Community Screen Raves

‘Le Prince’: Romansa Antar-ras dan Diskriminasi Imigran Kulit Hitam di Jerman

Terinspirasi oleh kisah nyata ibunya, Bierwirth menceritakan romansa 'interracial' antara Monika dan Joseph.

Avatar
  • September 21, 2023
  • 7 min read
  • 1453 Views
‘Le Prince’: Romansa Antar-ras dan Diskriminasi Imigran Kulit Hitam di Jerman

Lembaga kebudayaan Republik Federal Jerman yang aktif mendorong pertukaran budaya antarbangsa, Goethe Institut kembali menggelar festival film Jerman tahunan KinoFest 2023. Tanpa dipungut biaya alias gratis, KinoFest akan diadakan pada pada 21-27 September di GoetheHaus Jakarta dan 22-27 September di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. 

Dalam edisi keduanya yang secara resmi diadakan luring, Kinofest 2023 akan menampilkan karya-karya terbaru rilisan tahun 2021 hingga 2023. Sebanyak 15 film akan diputar di Jakarta. Sementara di Bandung, sebanyak 12 film akan ditayangkan yang sudah dikurasi oleh Gugi Gumilang, kurator KinoFest 2023. Salah satu film ini adalah Le Prince (2021) karya perempuan sutradara, Lisa Bierwirth.

 

 

Terinspirasi oleh kisah nyata ibunya, melalui debut layar lebarnya ini Bierwirth menceritakan kisah romansa antara Monika (Ursula Strauss) dan Joseph (Passi).

Baca Juga:  Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Monika adalah seorang kurator berusia 40-an dari galeri seni terkemuka di Frankfurt. Sedangkan Joseph pengusaha dari Kongo dengan masa lalu dan masa kini yang tidak jelas. 

Keduanya bertemu saat satu malam Monika mampir ke sebuah bar yang tiba-tiba digerebek oleh polisi. Joseph saat itu menariknya ke gudang untuk melindungi mereka berdua dari polisi. Tak disangka pertemuan pertama yang menegangkan itu justru menimbulkan percikan cinta.

Mereka saling bertukar nomor telepon dan kemudian sering bertemu untuk mengobrol atau memadu kasih di apartemen Monika. Namun sayangnya fase bulan madu dalam hubungan keduanya mulai redup. Ini semua terjadi karena perbedaan latar belakang.

Monika adalah perempuan kulit putih. Sedangkan Joseph adalah imigran kulit hitam yang eksistensinya di Jerman selalu lekat dengan diskriminasi rasial.

Perbedaan latar belakang ini membuat mereka kerap terlibat pertengkaran. Di sinilah kemudian Bierwirth berusaha perlahan membingkai gesekan antara Monika dan Joseph dalam gambaran besar terkait wacana pascakolonial

Wacana Poskolonialisme dalam Menggambarkan Diskriminasi Rasial

Nadya Karima dalam Jurnal Perempuan menuliskan jika berbicara soal pascakolonial atau pascakolonialisme kita berbicara soal sisa-sisa kolonialisme yang bercokol atau penindasan yang masih berlangsung di sebuah masyarakat. Wacana ini menganalisis dan mengkritik hubungan fungsional kekuasaan sosial dan politik yang memungkinkan kolonialisme bertahan dan memberikan keuntungan ekonomi dan politik bagi suatu golongan.

Dalam Le Prince, wacana kolonialisme kental diperlihatkan lewat kesulitan Monika dalam memahami kerentanan yang dialami Joseph sebagai imigran kulit hitam. Joseph memang seorang pengusaha, tapi ia adalah pengusaha berlian tanpa surat resmi. Ia secara harfiah adalah pengusaha ilegal.

Baca Juga: Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’

Joseph sebenarnya tak punya pilihan lain. Tinggal di sebuah negara yang memiliki sejarah kolonialisme terhadap bangsa kulit hitam (dikutip dari DW, Jerman misalnya pernah melakukan genosida terhadap puluhan ribu orang Nama dan Herero dan sampai sekarang belum memberikan permintaan maaf resmi), Joseph seperti banyak imigran kulit hitam kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Ketika mendapatkan pekerjaan sekalipun, mereka rentan mengalami diskriminasi rasial di lingkungan kerja yang sering kali juga ditambah dengan kondisi pekerjaan yang berisiko. Hal ini tercermin dalam studi YouGov pada 2021 lebih dari 40 persen 500 orang Afrika yang tinggal di Jerman melaporkan telah diperlakukan dengan buruk atau dilecehkan.

Angka ini jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh orang Afrika di sebagian besar negara anggota Uni Eropa lainnya. Banyak juga yang mengatakan bahwa mereka merasa didiskriminasi dalam mencari pekerjaan atau apartemen karena orang Afrika.

Monika tidak memahami kerentanan yang dimiliki Joseph akibat identitasnya ini. Ia ingin Joseph berhenti dari bisnis berliannya tanpa memberikan solusi jangka panjang. Teman-teman Monika (juga kulit putih) pun tidak membantunya memahami kerentanan ini. Dalam satu adegan di mana Monika mengajak Joseph makan malam bersama, teman-teman Monika justru memojokkan Joseph.

Mereka memproyeksikan diskriminasi rasial kepada Joseph dengan selalu mengaitkan bisnis berliannya sebagai blood diamond. Sebuah istilah yang didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat halaman resminya sebagai konflik berlian yang dikendalikan oleh kekuatan yang menentang pemerintah suatu negara yang sah dan diakui secara internasional dan dijual untuk mendanai aksi militer melawan pemerintah tersebut.

Dalam konteks perbincangan itu, Joseph secara implisit diposisikan sebagai imigran tak tahu malu yang tinggal dan mendapatkan keuntungan di negeri orang, tapi punya agenda terselubung. 

Diskriminasi rasial ini sayangnya juga diperparah dengan white saviour complex yang dimiliki Monika secara tak sadar. Ketika Monika tahu Joseph punya masalah terkait kewarganegaraan dan kelengkapan surat resmi bisnis berliannya, dengan setengah bercanda Monika menyarankan agar mereka menikah untuk menyelesaikan masalah ini. 

Candaan Monika ini menggarisbawahi pola pikir orang kulit putih sebagai orang-orang terpilih yang mampu membebaskan, menyelamatkan, atau mengangkat derajat orang-orang kulit berwarna (People of Color atau POC).

Pola pikir ini luput membuat seseorang luput melihat bahwa kerentanan yang dialami orang kulit berwarna adalah permasalahan struktural yang bahkan orang-orang kulit putih juga punya andil dalam menciptakan dan melanggengkan kekerasan di dalamnya. 

Citra Angry Black Man yang Bermasalah

Beruntungnya walaupun Monika dalam hampir satu jam penayangannya digambarkan masih punya bias rasial dan punya white savior complex, Bierwirth selaku sutradara berusaha membingkai Monika sebagai manusia yang berproses. Ia tidak segan meminta maaf atas tindakan atau ucapannya yang mungkin menyakitkan dan ia mau belajar. Pada gilirannya proses ini membuat Monika menjadi karakter yang dimensional yang akhirnya justru jadi orang yang bisa diandalkan Joseph.

Sayangnya walaupun sudah secara baik menggambarkan Monika, Bierwirth luput menggambarkan Joseph sebagai karakter yang dimensional. Masih terjebak dengan citra angry black man atau stereotip yang menggambarkan orang kulit hitam pada umumnya, dan laki-laki kulit hitam pada khususnya, yang selalu (dan sering kali tidak rasional) marah kepada orang lain karena diskriminasi rasial yang dirasakan. 

Dalam Le Prince, Joseph begitu jelas digambarkan sebagai laki-laki kulit hitam dengan emosi yang meletup-letup.

Baca Juga: Review ‘Nimona’: Fantasi Gemerlap dengan Pesan Kuat tentang Queer

Ia suka membentak dan marah kepada Monika atau orang-orang kulit putih. Perilakunya ini seringkali juga disusul dengan kecenderungannya untuk gaslighting.

Penggambaran ini paradoksal. Di satu sisi Bierwirth ingin menggarisbawahi diskriminasi rasial yang dialami Joseph tapi ia juga menggambarkan terjebak dalam citra yang disebut Rainier Spencer, direktur Program Studi Afro-Amerika di Universitas Nevada-Las Vegas yang diwawancarai CNN adalah bagian dari rasisme.

Spencer mengatakan bahwa stereotip angry black man berawal dari perbudakan.

Selama masa perbudakan, orang kulit putih takut pada orang kulit hitam seperti Nat Turner yang menentang perbudakan. Mereka adalah orang-orang kulit hitam yang memimpin pemberontakan budak dan dijual lebih jauh ke Selatan. Mereka disebut Bucks.

Stereotip orang kulit hitam yang pemarah tetap ada setelah perbudakan berakhir, kata Spencer. Dipopulerkan pada tahun 1970-an, stereotip ini penuh dengan implikasi yang tidak menguntungkan. Yang paling utama adalah keyakinan bahwa sejak berakhirnya gerakan hak-hak sipil, tidak ada lagi ketidakadilan rasial yang layak untuk dikeluhkan, dan satu-satunya alasan mengapa orang kulit hitam mengatakan sebaliknya adalah karena mereka hanya marah pada dunia.

Dengan citra ini, ketakutan orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dijustifikasi. Lewat citra ini pula, ketidaksetaraan atau penindasan sistemik jadi terabaikan dari pesan utamanya karena akhirnya orang kulit hitam dinilai hanya mencari alasan untuk marah.

Dengan demikian, kendati Le Prince dengan ciamik menariskan secara mudah wacana pascakolonial lewat penggambaran diskriminasi rasial yang dihadapi Joseph, tetapi film besutan Bierwirth masih terjebak dalam bias rasial tidak sadar.

Hal ini terlihat dari penggambaran malas Joseph sebagai karakter kulit hitam pemarah yang bahkan tidak diberikan porsi sendiri untuk menyampaikan langsung pengalaman diskriminasinya lewat sudut pandangnya sendiri.

Caranya ini secara tidak langsung membuat segala kendala yang dialami oleh Joseph akibat diskriminasi rasial jadi terkesan dibuat-buat dan bukan permasalahan sistemik. Ini hanya terjadi pada Joseph yang memang bukan orang yang menyenangkan dan cenderung “berbahaya”.

Artikel ini didukung KinoFest 2023. KinoFest diadakan pada pada 21-27 September di GoetheHaus Jakarta dan 22-27 September di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *