadir dengan menikahi dirimu!” 

Tentu saja, Cinderella versi Sobata diprotes oleh para orang tua. Ia dituduh memberikan pemahaman akan nilai-nilai “menyimpang” kepada anak-anak yang masih belia. Beruntungnya, saat dunia menolak dan menghakiminya, cinta platonis yang ia bangun bersama Yonaga mampu membuat Sobata bertahan dan tidak menyesali keputusannya untuk secara tidak langsung melela. Yonaga mengapresiasi dan merangkulnya dengan cinta kasih dan penerimaan yang begitu besar, hingga pada akhirnya Sobata menemukan teman sesama aro ace lewat proses melalanya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *