‘The Substance’: Betapa Mengerikannya Menua dan Membenci Tubuh Sendiri
Kamera Fargeat berhasil bikin kita bergidik menonton Demi Moore—salah satu makhluk paling cantik di dunia ini—ketakutan dan insecure pada diri rekaannya sendiri.
The Substance menang Naskah Terbaik di Cannes Film Festival tahun ini. Kemenangan itu tetap tak bisa menyiapkan saya untuk kegilaan yang ada di filmnya. Kata kunci “gila”, memang ramai digunakan dalam ulasan-ulasan singkat tentangnya. Tapi, berdasarkan pengalaman sendiri, semua yang ada di internet tetap tidak bisa menyiapkan ledakan dan teriakan yang dikemas sang sutradara Coralie Fargeat dalam durasi 140 menit.
Tokoh utamanya adalah Elisabeth Sparkle. Diperankan dengan sangat meta oleh Demi Moore. Sparkle adalah selebritas yang dulunya terkenal. Ia punya Oscar dan piala lainnya. Ia pernah menjadi fantasi semua pria dan sumber rasa iri-dengki semua perempuan. Sekarang, di kariernya yang sudah senja, Sparkle menjadi host sebuah acara TV yang mirip dengan acara senamnya Jane Fonda.
Suatu hari, Sparkle mencuri dengar ia akan digantikan oleh host lain yang lebih muda. Menurut Harvey (Dennis Quaid), perempuan yang sudah “kedaluwarsa” sepertinya sudah tidak punya tempat di TV. “Semua berakhir di usia 50.”
Sparkle kecewa, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya ia mendapatkan USB misterius dengan iklan sebuah produk bernama “The Substance”.
Serum itu, konon bisa menciptakan versi muda pemakainya. Dalam sepertiga pertama film, kita akan diarahkan berpikir bahwa yang meminum serum itu adalah mereka yang sudah tua. Seperti semua yang ada di dunia ini, The Substance juga punya aturan demi menjaga keseimbangan. Inang, mereka yang ditawarkan minum serum, harus bergantian hidup tiap dua minggu sekali dengan induk, tubuh yang mereka lahirkan dari punggung.
Dari sanalah Sue (Margaret Qualley) lahir.
Baca juga: ‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata
Horor yang Lahir dari Perkawinan Desain Musik dan Kerja Kamera
Pesan sekaligus horor yang ingin ditunjukkan Fargeat amat kentara: proses menua alias aging. Dan semua itu terasa lewat cara kameranya bekerja.
Di titik tertentu, The Substance mungkin terasa seperti sebuah ceramah yang terlalu in your face. Buat beberapa orang, cara ini bisa jadi mengganggu. Tapi, bagaimana kalau Fargeat memang ingin kita terganggu? Saya tidak peduli.
Buat saya, Fargeat tahu apa yang ingin ia sampaikan dan bagaimana cara menyampaikannya; saya sebagai penonton hanya bisa menerimanya dengan senyum lebar, atau kadang tangan menutup mata supaya tidak muntah. Topik tentang betapa kejamnya standar kecantikan untuk perempuan (tidak terbatas untuk selebriti, tapi untuk semua perempuan yang ada di dunia) mungkin bukan barang baru.
Orang tua sudah lama digunakan film-film horor sebagai jumpscare, penjahat, atau gagasan menakutkan. Misalnya, dalam Rosemary’s Baby (1968), dua tetangga Rosemary adalah dua nenek tua yang membantu membius, memperkosa, mencuci otak, dan memaksanya melahirkan anak setan. Atau hantu-hantu orang tua yang dalam waralaba Insidious ingin mengambil nyawa orang-orang muda, supaya mereka bisa hidup lagi.
Trope “orang tua menakutkan”, menurut Roxana Hadadi dalam esainya Getting Old Might be the Scariest New Thing in Horror Movies, tercatat mempertebal gagasan bahwa menjadi tua termasuk body horror—sebuah genre film horor yang biasanya berpusat pada tubuh perempuan. Dalam Relic (2020), Old (2021), Bingo Hell (2021), dan The Manor (2021), ketakutan hilangnya otonomi tubuh lewat kehilangan memori, penyakit, dan pembusukan (semisal, keriput, tubuh yang makin susah digerakan), menurut Hadadi dibikin jadi keresahan sampai titik ekstrem. “Mengenali transformasi ekstrem ini jadi kunci untuk meneror kita, dan buat film-film tersebut menaburi kita dengan ketidaknyamanan yang mengganggu.”
Lewat The Substance dan Fargeat berhasil menyampaikan thesis-nya tentang betapa menakutkannya menua dan membenci tubuh sendiri, dengan cara paling menghibur.
Baca juga: Teknologi dan Obsesi Cantik yang Problematik
Pertama kali Fargeat memperlihatkan Sue, kamera begitu mengaguminya. Saat Sue mengikuti audisi untuk menggantikan Sparkle sebagai host, kamera berubah menjadi fanatik. Fargeat sengaja menyoroti semua bagian tubuh Sue dengan mata keranjang. Rasanya seperti male gaze, seperti cara laki-laki memandang perempuan lewat film-film. Tapi semua ini ternyata ada poinnya. Ketika The Substance berubah menjadi body horror yang akan membuat Cronenberg bangga, semua tatapan kamera yang memuja tadi menjadi masuk akal. Penonton harus melihat keindahan yang tidak masuk akal untuk bisa meresapi horor yang hadir.
Penggunaan kamera yang begitu ekspresif dalam The Substance tidak berhenti di sana. Sinematografer Benjamin Kracun menggunakan extreme close-up untuk mempertebal yang perlu kita saksikan. Ada alasan kenapa penonton melihat jarum dengan begitu dekat. Kenapa monster tidak begitu menyeramkan jika dibandingkan dengan mulut Harvey yang terus mengunyah udang tanpa jeda. Kenapa kulit berkeringat di kulit yang kencang menimbulkan reaksi yang berbeda ketika kamera Kracun melakukan hal yang sama dengan bekas suntikan bernanah di punggung.
Teror yang ada di gambar kemudian dilengkapi dengan desain suara (sound design) paling “renyah” yang pernah saya rasakan. Menghapus make-up dengan tisu bisa terdengar seperti seorang tukang kayu sedang menghaluskan pinggiran kusen dengan amplas. Setiap hela napas, kunyahan makanan sampai angin mempunyai fungsi yang jelas.
Diedit dengan begitu presisi, tidak ada satu pun frame dalam The Substance yang terasa sia-sia. Bahkan dengan durasi yang lumayan panjang, film ini tetap memikat. Ia bisa memberikan ilusi bahwa film ini terasa “besar” meskipun setting lokasinya terbatas. Keparipurnaan teknis ini pada akhirnya menjadikan The Substance sebagai salah satu film paling percaya diri yang pernah saya tonton.
Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
Jika Demi Moore Saja Bisa Insecure…
The Substance mungkin tidak akan tampil sebuas ini kalau aktor-aktornya tidak tampil maksimal. Sebagai laki-laki kulit putih di puncak kekuasaan, Quaid tidak pernah terlihat semenjijikkan itu. Ia bisa menggambarkan laki-laki heteroseksual, tolol, dan mabuk kekuasaan, dengan sangat sempurna. Margaret Qualley tahu bagaimana menjadi boneka Barbie yang sempurna. Dan Demi Moore adalah dewi.
Pemilihan Moore sebagai karakter utamanya terasa sangat meta, karena dia betulan nama besar dan simbol kecantikan di dunia nyata. Ia bukan orang berumur 61 tahun pada umumnya. Orang-orang berusia segitu tidak terlihat seperti dirinya: tetap tampil memukau dan dipuja karena memenuhi standar kecantikan di media. Namun, dalam The Substance, ketakutan, kebencian, dan amarah Demi Moore pada tubuhnya sendiri, pada dirinya yang lebih muda, dieksekusi amat baik. Ia tak punya banyak dialog, kebencian itu seringkali cuma muncul dari ekspresi. Lewat tatapan ke cermin, lewat lemparan gelar foto raksasanya di ruang tamu.
Mengerikannya, saking hebat akting dan keresahan yang Demi Moore jalarkan ke luar layar, kita bisa yakin kalau orang secantik dan seindah dirinya juga bisa insecure saat menatap cermin. Menyadari hal ini bisa jadi horor sendiri. Sekaligus kekuatan tesis Fargeat yang ingin bilang ke kita bahwa body horror itu nyata, bisa menjangkiti siapapun. Termasuk mereka yang ada di puncak standar kecantikan.
Perasaan mengerikan itu bisa bikin kita muntah. Persis seperti babak terakhir—mungkin 20 menit terakhir—film ini. Seusai film diputar, saya betulan mendengar suara orang muntah di toilet.